tirto.id - Berlibur ke gunung menunjukkan tren meningkat sejak awal pandemi COVID-19. Kontribusinya terhadap perekonomian diperkirakan terus bertambah.
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memprediksi, nilai ekonomi dari wisata gunung akan meningkat tiga kali lipat, yaitu dari USD150 juta, setara Rp2,25 triliun (kurs Rp 15.000/USD) di tahun 2020 menjadi USD450 juta atau sekitar Rp7 triliun di tahun depan, dikutip dari Antara.
Jika dikelola dengan baik, potensi ekonomi dari wisata gunung ini cukup besar dan Indonesia tentu menuah keuntungan. Pasalnya, negara kita punya ratusan gunung yang berpotensi menjadi destinasi wisata.
Menurut riset Gosal dkk di tahun 2018, sebanyak 13% dari gunung api di dunia dimiliki oleh Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 129 gunung berstatus aktif dan 500 gunung berstatus tidak aktif.
Banyaknya gunung tersebut bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata menarik. Survei perilaku wisatawan di Asia Pasifik yang dilakukan oleh agen travel dari Singapura Klook baru-baru ini mengungkapkan, Generasi Milenial dan Gen Z menyukai wisata petualangan dan wisata alam. Artinya, wisata gunung punya peluang besar untuk menarik banyak wisatawan.
Berdasarkan catatan Asosiasi Pendaki Gunung Indonesia (APGI) di tahun 2020, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang mendaki gunung di Indonesia mencapai 150 ribu orang, sedangkan jumlah wisatawan nusantara (wisnus) mencapai 3 juta orang.
Menurut Ketua Umum APGI Rahman Mukhlis, dikutip dari Antara, peminat wisata gunung meningkat sejak pandemi, bahkan pernah menduduki peringkat satu (jumlah pengunjungnya). Wisata gunung berkembang pesat dalam satu dekade terakhir, karena dukungan teknologi, sarana dan prasana yang semakin baik.
Dengan berkembangnya platform online, banyak agen wisata gunung yang menawarkan paket-paket wisata melalui website.
Selain itu, transportasi dan akomodasi menuju ke gunung semakin mudah dan banyak pilihan. Konten-konten yang menginformasikan profil gunung juga memudahkan wisatawan memilih destinasi impiannya.
Provider wisata gunung mdpljogja, misalnya, menawarkan layanan paket wisata ke Gunung Selamet, Gunung Sindoro dan juga melayani permintaan khusus secara daring.
Ada paket ekonomi bertarif Rp600 ribu-an hingga paket mewah bertarif lebih dari Rp3 juta per trip. Di dalam paket tersebut juga dijelaskan apa saja yang didapat oleh tamu. Makin mahal paket yang dipilih, maka menu wisata yang diterima klien juga semakin komplet.
Dari harga paket tersebut, sudah termasuk honor pemandu dan porter. Bayaran mereka bervariasi, tergantung dari lamanya waktu ekspedisi, pengalaman, dan layanan yang diberikan (bawa barang, masak, jasa harian, dan tim).
Porter yang menjadi mitra pendaki gunung ini mendapatkan bayaran mulai dari dua ratusan ribu hingga lebih satu juta rupiah per hari.
Saat ini, wisatawan dari Eropa, Malaysia, dan Singapura paling banyak berkunjung ke Gunung Rinjani, di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Selain itu, menurut Ketua APGI. ada tren peningkatan kunjungan ke gunung berapi, di antaranya Gunung Raung, Gunung Argopuro, dan Gunung Merbabu.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan Kemenparekraf Vinsensius Jemadu dalam Konferensi Wisata Gunung Indonesia mengatakan, Indonesia memiliki ratusan gunung yang berpotensi dikembangkan untuk wisata, sehingga berdampak positif terhadap ekonomi masyarakat.
Potensinya jika dikembangkan diyakininya akan luar biasa. Dari sisi nilai ekonomi mencapai USD150 juta di tahun 2020.
“Kalau tahun 2020, USD150 juta per tahun (nilai ekonominya). Kita proyeksi naik tiga kali lipat saat masa normal di 2024. Karena kembali normalnya di 2024,” katanya, dirilis dari Antara.
Meningkatnya minat wisatawan berlibur ke gunung ini akan menggerakkan perekonomian dan menciptakan lapangan kerja, mulai dari pemandu, porter, restoran, penginapan, transportasi, serta sumber pendapatan bagi pemerintah, berupa pajak dan perizinan.
Tulang Punggung di Bisnis Wisata Gunung
Pemandu dan porter gunung adalah tulang punggung utama di industri wisata gunung. Mereka berperan penting untuk menyukseskan wisata gunung. Targetnya, tamu yang datang bisa berwisata atau melakukan pendakian gunung dengan lancar, menyenangkan, dan perjalanannya selamat.
Ada porter yang sekaligus merangkap sebagai pemandu, tetapi ada juga yang spesialisasi. Dalam setiap pendakian, rombongan wisatawan biasanya didampingi pemandu sebagai penunjuk jalan.
Sementara itu, porter bertugas membawakan barang-barang pendaki ke base camp atau tempat yang dituju di gunung, memasak, hingga menyiapkan perkemahan.
Pemandu dan porter biasanya dipekerjakan oleh agen travel atau provider wisata pendakian gunung. Mereka wajib memiliki sertifikasi profesi yang diterbitkan APGI. Selain itu, juga mendapatkan beragam pelatihan, terkait keselamatan trip, bagaimana mengatasi situasi darurat, hingga menjaga lingkungan.
Berapa gaji porter dan pemandu?
Melihat risiko pekerjaannya yang berat, banyak yang ingin tahu berapa besar gaji pemandu dan porter wisata gunung. Benarkah, gaji mereka mampu menyaingi penghasilan para ‘Sultan?’
Harga atau upah porter di masing-masing gunung berbeda-beda. Harga porter Gunung Prau dipatok Rp250 ribu (naik), Rp200 ribu (turun), dan Rp550 ribu (menginap). Di Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing Rp 450 ribu (naik), Rp750 ribu (pergi-pulang/PP), dilansir dari situs Porter Gunung Profesional.
Di Gunung Rinjani, rata-rata upah porter pengangkut barang dan pemandu sebesar Rp250 ribu per hari. Untuk porter di pegunungan tertinggi di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya tarifnya bisa mencapai Rp7-8 juta per trip. Bayaran porter yang biasanya berasal dari warga sekitar gunung ini disebut termahal.
Wisatawan harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendaki Gunung Jayawijaya yang berada di Provinsi Papua. Keunikan gunung ini adalah puncaknya tertutup salju abadi dengan ketinggian mencapai 4.884 mdpl di atas permukaan laut. Puncak tertingginya bernama Carstensz Pyramid atau Puncak Jaya.
Meski rata-rata penghasilan porter dan pemandu wisata gunung ini bisa lebih besar dari Upah Minimun Provinsi (UMP) DKI Jakarta, angka tersebut dinilai masih rendah atau tidak sepadan dengan risiko pekerjaannya yang besar. Jika ekspedisi gagal, misalnya, kecelakaan atau cuaca ekstrim, mereka bisa cedera berat atau meninggal dunia.
Kebanyakan porter dan pemandu wisata gunung berasal dari warga desa di sekitar gunung atau pecinta alam, yang menjadikan hobi sebagai pekerjaan. Melihat risiko pekerjaan besar, kesejahteraan ekonominya seharusnya lebih diperhatikan. Apalagi, jika mereka hanya dipekerjakan sebagai buruh yang mendapat upah saat ada tamu.
Biasanya para porter dan pemandu ini mengandalkan tambahan penghasilan dari tip atau bonus yang diberikan oleh wisatawan yang dilayaninya.
Selain soal upah, pekerja wisata gunung ini juga berhak mendapatkan jam kerja yang wajar, istirahat, dan cuti. Keselamatan saat bekerja juga harus menjadi prioritas, di antaranya dengan cara memberikan pendidikan, pelatihan, asuransi dengan nilai pertanggungan layak, dan perlengkapan kerja yang memadai.
Sherpa, Porter Termahal
Bagaimana dengan bayaran porter di Gunung Everest, Nepal yang termasyur itu?
Salah satu porter yang populer dikalangan pendaki gunung adalah Sherpa di Everest, gunung tertinggi kedua di dunia setelah Gunung Mauna Kea. Para Sherpa di sini sudah terbiasa menghadapi cuaca dan rintangan ekstrem di Everest.
Mereka disebut manusia-manusia kuat, karena tubuhnya tahan dengan cuaca dingin yang ekstrem, oksigen yang tipis, dan mampu berjalan ribuan mil, naik turun pegunungan sembari membawa beban berat di punggungnya.
Ada dua jenis Sherpa yang ditawarkan oleh agen wisata di Everest, yaitu orang lokal atau orang asing (western).
Bayaran Sherpa lokal biasanya jauh lebih murah dibanding orang asing. Menurut Situs Adventure Alternative, Sherpa lokal bisa mengantongi USD6.000, sekitar Rp90 juta (kurs Rp 15.000/USD) sekali ekspedisi. Lalu, bayaran Sherpa asing bisa lima kali lipat lebih tinggi, yakni mencapai USD30.000 atau sekitar Rp 450 juta.
Pemerintah Nepal mewajibkan pendaki menyewa pemandu berlisensi untuk melakukan perjalanan di Himalaya sejak 1 April 2023. Pemerintah Nepal merancang pemandu berlisensi untuk menyediakan lapangan kerja dan keamanan wisata gunung.
Perlu diketahui, lebih dari 700 ribu wisatawan datang ke Nepal untuk mendaki ke puncak Himalaya yang megah.
Pemandu trekking Nepal juga menjelaskan hal-hal yang terlihat dan tidak terlihat saat berjalan di sepanjang jalur pegunungan. Contohnya, tentang pemukiman, agama, tradisi, adat istiadat, arsitektur, sejarah, kuliner, flora fauna, cuaca, dan bahaya-bahaya yang mungkin terjadi.
Gaji pemandu dan porter tergantung pada pengetahuan, lama ekspedisi, dan tujuan pendakiannya.
Tahun 2022, sekitar 17 ribu pemegang lisensi pemandu trekking bekerja di Nepal. Seorang pemandu trekking berlisensi dengan keahlian dalam bahasa asing, rute trekking, budaya, flora dan fauna bisa menerima gaji USD25-50 per hari, setara Rp 375 ribu – Rp750 ribu.
Gaji Sherpa lokal di Everest tampaknya hampir sama dengan bayaran porter dan pemandu di sini. Namun, seorang Sherpa senior di Everest berpeluang mengantongi bayaran hingga USD10 ribu, sekitar Rp150 juta selama musim pendakian pada April sampai Mei.
Bayaran tersebut 14 kali lebih besar dibandingkan gaji pekerja biasa di Nepal. Dari gajinya tersebut, mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke perguruan tinggi di Kathmandu, India hingga Amerika Serikat.
Bahkan, porter di Nepal juga menerima bayaran untuk mengambil jasad pendaki di Everest dengan bayaran hingga miliaran rupiah. Pasalnya, tidak banyak Sherpa yang bersedia mengemban tugas tersebut karena jasad yang diambil umumnya berada di ketinggian yang sangat berbahaya.
Meski pekerjaan Sherpa berisiko merenggang nyawa, mereka tetap melakoninya demi memberi kehidupan yang layak untuk keluarganya. Sebabnya, penghasilan sebagai Sherpa masih jauh lebih besar jika dibandingkan penghasilan petani, pelukis, nelayan, dan pekerja biasa lainnya di Nepal.
Berwisata ke Everest memang butuh bujet besar. Biaya rata-rata ekspedisi Everest bisa mencapai USD30 ribu-85 ribu atau sekitar Rp465 juta – Rp1,3 miliar tergantung paket ekspedisi yang dipilih. Lama ekspedisi yang masuk kategori cepat saja, biasanya memerlukan waktu sekitar 6-10 minggu.
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas