tirto.id - “Identitas nasional kita sekarang ini apa? Baju batik, peci hitam, kerusuhan, keberanian tanpa moral? Bisa jadi, yang aman adalah jamu. Jamu bisa menjadi identitas nasional yang aman, membanggakan, dan tak dimiliki negara lain.”
Keresahan mendiang penulis dan wartawan Arswendo Atmowiloto, yang dimuat di Majalah Tempo, pada tanggal 25 Oktober 1999, terjawab sudah. Budaya Sehat Jamu resmi menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dari Indonesia ke-13 yang diinskripsi ke dalam daftar WBTb UNESCO, 24 tahun setelah tulisannya naik cetak.
Jamu, yang kini tidak hanya hadir di ruang-ruang yang didominasi oleh orang-orang tua, mulai menempati tempat tersendiri di hati penggemar mudanya. Jamu perlahan masuk ke ruang-ruang pop dengan berbagai jurusnya: hadir dalam stan-stan acara yang diprakarsai anak muda, menjadi pilihan non-kopi di coffee shop dengan dibuat menjadi mocktail (minuman non-alkohol dengan campuran susu, krim, buah-buahan maupun herba), tampil sebagai alternatif suplemen penjaga kebugaran sehari-hari, lahirnya berbagai jenama dan cafe yang mengusung rempah Nusantara sebagai bagian dari menu utamanya, hingga yang teranyar adalah lewat musik.
“Kita. Jompo muda.
Hanya butuh remedi Nusantara.
Kita. Jompo muda.
Butuh jamu sehat pria & wanita.”
Lirik di atas penggalan dari lagu "Kita, Jompo Muda", ciptaan Rara Sekar, seorang peneliti, penyanyi dan pencipta lagu tanah air yang kini sedang tinggal di Selandia Baru untuk menemani suaminya melanjutkan studi.
Lagu "Kita, Jompo Muda" kini banyak diputar oleh anak-anak muda yang merasa terhubung dengan lirik yang ditulis Rara. Inspirasinya lahir dari pengalaman diri dan teman-temannya yang menginjak usia 30-an, tetapi badan rasanya sudah kretek-kretek kalau habis duduk dengan durasi panjang, gak sanggup nonton festival terlalu lama, dan juga lebih memilih untuk rebahan dan berkebun saja di rumah setiap akhir pekan.
Menurut Rara, ada banyak pengetahuan warisan kebudayaan yang terkandung di dalam tubuh & cerita leluhur dan masyarakat.
“Sebagai masyarakat kota kita seringkali terputus dengan itu. Keterputusan ini justru seringkali menjebak kita pada kekosongan identitas, keterputusan hubungan dengan diri, alam dan sesama, juga kemungkinan terjebak medikalisasi yang tidak sadar atau harmful pada diri dan orang lain. Jamu menjadi pintu masuk aku pribadi untuk mendalami relasi-relasi ini," ujarnya.
Seberpengaruh apakah lingkungan tempat tinggalmu terhadap kebiasaan minum jamu?
Jika Rara terpapar pengetahuan soal kekayaan jamu sejak berkebun dan belajar banyak dari komunitas permakultur, kolektif tani dan pegiat pangan lokal, saya memiliki cerita yang cukup panjang soal ini.
Semasa kecil, saya tinggal di lingkungan perantau yang berasal dari Kota Solo. Kelompok pedagang ini terbagi menjadi dua golongan: penjual mie ayam dan bakso, atau jamu.
Mbok Sayem, atau yang akrab dipanggil Yu Ndari (anak perempuannya bernama Sundari), adalah tetangga saya dan salah satu penjaja jamu gendong keliling andalan di Sumedang selama hampir 30 tahun. Beliau merantau sejak tahun 1970-an hingga 2000-an. Setiap subuh, ibu beranak 5 ini menyiapkan dagangannya. Menyortir berbagai rempah, mengupas, membersihkan, menumbuknya hingga lembut, menyaring, hingga mengemasnya dalam botol kaca, untuk kemudian disusun rapi ke dalam bakul jamu. Beras kencur, uyup-uyup, brotowali, cabe puyang, kunir asem, jamu daun kates, ramuan cekok, dll, siap dipesan dan diracik langsung di depan pelanggan. Semuanya beliau siapkan sendiri, dengan jam kerja padat yang nyaris tanpa libur.
Susan-Jane Beers, dalam bukunya yang berjudul Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing (2001), menjelaskan bahwa dalam keseharian, penjual jamu gendong keliling akan membawa 4-5 jenis jamu yang berkhasiat untuk menjaga stamina dan daya tahan tubuh.
Jamu ini lebih bersifat preventif daripada kuratif. Mereka juga akan membawa stok jamu serbuk buatan pabrik untuk keluhan kesehatan pelanggan yang lebih spesifik. Tidak lupa madu dan telur ayam kampung pun turut serta untuk mengurangi rasa pahit dan getir dari jamu, yang juga untuk meningkatkan efektivitas beberapa jenis jamunya.
Saya sudah menjadi langganan jamu Yu Ndari sejak balita. Dulu saya susah sekali makan. Saking frustasinya dengan nafsu makan anaknya yang rendah, Ibu menyiapkan berbagai suplemen di rumah, mulai dari minyak hati ikan kod hingga susu pemenuh nutrisi harian. Jamu cekok Yu Ndari juga masuk ke daftar usaha Ibu yang hasilnya baru terasa bertahun-tahun kemudian (hingga anaknya kini selalu merasa lapar).
Yang saya syukuri adalah saya tidak trauma dengan jejamuan pahit yang dijejalkan di masa saya belum bisa memberi consent dan menolaknya mentah-mentah. Hingga kini, saya tidak pernah absen untuk minum jamu pahitan, setidaknya seminggu sekali untuk memelihara stamina dan kesehatan.
Selain racikan Yu Ndari, tubuh saya pun terbiasa mengonsumsi ramuan obat herbal yang dibuat Ayah. Sejak muda, beliau memiliki ketertarikan khusus akan tanaman-tanaman obat yang tumbuh di hutan. Ayah yang lebih senang berinteraksi dengan tumbuhan dan hewan daripada manusia, sering menghabiskan waktunya berbulan-bulan untuk tinggal di hutan.
Masa inilah yang ia gunakan untuk belajar dan bereksperimen dengan beragam macam tumbuhan dan jamur. Latar belakang pendidikannya yang etnobotani dan pertanian, membantu beliau untuk mengklasifikasinya dengan baik.
“Akar, batang, daun, bunga, buah & biji masing-masing ada manfaatnya, Kak. Tapi kadang juga ada yang daunnya bermanfaat, tapi bijinya gak bisa dikonsumsi. Misalnya tanaman saga (Abrus precatorius L.). Daunnya bisa dipakai untuk ngobatin sariawan kalau dikunyah mentah-mentah, tapi bijinya jangan coba-coba digigit, itu beracun," katanya suatu ketika.
Di saat ada anggota keluarga yang batuk, Ayah akan merebus enam helai daun karuk (Piper sarmentosum) yang direbus dengan dua gelas air, dan ditunggu hingga menyusut menjadi satu gelas. Kalau sedang ada yang alergi gatal karena debu dan cuaca, beliau akan memetik beberapa helai daun mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) untuk direbus dan diminum selama 1-2 hari, yang mana terbukti ampuh untuk segera menghilangkan rasa gatal.
Selain sebagai “pabrik” lalapan, kebun kami di rumah juga ditanami berbagai macam tanaman obat keluarga. Tetapi menanam di kebun pun belum cukup, ada beberapa bahan yang mesti dipanen berkala dari hutan, karena Ayah juga membuat racikan yang dikonsumsi publik. Setiap 1 bulan sekali, Ayah akan membawa motor trail-nya ke hutan, membawa tas besar, mengajak anak-anak perempuannya, dan menjadikannya ajang pengumpulan stok bahan sekaligus piknik keluarga.
Kelahiran Temukini
Tumpukan memori, juga pengalaman dekat dengan jamu dan obat tradisional, sepertinya memenuhi alam bawah sadar saya. Ia beberapa kali berusaha untuk muncul ke permukaan, meminta untuk diperhatikan dan diterima. Namun beberapa kali pula saya mendorongnya lagi masuk ke alam ide, karena merasa gak nowness banget dan gak trendy.
Hingga saat kebangkitannya pun tiba. Pada akhir tahun 2017, sahabat saya mengajak untuk makan siang di Warung Bumi, milik Bumi Langit Institute yang berlokasi di Imogiri, Bantul. Saya memesan es beras kencur untuk menurunkan tensi yang meninggi karena udara panas dan lembab sepanjang perjalanan.
Pada tegukan pertama, hangat kencur yang berjalinan dengan jahe, memenuhi rongga di mulut. Tegukan kedua, hangat itu menjalar ke seluruh tubuh tanpa kecuali. Ketiga kali menenggaknya, kesegaran samar-samar muncul seakan membasuh rasa lelah, dan memang khasiat beras kencur adalah untuk menumpas capek-capek di tubuh.
Sensasi rasa tersebut membawa saya pada hari-hari bersama Yu Ndari, dan tegukan ramuan-ramuan buatan Ayah. Rasa yang membuat saya termenung sejenak, dan kemudian secara impulsif mendaftar menjadi relawan di Bumi Langit Institute selama 3 bulan lamanya.
Setelah memulai program, saya belajar membuat jamu secara intensif kepada Mak Mitun, salah seorang juru masak dan pembuat jamu tumpuan Warung Bumi. Kami bersama-sama mencari bahan terbaik di kebun dan juga Pasar Imogiri. Pun kami sering mencicipi jamu-jamu yang masih dibuat secara tradisional di sekitar sana. Pengalaman belajar yang berharga sekaligus menyenangkan.
Intensitas saya belajar membuat jamu setiap minggunya pun membuat saya memiliki surplus produksi beras kencur, kunir asem, dll. Sehingga ketika saya pulang ke kost-an di Jogja Utara saban akhir pekan, saya membawa dan membagikannya pada teman-teman terdekat.
“Bawa jamu lagi, Mi?”
“Mana jatahku?”
“Buat minggu depan, aku pesan 1 liter ya!”
Begitulah kira-kira obrolan yang terjadi dalam pertemanan selama saya berjibaku di kawah candradimuka bernama jamu.
Selain itu, ketika tinggal di Imogiri, saya kebetulan tinggal di satu rumah dengan Ibu Arahmaiani, seorang seniman cum aktivis yang juga sahabat Pak Iskandar, pendiri Bumi Langit. Ibu Iani, panggilan akrabnya, adalah orang yang pertama-tama mendorong saya untuk mendalami laku membuat jamu dan membuat berbagai macam workshop pembuatan ramuan tradisional bagi anak muda.
Ia rajin mengantar saya ke beberapa tempat pembuatan jamu milik kawan-kawannya, agar saya bisa belajar produksi jamu dari hulu ke hilir. Ibu Iani pula yang membidani lahirnya Temukini, jenama jamu yang saya kandung selama beberapa bulan, di tahun 2018.
Temukini yang sekarang diasuh oleh 4 perempuan bermacam latar belakang, sudah memiliki depot jamu sendiri yang terletak di Dusun Jaban, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Selain jejamuan, kami juga menyediakan makanan comfort foods yang tidak hanya mengisi perut, tapi juga menghangatkan hati di berbagai cuaca. Depot Temukini adalah wujud dari upaya saya dan teman-teman untuk memelihara kesehatan dan merawat komunitas kami secara holistik.
Jamu dan Ruang Kemandirian untuk Perempuan
Selain melayani pesanan-pesanan jamu dari individu maupun kedai-kedai kopi di Jogja, Temukini beberapa kali mengadakan workshop pembuatan jamu, yang bekerja sama dengan berbagai instansi maupun komunitas, seperti Universitas Gajah Mada (UGM), Book for Mountain, Fade Journey, hingga yang terakhir bersama World Resource Institute (WRI) Indonesia.
