tirto.id - Fungsinya dalam sektor finansial membuat utang menjadi skema alternatif yang populer. Namun di samping manfaat yang ditawarkan, ia tetap menyimpan risiko tertentu. Faktanya, household debt atau utang rumah tangga justru menjadi masalah tersendiri di banyak negara maju.
Setelah membandingkan nilai utang dan rata-rata pendapatan, studi yang digelar Invezz pada 2022 lalu mengungkap daftar negara dengan level household debt tertinggi. Ternyata, negara-negara Nordik atau penghuni Eropa Utara mendominasi masalah ini.
Dengan rata-rata pendapatan rumah tangga USD43.149 atau setara Rp648 juta (kurs Rp15.034/USD) per tahun dan utang USD106.274 atau Rp1,6 miliar, tingkat household debt Norwegia membukukan nilai tertinggi. Persentasenya mencapai 246,30% dari pendapatan bersih yang dapat dibelanjakan atau disposable income.
Hasil studi yang digelar Invezz tidak jauh beda dari perhitungan Fitch Ratings. Tahun lalu, utang rumah tangga Denmark tercatat paling banyak di Uni Eropa dan negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Proporsinya mencapai 248% dari disposable income.
Suku bunga yang tinggi turut meningkatkan biaya utang rumah tangga sehingga berpotensi lebih rentan. Situasi ini juga menyebabkan peningkatan pembiayaan hipotek, karena pemilik rumah mengoptimalkan nilai pasar yang lebih rendah dari utang mereka.
Tingginya tingkat utang di negara tersebut tampaknya juga disokong oleh fakta bahwa mayoritas penduduknya (>50%) memiliki akses atas kepemilikan kartu kredit. Sebagai contohnya, 82,74% populasi di Kanada tercatat memegang kartu kredit, sementara di Swiss 69,21% dan Norwegia 66,74%.
Invezz bahkan juga meneliti perilaku dan sejarah daring terkait dengan utang dengan mengamati hasil penelusuran Google. Penelitian menunjukkan bahwa para penduduk di negara maju tercatat menduduki posisi tertinggi sebagai negara paling “sadar utang”, dimana Negeri Ratu Elizabeth dan Negeri Paman Sam menempati posisi teratas.
Sistem Keuangan & Kesejahteraan Jadi Penopang
Berdasarkan hasil kajian dari International Monetary Fund (IMF) berjudul “Global Financial Stability Report October 2017: Is Growth at Risk?” disampaikan bahwa tingginya tingkat utang menunjukkan pendapatan yang diharapkan lebih tinggi. Hipotesis ini memungkinkan rumah tangga, untuk membuat investasi besar terutama untuk rumah dan pendidikan yang menjanjikan arus pengeluaran berkelanjutan selama beberapa periode.
Studi juga mengungkapkan bahwa tingginya utang rumah tangga dan akses terhadap kredit meningkatkan permintaan dan membangun kekayaan individu. Namun, utang yang tinggi juga dapat menjadi sumber kerentanan keuangan dan berpeluang mengarah ke resesi berkepanjangan. Meskipun begitu, derajat dampak negatif tersebut tidak sama bagi semua negara.
Dampak dari kenaikan tingkat utang rumah tangga akan berbeda bagi tiap negara bergantung dari karakter sistem dan institusi keuangan masing-masing. Efek yang dirasakan akan minimum terutama bagi negara maju dengan sistem keuangan yang mapan, pengawasan yang ketat, dan tingkat ketimpangan pendapatan yang rendah.
Inilah mengapa, bahkan dengan status tingkat utang rumah tangga yang fantastis, negara Skandinavia seperti Denmark masih mendapat rating “AAA”, level rekomendasi tertinggi dari Fitch.
Merujuk analisa Fitch, tingginya utang para penduduk Denmark dimitigasi dengan tingkat tabungan domestik yang tinggi dan penyangga modal yang kuat dari bank-bank Denmark. Selain itu, kerangka kebijakan dan sistem keuangan publik yang sehat juga menopang stabilitas ekonomi dan keuangannya.
Lebih lanjut, menurut Martino Comelli, peneliti bidang ilmu politik di Central European University, private indebtment atau utang swasta tertinggi selalu ada di negara-negara Nordik. Di Skandinavia, sistem kesejahteraan inklusif menjadikan utang sebagai alat investasi.
Sejak krisis ekonomi 2007-2008, utang rumah tangga selalu menyisakan curiga. Banyak yang berpendapat kenaikan utang merupakan imbas penghematan, sehingga menunjukkan trade-off antara kesejahteraan dan utang. Namun hasil analisa yang ditemukan Martino membuktikan teori tersebut keliru.
Sebab, rasio utang tertinggi di OECD adalah negara-negara di Eropa Utara seperti Denmark, Norwegia, Swedia dan Belanda yang notabenenya adalah negara dengan program kesejahteraan paling luas dan dikenal bertanggung jawab secara fiskal.
Seperti diketahui, banyak negara di Eropa memiliki kesejahteraan yang melimpah. Prancis misalnya, memiliki pengeluaran sosial yang lebih tinggi daripada Denmark. Akan tetapi, tingkat utang rumah tangga mereka tetap tidak mendekati negara-negara Nordik.
Penelitian Martino tentang korelasi kesejahteraan dan utang rumah tangga menawarkan penjelasan baru tentang teka-teki ini. Menurutnya, tidak ada trade-off antara utang swasta dan kesejahteraan. Keduanya pun tidak memiliki hubungan yang saling melengkapi.
“Yang penting adalah di mana uang kesejahteraan dibelanjakan dan bagaimana caranya. Ini belum tentu tentang jumlah pengeluaran, tetapi tentang arahnya,” ujarnya dilansir dari The Loop.
Martino mengungkapkan bahwa negara-negara yang tidak hanya menyediakan bantuan sosial bagi kalangan lanjut usia tetapi juga mengimbanginya dengan pengeluaran dan layanan untuk kaum muda ternyata cenderung memiliki utang swasta yang lebih tinggi.
Tingkat utang swasta menyentuh level tertinggi terutama bagi negara yang membelanjakan uangnya untuk pendidikan, kebijakan pasar tenaga kerja yang aktif, serta menawarkan perlindungan bagi penduduk dengan jenis pekerjaan tidak tetap.
Di negara Skandinavia, yang menurut Martino mengusung pola kesejahteraan anak muda, tingkat utang rumah tangga sangat tinggi tetapi kredit konsumen relatif rendah. Kemudian jumlah anak muda yang tidak berpendidikan, tidak bekerja, atau tidak mendapat pelatihan (Not in Education, Employment, or Training/NEET) juga sangat minim.
Situasi ini berbeda dengan negara Eropa konservatif seperti Jerman atau negara liberal seperti Kanada dan Inggris yang memiliki persentase anak muda NEET yang tinggi. Kesamaan negara tersebut adalah sistem kesejahteraan yang condong kepada orang tua, alias tidak inklusif.
Terlebih lagi negara liberal memiliki tingkat kredit konsumen yang tinggi, dimana ini secara tidak langsung menandakan penyediaan layanan kesejahteraan yang buruk. Kredit konsumen umumnya dikategorikan sebagai jenis utang konsumtif, bukan utang investasi seperti utang hipotek.
Suku Bunga Memberatkan Utang
Di lain pihak, berbeda dengan Martino yang fokus melihat hubungan utang dan sistem kesejahteraan di negara Skandinavia. Pengamat ekonomi di negara liberal seperti Australia mempunyai kekhawatiran tersendiri terkait fenomena tingginya utang rumah tangga saat ini. Pasalnya, pertumbuhan tingkat kredit berpeluang meningkatkan resiko perbankan.
Tingkat utang rumah tangga Negeri Kangguru naik hingga 4 kali lipat dalam kurun waktu tiga dekade terakhir. Pada tahun 1990 proporsi utang rumah tangga hanya 50% dari pendapatan bersih namun saat ini proporsinya ada di level 203,02%, yang artinya masyarakat berutang dua kali lipat dari jumlah uang yang mereka miliki untuk pengeluaran rumah tangga secara umum.
Hasil penelitian Dr Rashad Hasanov dari Deakin School of Business membuktikan bahwa penambahan 1% pada kredit domestik turut meningkatkan kemungkinan krisis perbankan sebesar 6-8%. Akan tetapi, peran bank sentral independen mampu mengurangi potensi krisis.
Peran bank sentral dalam hal ini terkait dengan kebijakan suku bunga. Meskipun tingkat utang rumah tinggi, tetapi jika tingkat suku bunga rendah maka potensi krisis dapat dihindari.
Tingkat suku bunga rendah membantu menjaga pembayaran utang rumah tangga lebih terkendali dan tidak menekan pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa. Namun, jika bank sentral memutuskan untuk menaikkan tingkat suku bunga, maka ini akan memiliki konsekuensi yang serius.
Saat ini tingkat suku bunga (cash rate) berada di level 4,1%, level tertinggi dalam 11 tahun. Dengan tingkat suku bunga tersebut, beban pembayaran utang rumah tangga Negeri Kangguru diprediksi naik ke tingkat tertinggi dalam sejarah.
Sayangnya, bank sentral Australia atau Reserve Bank Australia (RBA) belum ada niatan untuk menurunkan tingkat suku bunga karena adanya tekanan untuk menjaga nilai tukar dolar Australia dan menekan inflasi.
Walaupun begitu Dr Shane Oliver, Kepala Ekonom AMP Capital, masih optimis bahwa ekonomi Australia tidak akan tumbang mengingat tingkat pengangguran ada di level terendah dalam 35 tahun, dan tingkat tabungan rumah tangga cukup tinggi. Hal ini membangun penyangga kas untuk pembayaran utang jangka panjang.
Editor: Dwi Ayuningtyas