tirto.id - Pembayaran digital yang kian populer di kalangan masyarakat Indonesia membuat Masroulina Sihombing, 34 tahun, semakin nyaman kembali melanjutkan hidup di Tanah Air. Pada 2016, Olin, sapaan akrab Masroulina, berangkat ke Rusia untuk menempuh studi magister.
Tiap kali bertukar kabar dengan keluarga dan rekannya di Indonesia, Olin kerap menceritakan berbagai kemudahan yang ia dapat di Negeri Beruang Merah. Salah satunya berkenaan dengan transaksi keuangan.
“Mau belanja atau naik transportasi publik, tinggal scan hp, selesai,” ungkap Olin kepada Tirto.id.
Sewindu lalu, apa yang dirasakan Olin boleh jadi masih terdengar asing bagi kebanyakan orang Indonesia. Namun tidak dengan situasi hari ini. “Kalau kehabisan uang elektronik di tol, sekarang kan tinggal top up via hp. Dulu mana bisa. Hehe,” sambung Olin yang balik ke Indonesia akhir tahun 2019.
Merujuk ke Visa Consumer Payment Attitudes Study (CPAS) 2023, kebiasaan cashless ini turut didukung oleh peningkatan penerimaan pembayaran non-tunai oleh merchant, terutama di sektor-sektor seperti makanan dan minuman (82%), pembelian di toko serba ada (81%), dan transaksi di supermarket (77%).
Sementara itu di Indonesia, aturan mengenai uang elektronik sejatinya sudah tersedia sejak 15 tahun silam, lewat Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009. Namun demikian, baru pada masa pandemi Covid-19 transaksi uang elektronik kian marak dilangsungkan.
Pada 2015, transaksi nontunai di Indonesia tercatat hanya sebesar Rp5,28 T. Kemudian nilainya melonjak hingga menyentuh Rp305.44 triliun pada 2021. Pandemi Covid 19 tampaknya menjadi salah satu faktor yang mendorong transisi ini.
Terlihat dari grafik di atas tercatat kenaikan yang signifikan pada periode 2019 dengan tingkat pertumbuhan lebih dari dua kali lipat. Kemudian nilainya terus bertumbuh setidaknya 40 persen tiap tahun. Tahun ini, BI bahkan memperkirakan transaksi uang elektronik akan tembus Rp1.051,24 triliun.
Pergeseran Menuju Cashless Society
Senada dengan analisa BI, CPAS 2023 dari Visa juga mengamini bahwa gelombang gaya hidup masyarakat nontunai (cashless society) makin populer di Indonesia.
Hari ke hari, metode pembayaran seperti mobile wallet, QR, dan kartu contactless pun semakin digemari. Sebanyak 62% responden percaya bahwa Indonesia bisa menjadi masyarakat nontunai pada 2030.
Studi CPAS 2023 dilakukan di beberapa kota besar dengan total 1.000 konsumen di Indonesia dari berbagai usia, latar belakang, dan pekerjaan. Hasil studi menggarisbawahi bahwa perilaku nontunai di Tanah Air didorong oleh Gen Z (76 persen) dan Milenial (69 persen).
Tercatat 3 dari 5 orang generasi muda telah berhasil mengadopsi gaya hidup cashless. Dalam hal ini, mereka berhasil tidak menggunakan uang tunai sama sekali selama 10 hari. Pergeseran ini dimungkinkan seiring dengan semakin banyaknya merchant atau pedagang yang menerima pembayaran nontunai, bahkan menolak dibayar dengan uang tunai.
Vira Widiyasari, Country Manager Visa Indonesia, menerangkan pembayaran melalui dompet digital terus mengalami peningkatan, di mana tercatat penggunaan tertinggi sebesar 92 persen, sebagaimana capaian tahun 2022.
Di sisi lain, pembayaran dengan menggunakan uang tunai menurun dari sebelumnya 84 persen menjadi 80 persen di tahun 2023. Perubahan ini menegaskan tren gaya hidup masyarakat nontunai yang semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Visa CPAS 2023 melaporkan, 2 dari 5 orang responden kini membawa lebih sedikit uang tunai dalam dompet. Alasan utama mengurangi uang tunai tersebut lebih ke faktor keamanan dan telah sering menggunakan metode pembayaran contactless. Gejala ini mengindikasikan tren berkelanjutan terhadap berkurangnya ketergantungan pada uang fisik.
Fenomena Bank Digital
Tidak dapat disangkal bahwa Indonesia telah memasuki era baru dalam dunia keuangan. Pergeseran menuju gaya hidup yang semakin digital juga terlihat dari popularitas layanan perbankan digital. CPAS 2023 menunjukkan, 81 persen konsumen Indonesia telah menggunakan layanan perbankan digital, dengan 87 persen di dalamnya menggunakan layanan ini setiap minggunya.
Tren ini paling terlihat di kalangan Gen Y (86 persen), Gen Z (81 persen), dan masyarakat kelas atas atau affluent (87 persen). Fenomena ini menunjukkan betapa pengaruh keuangan digital kini meluas pada generasi yang lebih baru.
Sebagai pemimpin global dalam solusi pembayaran, Visa berkomitmen untuk memajukan pembayaran digital di Indonesia. Visa senantiasa terus mengedepankan teknologi nirsentuh (contactless) mereka agar mampu memfasilitasi pengalaman transaksi yang cepat, aman, dan nyaman.
Di Indonesia, teknologi nirsentuh itu ada pada kartu contactless Visa. Ia sudah eksis sejak lama, dengan tingkat penggunaan mencapai 33% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2023, sesuai survei terhadap responden CPAS 2023.
Dengan pendekatan yang holistik terhadap pengembangan solusi pembayaran, Visa memastikan bahwa setiap langkah dalam proses transaksi dilakukan dengan keamanan yang tinggi. Mereka juga menjaga kepercayaan pengguna dalam penggunaan teknologi nirsentuh ini.
Keunggulan teknologi contactless Visa adalah diterima secara luas di banyak negara di dunia. Alhasil, Visa tidak hanya membantu pemegang kartu dari Indonesia bertransaksi di luar negeri dengan lancar, tetapi juga mempermudah turis asing untuk bertransaksi di Indonesia sesuai dengan kebiasaan mereka di negara asal. Bahkan, kartu contactless Visa juga sudah digunakan untuk transportasi umum di lebih dari 150 kota besar di seluruh dunia.
Kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi nirsentuh tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi. Teknologi ini juga memungkinkan akses ke layanan keuangan menjadi lebih inklusif bagi semua lapisan masyarakat.
Dengan demikian, kita tidak hanya menyaksikan perubahan signifikan dalam pola pengeluaran dan pengelolaan keuangan masyarakat Indonesia, tetapi juga melihat sebuah transformasi global yang semakin terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis