Menuju konten utama

Sarang Burung Walet: Emas Putih RI yang Rentan Kebocoran Pajak

Indonesia merupakan surga sarang burung walet karena mampu memenuhi 70 persen kebutuhan permintaan global.

Sarang Burung Walet: Emas Putih RI yang Rentan Kebocoran Pajak
Header INSIDER "Indonesia: Surga Sarang Burung Walet". tirto.id/Gery

tirto.id - Dalam dua pertemuan bilateral dengan sejumlah pemimpin negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah absen membawa ‘sarang burung walet’. Komoditas sektor pertanian itu, selalu diselipkan Jokowi di tengah pembahasan kerangka kerja sama di bidang perdagangan dan investasi.

Misalnya saja saat Jokowi menerima Perdana Menteri (PM), Li Qiang, di Istana, Jakarta pada September 2023. Dari beberapa hasil bahasan kerja sama, Kepala Negara itu meminta Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menambah daftar ekspor sarang burung walet Indonesia ke sana.

Tak lama berselang, Jokowi kemudian bertolak ke Negeri Tirai Bambu, untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping di Great Hall of the People, Beijing, Selasa (17/10/2023). Lagi-lagi, Jokowi mempromosikan sarang burung walet RI. Ia meminta agar China mendorong pembaruan protokol dan peningkatan kuota impor sarang burung walet dan penambahan jenis produk ekspor lainnya.

Indonesia boleh sedikit berbangga. Sarang burung walet kita saat ini telah memenuhi 70 persen kebutuhan dunia. Pasalnya, kita adalah pemasok utama bagi Tiongkok yang merupakan konsumen sarang burung walet terbesar. Negeri Panda menguasai lebih dari 90 persen pasar global.

Berdasarkan analisa Kementerian Perdagangan (Kemendag), selama 2017-2021, impor dunia untuk produk sarang burung walet terus meningkat dengan rata-rata pertumbuhan 11,20 persen per tahun. Nilai impornya mencapai 1,03 miliar dolar AS di 2021. China, Hongkong, Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat merupakan importir utama sarang burung walet dunia.

Permintaan besar pasar dunia ini telah dimanfaatkan oleh Indonesia. Selain Indonesia, sebenarnya ada beberapa negara di Asia Tenggara yang memproduksi sarang burung walet, termasuk Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Namun dari keempat negara tersebut, Indonesia merupakan penghasil sarang burung walet terbesar di kawasan ini dengan total sekitar 2.000 ton per tahun. Diikuti oleh Vietnam sebesar 800 ton per tahun, Malaysia sebesar 600 ton per tahun, dan Thailand sebesar 400 ton per tahun.

Jika merujuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor sarang burung walet indonesia mencapai 590,60 juta dolar AS pada 2022, tertinggi sepanjang sejarah. Jumlah itu naik 14,23 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 517,03 juta dolar AS.

Keunggulan SBW RI

Sarang burung walet merupakan komoditas yang khas dan hanya bisa diproduksi atau dihasilkan dari beberapa negara saja, termasuk Indonesia. Produk dengan nilai jual jutaan tersebut, merupakan salah satu komoditas andalan sektor pertanian. Komoditas ini bahkan beberapa kali menyelamatkan neraca dagang RI, sehingga kerap mendapat sebutan 'emas putih.'

Sarang burung walet ini memiliki berbagai macam manfaat kesehatan, dari menjaga imunitas, mencegah penuaan hingga mampu mengobati kanker.

Di Indonesia sendiri, sarang burung walet dipanen dari berbagai jenis burung walet yang membangun sarangnya di dalam gua dan tebing.Sarangnya terbuat dari air liur burung yang mengeras membentuk gumpalan dengan warna putih pekat menyerupai mangkok.

Sarang hasil olahan Indonesia memiliki tekstur yang lembut, halus, dan bersih. Selain itu, harganya juga relatif lebih murah karena wilayah panennya tidak terlalu sulit diakses oleh petani.

Sarang burung walet jenis mangkok di pasaran dibandrol dengan harga Rp13 juta per kilogram (kg). Sedangkan harga sarang burung walet jenis segitiga atau sudut sebesar Rp9 juta per kg.

Terdapat beragam faktor yang menyebabkan sarang burung walet dibanderol dengan harga yang fantastis, di antaranya lokasi sarang, proses panen, proses pengolahan dan kualitas produk akhir.

Sarang yang terletak di daerah yang lebih terpencil atau sulit diakses mungkin lebih mahal karena semakin sulitnya dan risiko pengumpulannya. Demikian pula, sarang yang ditemukan di daerah yang persaingannya lebih sedikit dengan pengumpul lain mungkin juga lebih mahal karena pasokan yang lebih sedikit.

Kemudian, proses pemanenan sarang juga cukup berbahaya karena banyak yang berlokasi di alam liar. Sarang alami umumnya berada di dinding-dinding gua yang curam. Lalu, untuk mendapatkan kualitas yang baik, perlu dilakukan proses pembersihan sarang atas kontaminasi. Ini membutuhkan waktu panjang dan ketelitian.

Mempertimbangkan rentetan faktor di atas, tentu wajar saja jika sarang burung walet yang siap dikonsumsi cukup menguras kantong para penikmatnya.

Meskipun begitu, harga eskpor sarang burung walet olahan Ibu Pertiwi sejatinya masih lebih rendah dibandingkan dengan Hongkong, Singapura, China, dan Malaysia. Padahal, negara-negara tersebut merupakan importir utama.

Grafik harga ekspor Sarang Burung Walet

Grafik harga ekspor Sarang Burung Walet. FOTO/sciencehorizon.com.ua

Dyah Rahmawati dan rekan dalam studinya menjelaskan alasan rendahnya harga ekspor Ibu Pertiwi terletak pada implementasi sanitasi dan fitosanitari (sertifikat kesehatan tumbuhan). Selain itu, negara-negara tersebut juga memberlakukan hambatan teknik perdagangan dan inspeksi pengiriman yang jauh lebih terstruktur.

Dengan hasil olahan produk yang lebih besar dan sehat, didukung sistem perlindungan perdagangan, maka sarang burung walet dapat diekspor dengan harga yang lebih tinggi.

Tantangan Regulasi Domestik

Pada dasarnya pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan nilai jual SBW, salah satunya melalui pemberlakuan Eksportir Terdaftar (ET). Regulasi ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 19 Tahun 2021 tentang Kebijakan Pengaturan Ekspor.

Untuk memperoleh ET, para eksportir harus memenuhi persyaratan. Utamanya berupa Nomor Kontrol Veteriner (NKV) dan Instalasi Karantina Hewan/Tempat Tindakan Karantina (IKH/ TTK). Adapun masa berlaku ET sarang burung walet adalah selama perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan kegiatan usaha di bidang ekspor tersebut.

Berdasarkan data Ditjen Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan (2023), per 14 Maret 2023 sebanyak 72,20 persen eksportir sarang burung walet telah memiliki ET dan 16,59 persen eksportir sedang dalam proses pengajuan dan segera dapat diterbitkan ET-nya. Kemudian, sisanya sekitar 11,21 persen belum memiliki ET, umumnya adalah UMKM.

Akan tetapi, di saat yang sama, penggunaan ET juga memberatkan pelaku usaha. Pasalnya, banyak eksportir yang memilih undur diri dari bisnis ekspor ini karena kerumitan prosedurnya. Tentu ini nantinya akan berdampak pada penurunan nilai ekspor.

Menteri Perdagangan RI, Zulkifli Hasan, sadar betul sarang burung walet memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia. Ia pun berjanji memperbaiki tata kelola dan regulasi instrumen ET sarang burung walet.

“Khususnya terkait Sarang Burung Walet sudah selesai. Perubahan yang dilakukan yaitu berupa penyederhanaan persyaratan penerbitan eksportir terdaftar (ET) dan saat ini sedang proses penjadwalan harmonisasi dari Kementerian Hukum dan HAM," ujar Zulhas sapaan akrabnya dalam Munas Perkumpulan Pengusaha Komoditas Sarang Burung Walet Indonesia (PPKSBWI).

“Kita semua tetap harus terus fokus bekerja keras dalam mempertahankan capaian yang sudah membanggakan dan memperbaiki hal-hal yang masih perlu diperhatikan,” tutup Zulhas.

Kebocoran Pajak

Di tengah dorongan penyederhanaan regulasi dan potensi besar sarang burung walet, ada masalah lain yang menyelimuti komoditas satu ini. Diketahui bahwa, pajak sarang burung wallet merupakan salah satu objek pajak yang sulit dipungut pemerintah daerah.

Contohnya saja Pemda di Kalimantan Selatan (Kalsel) yang masih gagal memungut pajak sarang burung wallet sepenuhnya. Potensi penerimaan pajak daerah untuk komoditas ini mencapai Rp126,12 miliar pada 2021 dan sebesar Rp109,12 miliar pada 2022.

Akan tetapi, realisasi penerimaannya sangat rendah, yaitu hanya 0,86 persen tahun 2021 dan 1,44 persen tahun 2022 (sampai dengan 30 November 2022).

Kepala Perwakilan BPKP Kalimantan Selatan yang saat itu masih dijabat oleh Rudy M, menyatakan penyebab seretnya penerimaan PAD lantaran wajib pajak tidak jujur melaporkan hasil panen, bisnis gelap sarang burung walet (closed market), dan kompetensi aparat pajak daerah rendah.

Selain itu, pemerintah daerah di Kalimantan Selatan juga tidak mampu mengembangkan alat kendali yang memadai untuk menguji laporan wajib jajak.

Tidak berbeda jauh, penerimaan pajak dari sarang burung walet di Kabupaten Kepulauan Meranti juga masih belum maksimal. Dari target penerimaan pajak Rp21,7 miliar di tahun 2022, realisasinya baru di kisaran Rp720,7 juta atau setara dengan 3,32 persen.

Dari perhitungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kepulauan Meranti dalam setahun pajak sarang walet bisa mencapai setidaknya Rp 19 miliar. Namun hal itu sulit dicapai karena kesadaran pemilik sarang walet masih sangat rendah.

Selain itu, banyak pengusaha yang belum memiliki NPWPD. TIdak hanya itu, sebagian besar juga tidak memiliki izin daerah, mulai dari IMB, IPAL dan izin lainnya.

Dari sini, kita bisa melihat terdapat tantangan tersendiri dalam memungut jenis pajak ini. Dalam praktiknya, toh tidak semua daerah memiliki potensi besar terkait pemungutan pajak sarang burung walet. Namun, sudah sepatutnya pengenaan pajak harus dilakukan sesuai dengan prinsip pajak yang baik.

Apalagi dasar hukum dari pajak sarang burung walet sudah tertulis pada Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 2022, tentang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Insider
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Dwi Ayuningtyas