tirto.id - Sebagian belahan Bumi sedang musim dingin dan mulai didatangi salju pada November. Namun, di Afrika Selatan, November adalah musim panas. Matahari memang terik, tapi angin di Kota Johannesburg membuat suhu Senin siang di pekan ketiga itu cuma 23 derajat Celsius. Cuacanya jauh lebih dingin dari hari biasa di Jakarta.
Itu disebabkan letak Johannesburg ada di dataran tinggi, lebih dari 1.700 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian itu, harusnya tanah Johannesburg tak cocok jadi tempat sebuah kota. Namun nyatanya, di Afrika Selatan, ia adalah kota paling luas sekaligus paling maju dengan infrastruktur yang baik.
Bila dibanding Jakarta, Johannesburg sebagai metropolitan jauh tertata rapi. Lalu lintas sangat lancar. Jalanan lengang. Bus-bus wisata bisa lalu-lalang lancar tanpa mampat di titik macet. Tak ada pedagang kaki lima, kecuali di areal pasar. Bangunan gaya kolonial Inggris jadi tema utama yang tampil menonjol di kota ini. Hal lain yang paling mencolok adalah kebiasaan pembayaran nontunai dalam transaksi di Johannesburg.
Menurut Bank for International Settlements (BIS)—organisasi keuangan beranggotakan para bank sentral—Afrika Selatan adalah salah satu negeri yang perkembangan pembayaran nontunainya paling cepat. Rata-rata penurunan penggunaan uang kertas dan uang koin di Afrika Selatan selama 2011 sampai 2015 mencapai 3,7 persen. Salah satu yang tercepat di dunia, setelah Swedia.
Baca juga:Masyarakat Nontunai yang akan Dimulai di Swedia
Sebagai turis, saya membuktikannya sendiri dengan beraktivitas beberapa hari di Johannesburg. Hampir semua pembayaran yang saya lakukan di sana hanya lewat kartu atau nontunai. Mulai dari membayar Uber, beli kopi di Starbuck, belanja di supermarket, minum di bar, hingga makan di restoran.
Di pasar-pasar tradisional, misalnya Sunday Market di Maboneng Street, bahkan mudah menemukan barcode SnapScan, aplikasi pembayaran digital lewat ponsel. Aplikasi SnapScan sendiri adalah yang paling populer di kalangan milenial. Menurut Tech Central, aplikasi itu sudah punya 26 ribu ritel yang jadi kliennya di seluruh Afrika Selatan.
Di pusat perbelanjaan, pembeli bahkan menggesek sendiri kartu ATM atau kartu kreditnya sendiri ke mesin Electronic Data Capture (EDC)—hal yang biasanya dilakukan oleh kasir di Indonesia. Beberapa kali saya mencobanya—di Rosebank Mall, di kawasan Rosebank, dan Melville SPAR, di kawasan Melville, hasilnya cukup kagok.
Namun, tabiat-tabiat itu wajar bagi masyarakat Afrika Selatan, khususnya dalam konteks di Kota Johannesburg. Menurut survei Mastercard 2016 lalu, dari 1.000 orang Afrika Selatan berusia 20 hingga 50 yang jadi responden, sebanyak 73 persen lebih memilih melakukan pembayaran lewat ponsel. Sebanyak 80 persen percaya bahwa layanan digital akan digunakan oleh lebih banyak orang di masa depan. Sementara 14 persen berpikir layanan itu hanya digunakan sebagian kelompok tertentu saja.
Data dari Statista, total nilai transaksi pembayaran digital di Afrika Selatan tahun ini diperkirakan mencapai $9,864 miliar. Total nilai transaksi pembayaran lewat ponsel mencapai $322 juta. Nilai rata-rata transaksi per orang mencapai $257,43.
Menurut Tech Central, lingkungan bisnis yang canggih di sana juga memungkinkan penyedia pembayaran nontunai untuk mengenalkan produk dan layanan canggih mereka. Perusahaan transaksi lewat seluler wiGroup, misalnya, telah hadir di lebih dari 80.000 jalur ritel, yang memungkinkan konsumen melakukan serangkaian transaksi tanpa uang dan tanpa kartu. Hampir di semua jenis transaksi pembayaran, seperti yang dilakukan AliPay dan WeChat Pay di Cina.
Sampai saat ini, lebih dari 7 miliar Rand, mata uang Afrika Selatan, telah diproses melalui platform wiGroup. Penyedia pembayaran via seluler lainnya, iKhokha—yang baru-baru ini bermitra dengan Mastercard—juga punya peran besar meningkatkan akses teknologi pembayaran nontunai untuk pedagang informal. Pendapatan mereka naik sebesar 15-30 persen selama masa percobaan.
Nontunai dan Masalah Keamanan
Tata Kota Johannesburg memang rapi, dan jalanannya lengang jauh beda dari jalanan di Jakarta yang sesak. Namun, jalanan tenang itu tak menggaransi keamanan sedikit pun. Sejak tiba di sana, semua orang: pelayan hotel, sopir uber, satpam di mal, pegawai supermarket, bahkan orang asing di jalanan selalu berpesan hal sama tentang bahaya berjalan sendiri di jalanan Johannesburg.
“Jangan berani-berani keluar kalau sudah gelap. Dan ingat, pakai Uber saja. Jangan taksi.”
Kurang lebih pesan-persan mereka bernada serupa di atas. Hal itu rupanya bukan isapan jempol belaka. Nyaris semua properti di Johannesburg memang punya satu kesamaan mutlak, yakni pagarnya yang tinggi-tinggi. Bahkan tempat umum seperti McDonald juga dipagari tinggi—sebagai simbol kewaspadaan masyarakatnya.
Dilansir Mobeewave, Pusat Informasi Risiko Afrika Selatan (SABRIC) telah meluncurkan kampanye bersama Layanan Polisi Afrika Selatan (SAPS) untuk memperingatkan warga tentang bahaya membawa uang tunai dan mengurangi perampokan, sejak 2015.
Kalyani Pillay, CEO SABRIC, menghubungkan penurunan 23 persen angka perampokan di sana dengan kolaborasi antara penegak hukum dan industri perbankan. Statistik yang dikeluarkan oleh SABRIC menunjukkan bahwa orang-orang di Afrika Selatan yang menarik uang tunai dari bank cabang (atau ATM) adalah yang paling berisiko dirampok. Operandi paling sering ditemukan adalah 'Spotting'—situasi ketika klien bank diikuti pulang dan dirampok setelah menarik sejumlah besar uang tunai.
Risiko itu yang kemudian juga mempercepat pertumbuhan pembayaran nontunai di sana. Namun, bukan berarti penggunaan uang tunai serta merta hilang. Catatan versi Uber (2016), menyebut penggunaan uang tunai di Afrika Selatan masih tinggi, angkanya sampai 65 persen. Namun, setidaknya mereka yang memakai transaksi nontunai mencoba terhindar dari risiko mengalami masalah keamanan.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Suhendra