Menuju konten utama

Seni Reinkarnasi Lewat Rebranding, Jurus Jitu Kabur dari Skandal

Strategi rebranding acap kali ditempuh untuk memperbaiki citra perusahaan.

Seni Reinkarnasi Lewat Rebranding, Jurus Jitu Kabur dari Skandal
Header Insider Rebranding Perbaikan Citra dari Skandal. tirto.id/Fuad

tirto.id - Pembukaan outlet Vista Coffee di Terminal I Bandara Dublin, Irlandia, memecah perspektif publik. Kehadiran kopi merek lokal tersebut, dikaitkan dengan sebuah strategi rebranding salah satu kedai kopi ternama asal Amerika Serikat (AS), yakni Starbucks.

Isu liar rebranding Starbucks, awalnya muncul dari cuitan akun X @DublinAirport. Akun tersebut mengunggah informasi mengenai pembukaan outlet Vista Coffee. Lokasinya berada persis di tempat Starbucks sebelumnya.

Unggahan kemudian dibanjiri sorotan netizen. Tidak sedikit masyarakat mengira bahwa Vista Coffe merupakan rebranding dari Starbucks. Terlebih kedai kopi dengan logo perempuan berkelir hijau itu, menjadi salah satu target dari kampanye boikot karena diduga pro-Israel.

Tidak ingin gaduh, pihak Bandara Dublin langsung memberikan klarifikasi. Dalam unggahannya, mereka menyebut Vista Coffee hanyalah merek sementara yang menempati unit tersebut. Mereka juga menegaskan bahwa Starbucks telah tutup per 31 Desember 2023 karena kontrak berakhir.

Lain cerita. Upaya rebranding nama sempat dilempar ke publik oleh US Pizza Malaysia. Lewat akun media sosial Instagram resminya @uspizzamalaysia, mereka berencana mengubah nama menjadi Kita Pizza jika mendapatkan 10.000 suka dan komentar di postingan tersebut.

Postingan yang diunggah pada pada 18 November 2023 tersebut, saat ini (12/01/2024) sudah mendapatkan 15.300 lebih suka dan 1.144 komentar.

Meski belum diketahui motif mengganti pergantian nama, sejumlah warga Malaysia mengaitkan hal tersebut dengan Israel. Tidak sedikit juga menyesalkan perubahan nama tersebut.

"Did u guys support Israel? If u guys supporting there's no use for just changing the name (Apakah kalian mendukung Israel? Jika kalian mendukung tidak ada gunanya hanya mengganti nama)," tulis komentar akun @twolifetimes_

"Buruk la Kita Pizza. Letak la My Pizza. Stands for Malaysia Pizza," tulis komentar akun @seri_aida lainnya.

Upaya dilakukan US Pizza Malaysia, bisa jadi beririsan dengan aksi boikot terhadap produk-produk terafiliasi dengan Israel. Kekhawatiran ini adalah wajar dan menjadi jalan ninja sebuah brand agar tidak alami kerugian mendalam.

Al-Jazeera pernah memberitakan, gerakan yang diinisiasi Boycott, Divestment and Sanctions (DBS) berpotensi merugikan Israel hingga mencapai 11,5 miliar dolar AS per tahun.

Laporan Global Rand Corporation di 2015 bahkan memperkirakan produk domestik bruto Israel akan kehilangan 15 miliar dolar AS akibat aksi boikot. Meskipun, angka ini terbilang masih cukup kecil dari PDB Israel yang mencapai 500 miliar dolar AS.

Skandal Rebranding

Rebranding merupakan strategi atau upaya perusahaan untuk mengubah tampilan brand di mata publik, termasuk memberikan nama baru, simbol atau mengubah design. Inti dari pendekatan ini adalah menciptakan identitas yang berbeda dengan tujuan akhir pertumbuhan pendapatan.

Jika ditelisik ke belakang, jalan rebranding untuk menjauhi skandal sudah banyak dilakukan sejumlah perusahaan dan merek ternama sebelum ada aksi boikot Israel.

Pada 2018 misalnya, setelah mereknya terpuruk akibat serangkaian kasus, perusahaan jasa keuangan ternama asal AS, Wells Fargo, meluncurkan kampanye untuk membangun kembali citranya yang ternoda.

Kampanye yang menggunakan tagline ‘Didirikan tahun 1852. Didirikan kembali tahun 2018’. diikuti setelah aksi permintaan maaf mereka – ‘Membangun Bank yang Lebih Baik’ yang diluncurkan oleh Wells Fargo pada 2017.

Sebagai informasi, Wells Fargo dikenakan denda hingga 3 miliar dolar AS setelah perusahaan diketahui membuat jutaan rekening palsu menggunakan data nasabah. Atas perintah eksekutif, karyawan membuat rekening dan kartu kredit fiktif secara diam-diam dengan uang nasabah untuk meningkatkan angka penjualan dan pendapatan berbasis komisi.

Kemudian, perusahaan otomotif, Volkswagen (VW) belum lama ini juga ikut mengubah logonya pada 2019. Keputusan rebranding dengan strategi baru yang ‘asli’ merupakan upaya untuk mengalihkan perhatian dari skandal emisinya

Perlu diketahui, skandal emisi diesel Volkswagen pertama kali terungkap pada September 2015 ketika Badan Perlindungan Lingkungan (Environmental Protection Agency/EPA) AS melayangkan surat tuduhan ke perusahaan.

EPA menuduh Volkswagen menjual 480.000 unit kendaraan diesel Volkswagen dan Audi dengan perangkat khusus yang mengelabui standar emisi. Perangkat tersebut memungkinkan emisi nitrogen oksida hingga 40 kali lebih banyak daripada ketentuan yang disyaratkan federal. Skandal ini mengakibatkan kerugian hingga 30 miliar dolar AS.

Skandal lainnya juga dilakukan oleh Facebook. Pada Oktober 2021, Mark Zuckerberg mengumumkan nama baru Meta setelah perusahaan dituduh membocorkan ribuan dokumen internal.

Banyak yang menduga Facebook berupaya mencegah tsunami pemberitaan buruk menyusul misinformasi, kegagalan moderasi konten, dan terungkapnya dampak negatif produknya terhadap kesehatan mental pengguna.

Kebutuhan Rebranding

Cepat atau lambat ada kalanya perusahaan melakukan perubahan merek. Rata-rata, organisasi mengubah atau memperbarui merek mereka setiap tujuh tahun sekali. Hal ini seringkali melibatkan penataan ulang logo, palet warna, bahasa visual, dan gaya fotografi, selain reposisi strategis.

Dalam sejumlah kecil kasus, nama organisasi juga diubah selama proses ini. Banyaknya opsi pendekatan rebranding dikarenakan motivasi yang sering kali disebabkan oleh berbagai faktor.

Umumnya aksi rebranding dilakukan setelah perubahan kepemilikan bisnis, seperti aksi merger, akuisisi, dan spin-off.Pasalnya, pergantian komposisi kepemilikan secara langsung memengaruhi citra perusahaan. Selain itu, terkadang perubahan diperlukan untuk mematuhi persyaratan hukum dan peraturan.

Kemudian terkadang rebranding diperlukan agar suatu merek juga dapat digunakan secara internasional. Hal ini mungkin terjadi karena nama merek terlalu spesifik untuk negara tertentu.

Contoh yang terkenal termasuk perubahan merek Jif menjadi Cif, Smiths menjadi Lay’s, Raider menjadi Twix, dan Postbank (yang hanya digunakan di Belanda) menjadi ING. Merek-merek itu kini digunakan di mana pun secara internasional.

Faktor lain yang juga sering mendorong aksi rebranding ditempuh adalah perbaikan reputasi atau citra. Jika suatu merek memiliki reputasi buruk dan berdampak serius pada hasil operasionalnya, rebranding dapat bantu memperbaiki citra yang ternoda.

Penting dicatat bahwa perubahan diterapkan baik secara internal maupun eksternal. Ini adalah satu-satunya cara agar proyek rebranding dapat menghilangkan segala asosiasi negatif terhadap merek dan berhasil.

Meskipun begitu tidak semua upaya rebranding bisa memberikan hasil yang diinginkan. Kegagalan rebranding justru dapat menimbulkan konsekuensi finansial dan reputasi yang signifikan.

Dalam beberapa kasus, masalah-masalah itu biasanya terjadi karena kurangnya strategi, memutuskan hubungan dari nilai-nilai inti, penelitian dan pemahaman yang buruk, komunikasi yang tidak efektif, mengabaikan sentimen pelanggan, serta harapan yang tidak realistis.

Misalnya Twitter. Logo burung biru yang menghiasi platform media sosial sejak 2006 tiba-tiba diganti dengan huruf 'X' berlatar belakang hitam.

Lalu mengapa ini merupakan kesalahan? Burung biru yang ikonik ini memiliki begitu banyak ekuitas merek dan dikenal oleh hampir semua orang, di mana saja. Bahkan tanpa nama merek 'Twitter', lambang burung dapat bertahan dengan sendirinya.

Brand Finance, perusahaan konsultan dan valuasi merek dunia, mengevaluasi nama dan merek ‘Twitter’ memiliki nilai hingga 4,4 miliar pound, melebihi pendapatan tahunannya. Alhasil membutuhkan biaya yang besar jika ingin melepaskan merek dan nama tersebut.

Contoh lainnya adalah perubahan merek mastercard. Dalam hal merek, Mastercard sama besarnya dengan merek lainnya.

Tapi sayangnya, rebranding dilakukan justru buruk. Mastercard justru melakukan kesalahan fatal dengan mengubah logo ikonik menjadi berantakan dan tidak sedap dipandang, sehingga merusak citra mereknya.

Lebih buruk lagi, mereka harus mengeluarkan biaya sebesar 1,5 juta dolar AS untuk desain ini (sebagian dari hampir 10 juta dolar AS untuk branding secara keseluruhan).

Dari sini kita bisa belajar. Melakukan perubahan citra yang sempurna tidak lah mudah, bahkan merek dengan anggaran besar pun terkadang melakukan kesalahan. Rebranding yang sukses memerlukan pendekatan holistik. Di samping juga perlu mempertimbangkan berbagai faktor dan melibatkan pemangku kepentingan di setiap tahap proses.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas