Menuju konten utama
Miroso

Jenang Jamu yang Langka, Enak, dan Sehat

Jenang jamu seperti meminum jamu dengan cara baru karena teksturnya yang berupa cairan kental menyerupai jenang.

Jenang Jamu yang Langka, Enak, dan Sehat
Header Miroso Jenang Jamu. tirto.id/Tino

tirto.id - Di daerah Pakualaman, Yogyakarta, ada sebuah kedai jamu lawasan yang cukup sering dikunjungi wisatawan. Ketika suatu hari saya dan seorang teman melewati kedai itu, kami ngobrol betapa sudah lama kami tidak njamu bareng. Si teman menimpali ngudha rasa saya dengan menjanjikan lain waktu kita mampir njamu.

Saya ingat, dengan acaknya tiba-tiba dia bertanya apakah jamu bisa dinikmati selain diminum. Saya jawab, tidak. Karena sejauh pengetahuan saya, jamu kan minuman, jadi ya harus diminum. Hingga pada suatu hari, saya mendapatkan suatu pengalaman baru.

“Kamu sudah pernah coba jenang jamu, belum?” tanya seorang kawan lain, denga wajah penasaran.

Boro-boro mencobanya, saya baru kali ini mendengar tentang jenang jamu ini. Saya mencoba membayangkan seperti apa bentuknya. Apakah seperti jenang sumsum? Atau bagaimana? Untunglah rasa penasaran saya tak berbuntut lama. Rupanya, di pasar dekat rumahnya, ada penjual jenang jamu.

Pencarian saya pun dimulai dari pasar yang disebutkan kawan saya ini, karena konon penjualnya tak ada di semua pasar. Jenang jamu yang langka ini hanya ada di beberapa pasar tertentu saja, di jam tertentu pula. Menurut informasi dari kawan saya, jenang jamu hanya dijual sebelum pukul 7 pagi. Saya segera mencari waktu dan menuju pasar Jangkang di Sleman pagi-pagi sekali untuk mencari keberadaan penjual jenang jamu ini.

Sampai sana pun, pencarian tak berjalan mulus. Karena ternyata tak semua orang tahu keberadaan penjual jenang ini. Karena itu, bertanya pada sesama penjual pasar yang sudah sepuh adalah salah satu strategi jitu.

Ketika saya akhirnya menemukan penjualnya, saya bertanya-tanya dalam hati. Ia tak membawa botol-botol kaca layaknya penjual jamu yang saya kenal selama ini. Alih-alih botol, ia membawa satu termos plastik besar berisi cairan kental berwarna kuning cerah khas warna kunyit. Dilengkapi dengan uap panas yang menguar dari dalam termosnya, ibu penjual jenang jamu dengan cekatan membungkus jenang ini dalam kemasan plastik kecil porsi sekali minum.

“Monggo, Mbak, jenang jamunya,” sapa ramah si Ibu Penjual sembari tangannya tetap sibuk membungkus.

Saya memesan satu porsi dan si ibu menyalurkan satu gelas kecil berisi jenang jamu dilengkapi dengan sendok. Gelas itu terasa panas dan saya menyendok cairan kental yang warna dan penampakannya mirip saus mustard versi Jawa ini. Olala, lidah saya terbakar! Ternyata rasa jenang jamu ini ya persis seperti jamu yang biasa saya minum. Hanya saja sensasi licin kental jenang nya adalah sensasi baru yang tak pernah terbayangkan dalam minum jamu sebelumnya.

Jenang jamu ini bagi saya seperti meminum jamu dengan cara baru. Ini mengingat teksturnya yang berupa cairan kental menyerupai jenang, tapi tak sekental jenang. Jenang jamu tidak hanya dijual dalam satu rasa. Penjual yang berbeda bisa menjual jenang jamu dengan rasa yang berbeda pula. Beberapa jenis jenang jamu lainnya adalah temulawak kunyit dan beras kencur. Selain itu, penambahan tepung beras pada jamu ini menjadikan teksturnya kental serupa jenang/bubur.

Infografik Miroso Jenang Jamu

Infografik Miroso Jenang Jamu. tirto.id/Tino

Bagi sebagian orang, jenang jamu juga dikenal dengan nama jenang parem, jamu parem atau parem longok. Jenang parem ini dibuat menggunakan aneka rempah, yaitu jahe, kunyit, cengkeh, merica, ketumbar, jinten, gula merah, dan gula batu. Bila dibandingkan dengan jenang lainnya, jenang jamu unik karena rasanya yang kaya, campuran manis, pedas, dan hangat.

Pembuatan jenang jamu menggunakan bahan yang serupa dengan minuman jamu pada umumnya. Bahan-bahan berupa aneka rempah jamu seperti jahe, kunyit, kapulaga, kayu manis dan kayu misoyi terasa kuat. Kayu misoyi sendiri bisa dikatakan sebagai bahan wajib untuk jenang jamu.

Bahan rempah untuk jenang ini cenderung mudah diperoleh karena tidak sedikit yang menjadi tanaman pekarangan seperti jahe, kunyit, dan temulawak. Cara pembuatannya pun masih tergolong tradisional dan dikerjakan menyatu dengan dapur rumah, seperti membuat jamu atau jenang pada umumnya.

Meskipun belum banyak sejarah tertulis yang menyebutkan kapan jenang ini muncul, tapi sekitar 50 tahun yang lalu, jenang jamu sudah dikenal oleh masyarakat. Karena terbuat dari rempah-rempah jamu, masyarakat menjadikan jenang jamu ini sebagai minuman untuk menjaga daya tahan tubuh.

Jenang jamu juga dibuat menyesuaikan cuaca dan kebutuhan warga. Saat musim hujan, jenang jamu banyak dicari karena bisa menjadi alternatif obat batuk pilek. Dengan begitu, pembuat jenang akan menambahkan lebih banyak jahe dan kapulaga dalam resepnya.

Jenang jamu tercipta sebagai pilihan cara mengonsumsi jamu selain dengan diminum, karena tidak semua orang bisa atau mau minum jamu. Ketika jamu dibuat dalam bentuk jenang, maka harapannya jamu tidak hanya dikonsumsi oleh orang tua saja tetapi juga juga bisa diterima oleh anak-anak. Siasat ini dinilai lebih familiar untuk memperkenalkan jenang jamu ke generasi muda.

Sayangnya, jenang jamu kini sudah tergolong langka, karena hanya bisa ditemui di beberapa pasar tradisional di Sleman, itu pun penjualnya hanya satu. Penjual ini akan berpindah ke pasar lain menyesuaikan hari pasaran. Bersama anak perempuannya, mereka akan berpindah-pindah jualan ke empat pasar, mulai dari Pasar Pakem, Pasar Jangkang, Pasar Banjarharjo, dan Pasar Jambon – menyesuaikan hari pasaran masing-masing pasar. Dijual dengan harga Rp2 ribu per porsinya, harga jenang jamu ini terhitung cukup murah untuk minuman yang kaya akan manfaat bagi tubuh.

Sayangnya, pengetahuan tentang jenang jamu pun mulai hilang, karena tidak banyak orang yang mengetahui tentang ini. Terbukti dengan sedikitnya penjual, dan yang membeli pun kebanyakan langganan yang sudah tahu. Mereka yang belum tahu, tidak tertarik untuk mencobanya. Ini ditambah dengan penjual-penjual jamu yang masih muda pun rupanya banyak yang tak mengenal jenang jamu.

Jenang jamu ini sendiri biasanya dinikmati di tempat selagi hangat, di dalam gelas kaca berukuran sedang. Namun, tak jarang pula pembeli membawanya pulang untuk oleh-oleh. Seperti yang saya lakukan, membawanya pulang untuk saya kenalkan pada teman saya yang lain lagi.

Baca juga artikel terkait JAMU atau tulisan lainnya dari Lina Maharani

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Lina Maharani
Editor: Nuran Wibisono