Menuju konten utama

Kisah Skandinavia dan Terobosan Asia dalam Cashless Society

Fenomena cashless society terus menjamur di seluruh dunia. Di Indonesia pergerakan ini mencuat seiring dengan penggunaan QRIS.

Kisah Skandinavia dan Terobosan Asia dalam Cashless Society
Header Insider Cashless Society. tirto.id/Fuad

tirto.id - Sepuluh tahun silam, kebanyakan orang berpendapat bahwa cashless society atau masyarakat tanpa uang tunai tak mungkin terjadi dalam waktu dekat. Konsep itu dianggap terlalu canggih dan jauh ke masa depan.

Namun, peralihan menuju cashless society kini terjadi sangat cepat dan dalam tempo yang tidak disangka. Bahkan, banyak negara yang mendorong atau menuntut penduduknya secara halus untuk meninggalkan uang kartal, seperti kasus di Swedia.

Swedia merupakan salah satu negara pertama di Benua Biru yang memperkenalkan uang kertas pada 1661. Akan tetapi, kini menjadi negara pertama yang menelantarkannya dan beralih ke metode pembayaran seluler (mobile payment) pada 2023.

Sebuah studi mencatat bahwa transaksi uang tunai di Swedia tidak sampai 1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemudian, banyak ditemukan toko yang memasang tanda “Tidak Menerima Uang Tunai.” Bahkan, para pedagang secara hukum diperbolehkan menolak pembayaran tunai.

Swedia bukan satu-satunya negara Skandinavia yang mendorong penggunaan uang elektronik. Tetangganya, Norwegia dan Finlandia, juga mendukung konsep ini diterapkan pada perekonomiannya.

Norwegia diketahui sebagai negara dengan tingkat penggunaan uang tunai terendah di dunia. Hanya 2 persen transaksi yang tercatat menggunakan uang kertas atau koin. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat semua penduduknya telah memiliki akun bank.

Berdasarkan data Bank Duani, 98 persen populasi Norwegia memiliki kartu debit dan lebih dari 95 persen menggunakan aplikasi pembayaran seluler. Keberadaan ATM di negara Skandinavia tersebut juga terpantau sangat sedikit, yakni 32 ATM per 100.000 orang.

Finlandia juga diperkirakan akan sepenuhnya tidak menggunakan uang tunai pada akhir 2029 mendatang. Mirip dengan negara tetangganya, 98 persen orang Finlandia memiliki kartu debit dan 63 persen memiliki kartu kredit.

Penggunaan uang tunai di negara tersebut menjadi tidak relevan lagi di wilayah pedesaan dan perkotaan.

Salah satu faktor utama yang mendorong peralihan ini karena penduduk Skandinavia memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap institusi keuangannya. Mereka juga lebih terbuka untuk menerima kehadiran teknologi digital, terutama di kalangan generasi tua yang notabenenya sulit menerima perubahan.

Asia Memilih Kode QR

Benua Eropa boleh tercatat sebagai negara yang mempelopori gerakan cashless. Meskipun begitu, kawasan Asia sejatinya memimpin pangsa pasar pembayaran seluler.

Statista menganalisa bahwa hampir setengah transaksi yang menggunakan dompet digital dicatatkan di kawasan Asia. China, India, dan negara di Asia Tenggara ada di balik tren pergerakan ini.

Grafik di atas mendukung analisa sebelumnya, di mana aplikasi dompet digital besutan Negeri Tiongkok mencatatkan jumlah pengguna paling besar.

Sementara itu di Indonesia, studi Visa baru-baru ini menunjukkan bahwa transaksi pembayaran tunai turun pada 2023. Adopsi gaya hidup cashless paling tinggi ditunjukkan oleh Gen Z dan Milenial. Tercatat 3 dari 5 orang telah melakukannya.

"Masyarakat Indonesia semakin nyaman dengan pembayaran nontunai, yang menandakan keberlanjutan pergeseran menuju masyarakat yang mengutamakan transaksi digital,” ujar Presiden Direktur Visa Indonesia, Riko Abdurrahman.

Tren nontunai juga terlihat dari berkurangnya jumlah ATM yang tersebar di Indonesia. Tabel di bawah ini menunjukkan tren penurunan gerai ATM di sejumlah bank ternama Tanah Air.

Di satu sisi, penerapan teknologi untuk transaksi nontunai yang digunakan oleh penduduk Asia dan Eropa berbeda. Metode pembayaran seluler masyarakat Benua Biru umumnya menggunakan teknologi NFC (Near Field Communication). NFC membantu menghubungkan perangkat seluler dengan mesin pembayaran.

Kemudian untuk masyarakat Asia, teknologi kode QR lebih populer digunakan. Di Indonesia teknologi ini terintegrasi dalam QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Bank Indonesia mencatat jumlah transaksi melalui QRIS melonjak 161,51 persen secara tahunan.

Teknologi NFC atau pun kode QR memiliki kelebihan masing-masing. Sulit untuk mengatakan yang satu unggul dari yang lainnya. Perbedaan penggunaan teknologi tersebut besar kemungkinan disebabkan oleh preferensi dan teknologi mana yang lebih dulu dikembangkan.

Bagi masyarakat Eropa, menunjukkan dan membiarkan kasir memindai koder QR dirasa kurang nyaman. Mereka seperti membiarkan seseorang masuk ke lingkup personalnya.