Workshop jamu dengan mayoritas peserta anak muda, selalu dimulai dengan pengenalan kembali jenis-jenis rempah.
“Ini kunyit atau temulawak?”
“Apakah temu mangga dan kunyit putih sama?”
“Saya belum bisa membedakan antara lengkuas dengan jahe, Kak”
Begitu biasanya dinamika yang terjadi di awal. Usaha pengenalan kembali menjadi penting untuk menyambung kembali jembatan pengetahuan yang terputus sebelumnya.
Hal ini berbeda dengan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Padusi Etnobotani di Padang Janiah, Kota Padang, yang beranggotakan ibu-ibu petani dan pekebun. Mereka sudah sangat mengenali jenis-jenis tanaman obat yang tumbuh di sekitar rumah dan hutan yang hanya sepelemparan batu dari tempat tinggal.
Dalam keseharian pun, resep-resep ubek atau obat dari leluhur masih diaplikasikan untuk keluarga dan komunitas terdekat. Kelompok yang baru secara resmi terbentuk selama beberapa bulan ini bahkan sudah membuat database tanaman obat dan berbagai macam racikannya, yang didampingi dan difasilitasi oleh WRI Indonesia. Pendokumentasian tanaman obat dan formula obat telah dikemas dalam satu buku saku, yang ditujukan untuk menjadi arsip bagi generasi mendatang.
Kehadiran Temukini selama beberapa hari di sana adalah untuk membantu KUPS Padusi Etnobotani membuat diversifikasi produk turunan, yang mana sudah menghasilkan produk berupa minuman berempah siap minum bernama: Ubek Abuih. Minuman herbal ini juga sudah mulai dinikmati khalayak, terutama untuk kegiatan-kegiatan desa wisata di sana. Selain itu, Temukini mendampingi ibu-ibu yang sangat lihai marandang ini dalam membuat SOP dan memastikan kelayakan hasil produksinya untuk dikonsumsi publik.
Jamu, ataupun produk herbal dengan nama lokal masing-masing, membuka ruang kemandirian bagi perempuan. Hal ini selaras dengan yang diceritakan dalam film dokumenter Behind The Healing Herbs (2016), karya Wucha Wulandari, di mana kehadiran kelompok perempuan dalam usaha pelestarian jamu, juga berdampak baik terhadap kehidupan mereka secara individu.
Ibu Murjiati, salah satu subjek utama dalam filmnya, adalah tulang punggung keluarga dan juga tumpuan komunitas pembuat jamu di Kiringan, Bantul. Dari berjualan jamu, beliau berhasil menyekolahkan anak perempuannya lebih tinggi dari dirinya sendiri. Yu Ndari, penjual jamu gendong yang saya ceritakan di atas pun berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus dari perguruan tinggi ternama di tanah air, dan semuanya berawal dari jamu.
Setelah puluhan tahun hidup berdampingan dengan jamu, saya rasanya seperti menemukan teman seperjalanan yang tidak hanya menemani di saat senang, namun juga ketika sulit. Ia bekerja perlahan tapi pasti. Hari-hari biasa, kunir asem dan beras kencur menjadi konsumsi andalan. Hari-hari dengan badan greges, jamu kental berisi puluhan jenis rempah, siap to the rescue.
Kini, jamu sudah diakui sebagai warisan takbenda oleh UNESCO. Bagi peramu jamu muda seperti saya, hal ini merupakan penguat diri untuk terus berkarya dan meracik jamu, sehingga bisa terus mempersembahkannya bagi kelangsungan hidup dan kesehatan diri sendiri, keluarga, maupun komunitas. Membuat jamu, berarti juga merawat peninggalan leluhur, yang semoga bertahan hingga ratusan tahun ke depan.
Lalu seperti yang diungkapkan oleh Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan kita: jamu adalah salah satu resep yang menyembuhkan, menguatkan, dan menyatukan kita.
Penulis: Ismi Rinjani
Editor: Nuran Wibisono