Menuju konten utama

Merebaknya Bisnis Jamu hingga Jadi Warisan Budaya UNESCO

Jamu telah dikonsumsi masyarakat Indonesia sejak abad ke-8 dan ramuan tradisional sudah mendunia dengan nilai ekspor Rp643 miliar.

Merebaknya Bisnis Jamu hingga Jadi Warisan Budaya UNESCO
Header INSIDER Merebaknya Bisnis Jamu hingga Jadi Warisan Budaya UNESCO

tirto.id - Tanpa melalui perdebatan panjang, per tanggal 6 Desember 2023 lalu, jamu dinobatkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb) milik Indonesia. Melalui sesi sidang ke-18 Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Kasane, Bostwana, akhirnya diputuskan bahwa jamu menjadi bagian dari budaya Indonesia secara utuh.

Mendikbudristek menyampaikan bahwa “Sebagai salah satu warisan budaya kita, jamu mewakili hubungan yang mendalam, bermakna, dan harmonis antara manusia dengan alam. Jamu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia selama berabad-abad,” mengutip siaran pers.

Diketahui bahwa Jamu telah masuk menjadi WBTb yang ke-13 bagi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia telah mencatatakan 12 WBTb yaitu Wayang (2008), Keris (2008), Batik (2009), Pendidikan dan Pelatihan Membatik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken (2012), Tiga Genre Tari Bali (2015), Kapal Pinisi (2017), Tradisi Pencak Silat (2019), Pantun (2020), dan Gamelan (2021).

Tentunya informasi ini menjadi kemenangan besar bagi Indonesia pada tahun 2023. Seperti yang dilansir dari Portal Kemenlu, hasil ini didapatkan dari upaya kolaboratif yang didorong oleh partisipasi aktif masyarakat lokal dan dibantu oleh pemerintah. Prof. Ismunandar, selaku Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO, menyoroti pentingnya pengakuan Budaya Sehat Jamu sebagai WBTb UNESCO.

Perkembangan Jamu

Jamu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia berabad-abad lamanya. Beberapa sejarawan meyakini bahwa Jamu pertama kali menjadi bagian dari masyarakat Indonesia di masa Kerajaan Mataram (abad ke-16).

Ada juga yang meyakini bahwa keberadaan jamu di tengah masyarakat jauh sebelum abad ke-16, yakni abad ke-8. Hal ini mengingat ditemukannya buku kuno resep-resep pembuatan jamu di perpustakaan kerajaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud jamu itu? Jamu adalah obat tradisional yang dapat menjadi alternatif pendukung kesehatan masyarakat. Minuman jamu biasanya menggunakan bahan-bahan herbal yang tersedia di alam.

Ramuan jamu berisi rempah-rempah, akar, daun, bunga, biji, dan beberapa juga menambahkan bahan-bahan seperti telur ataupun bagian hewan lainnya. Beberapa bahan yang paling banyak digunakan dalam jamu adalah kunyit, jahe, asam jawa, serai, dan kayu manis.

Kalau kalian mungkin yang tinggal di wilayah sub-urban atau komplek yang masih menerapkan konsep tetangga, paling tidak pasti pernah melihat satu kali ‘Mbok Jamu’. Perempuan yang identik dengan kebaya dan tas gendong terbuat dari bambu yang memikul botol besar berisi jamu di punggungnya. Mereka adalah penjual jamu keliling, dan biasanya menjual dagangannya dari pintu ke pintu.

Dalam perkembangannya, konsumsi jamu di Indonesia mengalami pasang surut. Tidak sedikit yang mempertanyakan manfaat jamu bagi kesehatan. Ambil contohnya pada era kolonial, di mana pengobatan modern berbasis keilmuan Barat mengesampingkan keberadaan jamu sebagai alternatif pengobatan di tengah masyarakat.

Baru kemudian mulai tahun 1940-an ketika masa kependudukan Jepang, jamu kembali dikonsumsi karena keterbatasan pasokan alat medis dan obat-obatan.

Dilansir dari The Jamu Group, kebangkitan penggunaan jamu pada tahun 1940-an ini juga mengarah pada formalisasi ilmu pengetahuan yang melingkupinya. Dalam beberapa dekade terakhir, jamu telah berubah dari minuman yang dibuat secara lokal menjadi pil atau bubuk yang diproduksi dalam skala industri sampai saat ini.

Kini, tingkat penerimaan jamu di masyarakat sebagai alternatif ramuan herbal semakin meningkat. Bahkan mayoritas meminumnya secara reguler dan merekomendasikannya kepada orang lain. Argumentasi ini dibuktikan oleh penelitian oleh Andriati dan R.N. Teguh Wahjudi.

Untuk mendukung perkembangan industri jamu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mencoba mengelompokkan obat bahan alam yang beredar di Indonesia. BPOM mengkategorikan jamu sebagai obat tradisional/obat herbal.

Terdapat tiga kriteria obat tradisional berdasarkan standardisasi khasiat, keamanan, dan mutu, yakni jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka. Khusus untuk jamu, BPOM mengkategorikannya sebagai obat tradisional paling sederhana karena pembuktian ilmiah hanya didasari oleh bukti secara turun temurun.

Jamu juga tidak diwajibkan untuk standardisasi, tetapi memang harus memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan BPOM. Maka dari itu, klaim khasiat kesehatan dari mengonsumsi jamu juga tidak boleh berlebihan.

Berkah COVID-19 dan Peta Jalan Industri Jamu RI

Melihat potensi jamu yang dapat berkembang sedemikian besarnya, Pemerintah Indonesia tidak kenal diam untuk terus memaksimalkan industri jamu.

Berdasarkan data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), profil kekayaan spesies bahan alami yang berpotensi menjadi obat herbal mencapai 33 ribu spesies, dan sampai saat ini baru sekitar 800 spesies sudah dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan jamu.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dulunya LIPI, juga menyebutkan keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi mengatasi tantangan penyakit infeksi. Berdasarkan kajian BRIN, terdapat 90 jenis obat-obatan alami yang berkhasiat sebagai anti-bakteri. Kemudian 70 jenis bermanfaat untuk anti-kanker, dan anti-inflamasi sebanyak 50 jenis, merujuk Antara.

Demi memberikan rencana yang konkrit dalam rangka pengembangan industri jamu ke depannya, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Pemanfaatan Jamu.

Peraturan tersebut mengatur sejumlah strategi untuk pengembangan jamu, mulai dari produksi, pemasaran, pengembangan sistem informasi, pengembangan IPTEK, perlindungan bahan baku, sampai kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM). Selain berbagai strategi, peraturan tersebut juga memberikan peta jalan untuk pengembangan industri yang efektif mulai tahun 2023 – 2045.

Di samping dukungan dari pemerintah, perkembangan akademisi juga turut berupaya memberikan berkontribusi dalam kemajuan industri jamu. Prof Elfahmi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), berhasil menyelesaikan disertasinya yang berjudul Jamu: Traditional to Modern Era of Biotechnology to Increase Levels of Medicinal Plants’ Beneficial Contents. Ia menemukan suatu teknik rekayasa genetika yang memungkinkan produksi metabolit sekunder pada tanaman oleh mikroorganisme (bakteri, jamur, dll.).

Industri Jamu Kian Menjanjikan

Beberapa tahun terakhir, perkembangan industri jamu sangatlah menggiurkan. Berdasarkan data statistik yang diolah oleh Kementerian Perdagangan, ekspor jamu ke luar negeri mengalami kenaikan di masa pandemi COVID-19. Total ekspor jamu Indonesia pada tahun 2021 mencapai USD41,5 juta setara Rp643,23 miliar (asumsi kurs Rp15.500/USD). Perolehan tersebut naik sekitar 10 persen dari tahun 2019.

Beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor jamu adalah Arab Saudi dan Nigeria. Bahkan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha (GP) Jamu, nilai pasar dunia terhadap obat alam diperkirakan mencapai Rp1.936,9 triliun.

Namun, sayangnya kondisi saat ini posisi Jamu di pasar global obat herbal dan tradisional masih rendah, hanya sekitar Rp16 triliun atau 0,8 persen. Terhitung sampai Desember 2022, berdasarkan data dari GP Jamu terdapat 58 negara yang berminat untuk melakukan impor jamu, namun 15 di antaranya masih belum mampu dimasuki.

Sementara, jika melihat dari sisi pendapatan, pada triwulan pertama tahun 2020 saja di mana kondisi ekonomi nasional melambat, penjualan jamu secara nasional justru meningkat pesat. Segmen jamu dan obat herbal telah terjual Rp730,72 miliar, naik 2,4 persen dari tahun 2019.

Pandemi membuka potensi bagi pasar global jamu yang sangat menggugah. Ditambah dengan semakin siapnya pasar domestik menyambut permintaan dari luar negeri, peluang untuk meluaskan jaringan pelanggan lintas benua sangat mungkin dicapai.

Future Market Insights sempat mengeluarkan laporan yang menunjukkan potensi pasar global dari obat-obatan herbal selama jangka waktu 2023 – 2033. Selama selang waktu tersebut, diperkirakan nilai pasar dari obat-obatan herbal (termasuk jamu) mencapai USD23.6 miliar dengan pertumbuhan tahunan sebesar 3,5 persen.

Melihat dari sisi permintaan dan penawaran, rasanya tinggal menunggu saja bagaimana jamu akan menjadi satu komoditas strategis yang nantinya bisa mendampingi perkembangan ilmu kesehatan modern.

Baca juga artikel terkait INSIDER atau tulisan lainnya dari Arindra Ahmad Fauzan

tirto.id - Bisnis
Penulis: Arindra Ahmad Fauzan
Editor: Dwi Ayuningtyas