tirto.id - Surat perjanjian hutang piutang diperlukan ketika kita terlibat dalam transaksi peminjaman uang. Surat ini termasuk bentuk perlindungan hukum yang bisa meminimalisasi terjadinya perselisihan karena di dalamnya terdapat sejumlah ketentuan yang telah disepakati bersama.
Surat perjanjian utang piutang merupakan dokumen resmi yang dibuat sebagai bukti adanya kesepakatan antara pihak yang memberikan pinjaman (kreditur) dan pihak yang menerima pinjaman (debitur). Surat ini berfungsi sebagai alat hukum yang mengikat kedua belah pihak dan dapat digunakan sebagai bukti apabila terjadi sengketa di kemudian hari.
Dalam praktiknya, surat ini biasanya mencantumkan berbagai informasi penting seperti identitas pihak-pihak yang terlibat, jumlah utang, jangka waktu pelunasan, bunga (jika ada), hingga sanksi apabila terjadi pelanggaran kesepakatan.
Surat pernyataan hutang piutang ini disarankan untuk dibuat oleh siapa saja yang hendak bertransaksi pinjam-meminjam uang. Bahkan, meskipun kedua belah pihak sudah saling kenal dan memiliki hubungan baik, tetap dianjurkan membuat surat perjanjian hutang piutang untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan.
Tujuan Surat Perjanjian Utang Piutang
Surat perjanjian utang piutang berguna untuk menghindari konflik yang mungkin terjadi di tengah proses transaksi. Surat perjanjian hutang piutang ini memiliki kekuatan legal yang dah sehingga dapat dibawa ke ranah hukum apabila terjadi konflik atau sengketa di antara kedua belah pihak.
Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa tujuan dibuatnya surat perjanjian utang piutang:
1. Memberikan Kepastian Hukum
Surat perjanjian utang piutang disertai dengan tanda tangan kedua belah pihak di atas materai sehingga bisa menjadi bukti tertulis yang sah secara hukum yang menunjukkan adanya transaksi peminjaman. Apabila terjadi pelanggaran perjanjian, dokumen ini dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan.2. Menjelaskan Hak dan Kewajiban
Masing-masing pihak dapat mengetahui dengan jelas apa saja tanggung jawab dan hak mereka selama masa perjanjian berlangsung. Jika semua ketentuan tertulis secara rinci, maka potensi salah paham atau perbedaan penafsiran dapat diminimalkan.3. Menjamin Keamanan Transaksi
Surat perjanjian utang piutang mampu memberikan rasa aman bagi kedua belah pihak. Pihak pemberi dan penerima pinjaman akan merasa lebih aman dan terlindungi karena ada bukti sah atas kesepakatan mereka.Dengan adanya dokumen tertulis, pihak pemberi pinjaman memiliki jaminan bahwa haknya akan dipenuhi, sementara pihak peminjam memiliki kepastian tentang kewajiban yang harus ditunaikan.
4. Menciptakan Transparansi
Surat perjanjian hutang piutang mencakup detail transaksi peminjaman. Semua syarat seperti nominal pinjaman, waktu pengembalian, dan sanksi jika wanprestasi tercantum dengan jelas sehingga tidak akan ada yang dirugikan.Contoh Surat Perjanjian Utang Piutang

Ilustrasi Surat Perjanjian Utang Piutang. foto/istockphoto
Agar sah secara hukum, surat perjanjian ini sebaiknya disusun dengan format baku, jelas, terperinci, dan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Apabila jumlah utangnya cukup besar, disarankan agar surat perjanjian ini dibuat di hadapan notaris untuk menjamin keabsahannya.Dengan demikian, surat perjanjian utang piutang bukan hanya formalitas, tetapi menjadi instrumen penting dalam menjaga hak dan kewajiban masing-masing pihak. Adapun komponen yang biasa tercantum di dalam surat perjanjian utang piutang antara lain:
- Tanggal pembuatan surat perjanjian utang piutang
- Identitas kedua belah pihak, baik pemberi maupun penerima pinjaman
- Jumlah utang atau uang pinjaman
- Barang jaminan dari pihak penerima utang dengan nilai setara uang pinjaman (jika ada)
- Periode atau tenggat waktu pelunasan utang
- Metode pembayaran
- Sanksi yang diberikan apabila utang gagal dilunasi (misalnya pemberi utang berhak memiliki barang yang menjadi jaminan)
- Materai untuk memberi kekuatan hukum
- Tanda tangan dan nama terang dari kedua belah pihak
Contoh Surat Perjanjian Utang Piutang
Apakah Surat Perjanjian Hutang Piutang Bisa Dipidanakan?
Surat perjanjian hutang piutang pada dasarnya adalah ranah perdata, bukan pidana. Artinya, jika terjadi masalah dalam pelunasan hutang (misalnya orang yang menerima utang mangkir atau tidak mampu melunasi utang), maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan perdata, bukan pidana.
Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 19 ayat (2) disebutkan bahwa:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.”
Namun, dilansir dari laman JDIH Kabupaten Sukoharjo, ada kondisi tertentu yang bisa membuat perkara hutang piutang masuk ke ranah pidana. Jadi, masalah perdata seperti utang piutang bisa dituntut secara pidana jika memenuhi unsur kejahatan seperti yang tercantum dalam Pasal 378 KUHP.
Bunyi Pasal 378 KUHP:
"Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun."
Jadi, dapat disimpulkan bahwa apabila pihak penerima pinjaman sekadar tidak mampu membayar, maka hal itu tidak termasuk tindak pidana dan tidak bisa dipidanakan.
Jika ingin membawa masalah ini ke ranah hukum, maka jalurnya tetap melalui gugatan perdata. Apabila ingin memidanakan kasus utang piutang, setidaknya ada dua unsur yang harus dipenuhi, yakni unsur perbuatan jahat (actus reus) dan niat jahat (mens rea).
Demikian penjelasan mengenai surat perjanjian hutang piutang dan contohnya. Dengan memahami isi dan struktur surat perjanjian tersebut, diharapkan para pihak yang terlibat dalam transaksi pinjam meminjam dapat melindungi hak dan kewajibannya secara hukum.
Surat perjanjian ini tidak hanya menjadi bukti tertulis yang sah, tetapi juga sebagai bentuk komitmen bersama untuk menyelesaikan kewajiban sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Oleh karena itu, penting untuk menyusun perjanjian dengan cermat, jelas, dan disepakati oleh kedua belah pihak agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
Penulis: Erika Erilia
Editor: Erika Erilia & Yulaika Ramadhani