Menuju konten utama

Kenali Ciri-ciri Jamu Tradisional Ilegal & Ketahui Dampaknya

Obat tradisional ilegal berbahaya bagi kesehatan karena dicampur dengan bahan kimia obat (BKO).

Kenali Ciri-ciri Jamu Tradisional Ilegal & Ketahui Dampaknya
Seorang Polisi menunjukan barang bukti obat yang diproduksi oleh pabrik jamu ilegal. ANTARA FOTO/Lucky R/foc/16.

tirto.id - Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia(BPOM RI)menemukan 777 kasus jamu atau obat tradisional ilegal sepanjang 2022 yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.

Jamu atau obat tradisional disebut ilegal karena tidak memiliki izin edar. Selain itu, menurut pemeriksaan BPOM obat tradisional itu mengandung bahan kimia obat yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Melansir laman resmi BPOM RI obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, dan hewan atau tumbuhan yang dilindungi.

BPOM RI memiliki laman resmi Public Warning Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan(PWOTSK)yang berisi informasi publik mengenai produk Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan berdasarkan hasil pengawasan dan pengujian BPOM RI serta informasi keamanan dari badan otoritas pengawasan di negara lain telah ditarik dari peredaran karena alasan keamanan antara lain produk mengandung BKO yang berisiko terhadap kesehatan.

Sebelum mengonsumsi obat tradisional, dianjurkan bagi masyarakat untuk mencermati terlebih dahulu produk obat yang akan dikonsumsi. Pastikan, obat yang akan dikonsumsi tidak termasuk di dalam data PWOTSK BPOM RI.

Ciri Obat Tradisional Ilegal

Obat tradisional ilegal dapat dilihat dari beberapa ciri seperti dilansir akunInstagramdan laman resmi BPOM RI:

  1. Obat tradisional yang tidak memiliki izin edar BPOM RI, tidak terjamin keamanan, khasiat, dan mutunya.
  2. Obat tradisional yang mengandung bahan kimia obat, seperti parasetamol, fenibuzaton, dan deksametason.
  3. Obat tradisional yang diproduksi oleh pihak yang tidak berhak atau produksi obat tradisional dengan penandaan yang meniru identitas obat tradisional lain yang telah memiliki izin edar.
  4. Diklaim dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
  5. Cara kerja obat yang sangat cepat sesaat setelah mengonsumsinya.

Dampak Obat Tradisional Ilegal

Obat tradisional ilegal berbahaya bagi kesehatan karena dicampur dengan bahan kimia obat (BKO). Terdapat banyak jenis BKO yang telah ditemukan BPOM RI terkandung dalam obat tradisional ilegal seperti fenilbutazon, antalgin (metampiron), deksametason, prednison, teofilin, hidroklortiazid (HCT), dan furosemid.

Tidak hanya itu, ada juga obat tradisional ilegal yang mengandung glibenklamid, siproheptadin, chlorpeniramin maleat (CTM), parasetamol, diclofenac sodium, sildenafil sitrat, dan sibutramin hidroklorida.

BKO tersebut apabila dicampur dengan obat tradisional akan menghasilkan dampak buruk bagi kesehatan. Masing-masing BKO memiliki dampak spesifik yang berbeda-beda, antara lain berikut ini menurut Hari Susanti, Dosen Farmasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dalam tulisannya berjudul Bahaya Jamu Berbahan Kimia Obat:

Fenibutazon

  1. Mual
  2. Muntah
  3. Ruam kulit
  4. Oedema
  5. Pendarahan lambung
  6. Nyeri lambung
  7. Reaksi hipersensitivitas
  8. Hepatitis
  9. Gagal ginjal
Prednison

  1. Moon face
  2. Gangguan saluran cerna
  3. Mual
  4. Tukak lambung
  5. Tulang keropos
  6. Antalgin (mentampiron)
  7. Gangguan saluran cerna
  8. Gangguan sistem saraf
  9. Tinitus atau telinga berdenging
Sildenafil sitrat

  1. Sakit kepala
  2. Pusing
  3. Mual
  4. Nyeri perut
  5. Gangguan penglihatan
  6. Rinitis (radang hidung)

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Balqis Fallahnda

tirto.id - Kesehatan
Kontributor: Balqis Fallahnda
Penulis: Balqis Fallahnda
Editor: Nur Hidayah Perwitasari