Alasan lainnya, sulit membangun infrastruktur yang terintegrasi untuk dapat menciptakan pembayaran kode QR lintas negara Eropa. Perbedaan kebijakan bank sentral, bahasa, hingga budaya menjadi tantangan tersendiri.

Terlebih, mayoritas masyarakat sudah terbiasa dengan teknologi yang ada. Jadi sulit untuk membangun pangsa pasar kode QR.

Di sisi lain, kode QR sukses diterapkan di wilayah Asia terdorong oleh fakta bahwa teknologi itu diperkenalkan saat lembaga keuangan masih dalam fase mencari solusi pembayaran digital yang cocok.

Kemudian, pembayaran dengan kode QR bukanlah solusi terpisah, tetapi bagian dari suatu ekosistem bisnis. Di China teknologi ini menjadi metode pembayaran yang ditawarkan platform e-commerce raksasa Alibaba. Lalu di Indonesia, diperkenalkan sebagai bagian pembayaran aplikasi ride hailing.

Pro & Kontra

Metode pembayaran digital manapun, baik NFC atau kode QR, sejatinya memberikan manfaat bagi konsumen, dunia usaha, dan ekonomi secara umum. Itulah mengapa baik negara maju maupun berkembang mulai menggeser menawarkan solusi ini.

Pembayaran nontunai memberikan kenyamanan terbaik dengan memfasilitasi pembayaran digital yang cepat, lancar, dan aman di mana saja, kapan saja. Masyarakat tidak perlu lagi mencari bank atau ATM untuk menarik uang sebelum membeli.

Transaksi nontunai setidaknya juga meminimalisir potensi kejahatan finansial seperti pencucian uang, peredaran mata uang palsu, hingga penimbunan uang gelap. Dari sisi bisnis, pelaku usaha dapat menghemat biaya dan risiko terkait penarikan tunai, penghitungan, dan transportasi.

Tidak hanya itu, perekonomian tanpa uang tunai mampu menjadi penyeimbang yang memungkinkan akses ekosistem pembayaran yang inklusif. Hanya dengan ponsel dan koneksi internet, siapapun dapat melakukan pembayaran baik domestik atua lintas negara.

Namun, terlepas dari manfaatnya, ada beberapa kelemahan penting yang perlu dipertimbangkan. Salah satu kekhawatiran utama adalah masalah privasi.

Pasalnya, semakin banyaknya transaksi yang dilakukan secara digital, individu mungkin menjadi lebih rentan terhadap pencurian identitas. Termasuk di dalamnya akses tidak sah terhadap informasi keuangan mereka.

Selain itu, transaksi nontunai bergantung pada koneksi internet yang stabil dan andal. Di daerah dengan konektivitas yang buruk atau listrik sering padam, hanya mengandalkan pembayaran digital bisa menjadi masalah besar.

Belum lagi hambatan signifikan lainnya adalah kurangnya infrastruktur yang memadai untuk mendukung transaksi digital. Di banyak negara Asia, khususnya negara-negara dengan sistem keuangan yang kurang berkembang, infrastruktur yang diperlukan untuk pembayaran digital yang lancar masih dalam tahap awal.

Lebih lanjut, ketika semua jenis pembayaran berbentuk digital, maka penyedia jasa memiliki kekuatan penuh untuk mengatur peredarannya. Pemerintah dan lembaga keungan dapat dengan mudah membekukan akun individu sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan transaksi apapun.

Kasus ini pernah terjadi di Kanada, di mana pemerintah membekukan semua akun bank sekelompok individu yang melakukan aksi demonstrasi. Lalu, seorang politikus di Inggris juga dibekukan akun banknya dan bahkan semua bank tidak diperbolehkan melayani kebutuhannya.

Mereka yang Menolak

Terlepas dari pertimbangan di atas, faktanya terdapat beberapa negara yang masih lebih nyaman menggunakan uang tunai. Seperti halnya Jerman, transaksi uang tunai masih dihormati di negara tersebut.

Menurut studi terbaru yang dilakukan bank sentral Jerman, Bundesbank, mayoritas penduduk (60 persen) masih melakukan transaksi secara tunai. Kemudian, rata-rata juga menyimpan setidaknya 100 Euro di dompet mereka.

Jerman bukan satu-satunya negara yang menentang tren global menuju pembayaran nontunai. Di Austria, uang tunai sangat populer hingga rencananya akan dibuat sebuah regulasi yang menjelaskan hak penduduknya untuk menggunakan uang tunai.

“Masyarakat di Austria mempunyai hak atas uang tunai,” ungkap Kanselir Austria, Karl Nehammer, dikutip dari CBS News.

Prancis juga dapat dikatakan sebagai negara paling anti-cashless di dunia. Menurut sebuah studi pada 2019, uang tunai adalah metode pembayaran yang dominan di Prancis, mencakup 59 persen transaksi, dan hampir separuh (44 persen) masyarakat di Prancis menganggap “penting” atau “sangat penting” untuk memiliki opsi pembayaran.

Beberapa penolakan terhadap penggunaan nontunai sebenarnya hal wajar mempertimbangkan kondisi di negaranya masing-masing. Meskipun terdapat banyak manfaat dari penerapan nontunai, ini bisa jadi bumerang pada orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap rekening bank atau teknologi untuk menggunakannya.

Alhasil, seberapa cepat kita akan mencapai masa depan tanpa uang tunai, kemungkinan besar hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Tergantung dengan kebijakan masing-masing negara yang mendorongnya.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas