Menuju konten utama

Di Balik Angkernya Himalaya

Lebih dari 200 orang meregang nyawa saat mendaki Himalaya. Sebagian mereka mati sebelum menyelesaikan misi. Mengapa mereka gagal menaklukkan Himalaya? Apa yang sebenarnya yang terjadi pada tubuh saat berada di ketinggian seperti halnya ketika mendaki Himalaya?

Di Balik Angkernya Himalaya
Pendakian ke puncak Gunung Everest. [shutterstock]

tirto.id - Sekitar 20 hari sebelum keberangkatannya ke Nepal untuk mendaki Himalaya, Alan Arnette berkontemplasi tentang kematian. Alan adalah warga Amerika Serikat yang saat itu berusia 45 tahun. Ia dikenal sebagai pembicara profesional, pendaki gunung, dan aktivis yang mengadvokasi para penderita Alzheimer.

Hasil renungan tentang kematian itu dituliskannya dalam blog. “Mengapa para pendaki melakukan ini? Tidakkah mereka melihat adanya risiko? Mengapa mau menempatkan diri pada situasi seperti itu? Dan mengapa pula aku melakukan hal yang sama?” tulis Alan. Dalam Bahasa Inggris, tentu saja.

Alan pernah mencapai puncak Cho Oyu di Tibet pada 1997. Dalam perjalanan turun, seorang teman mendaki bernama Alex Yaggi meninggal dunia dalam tidurnya. Alan ikut menguburkan jasad Alex.

“Kematian adalah misteri, ia bisa datang kapan saja tanpa peringatan. Akankah saya mengalami hal yang sama?” sambungnya.

Sampai saat itu, Alan mengetahui ada 172 pendaki yang hidupnya berakhir di Everest. Tetapi angka yang selamat jauh lebih banyak. Sampai tahun 2002 itu, ada 1.415 pendaki berhasil menginjakkan kaki di puncak Everest. Menaklukkan puncak gunung dengan ketinggian lebih dari 8000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Tubuh manusia memang tidak dirancang untuk hidup di ketinggian semacam itu. Sebab semakin tinggi daratan dari permukaan laut, semakin tipis oksigen. Manusia tak bisa hidup tanpa oksigen.

Menurut buku Fisiologi Dasar Kedokteran yang ditulis Guyton, kadar oksigen di ketinggian lebih dari 8.000 mdpl hanya tersisa kurang dari 30 persen. Tanpa bantuan oksigen, manusia tak bisa bertahan hidup di daratan setinggi itu.

Ketika seorang mendaki gunung, ia tidak hanya dihadapkan pada kondisi alam seperti badai atau longsor, atau tergelincir masuk jurang, atau salah jalur dan tersesat. Pendaki gunung seperti Alan juga dihadapkan pada kadar oksigen yang kian menipis. Semakin tinggi gunung yang didaki, semakin tipis oksigennya, dan semakin besar ancaman kematian.

Saat seorang pendaki berada di ketinggian di atas 1.500 mdpl, ia akan mulai merasakan sedikit kesulitan bernapas. Tetapi ketinggian ini masih terbilang aman. Gunung Papandayan di Jawa Barat yang tingginya 2.622 saja masih terbilang mudah didaki. Di ketinggian ini, kadar oksigen memang berkurang, menjadi 83 persen, tetapi belum begitu mengganggu tubuh manusia.

Di ketinggian antara 2.400 sampai 4.000 mdpl bisa dikatakan cukup berbahaya. Hanya ada 60-an persen oksigen pada ketinggian ini. Sebagian orang yang fisiknya tak begitu kuat akan mulai merasakan gejala ringan acute mountain sickness (AMS) seperti sulit tidur, peningkatan detak jantung, napas pendek, kehilangan nafsu makan hingga muntah-muntah.

Jika Alan mendaki Everest, ketinggian pada fase ini baru perjalanan menuju Everest Base Camp, belum menuju puncak. Everest Base Camp sendiri berada pada ketinggian 5.270 mdpl. Di ketinggian itu, oksigen yang tersisa di udara hanya 50 persen.

Saat Alan mulai melakukan perjalanan dari Base Camp ke Camp 1 yang berada di ketinggian 6.035 mdpl, hipoksemia, hipokapnia, dan alkalosis akan menyerang tubuh Alan. Pada ketinggian ini para pendaki akan sering mendesah, menguap, pusing, tangan dan kaki kesemutan serta kedutan otot. Hipokapnia hebat bisa menyebabkan kejang.

Ada tiga camp lagi yang harus dilewati Alan jika ia sudah sampai di Camp 1. Camp terakhir, Camp 4, berada di ketinggian 7.904 mdpl. Di titik ini, oksigen yang tersisa hanya 34 persen. Tabung oksigen sudah dibutuhkan. Tanpa oksigen tambahan, tak ada pendaki yang bisa bertahan.

Gejala AMS yang lebih parah biasanya muncul. Banyak pendaki yang mengalami gejala AMS yang makin parah di titik ini. Gejalanya antara lain; warna kulit menjadi kebiruan, merasa bingung atau kacau, batuk darah, penurunan kesadaran, pucat, nafas tersengal saat tidur, dan tidak dapat berjalan lurus. Oksigen sangat dibutuhkan di ketinggian ini. Para pendaki harus terus menggunakan oksigen untuk bisa mencapai puncak Everest.

Ketika oksigen sangat terbatas, tubuh akan meningkatkan aliran darah ke otak. Pada ketinggian yang sangat tinggi, otak benar-benar dapat membengkak dan pembuluh darah mulai bocor, sehingga terjadilah High Altitude Cerebral Edema, atau HACE.

Ketika ini terjadi, pendaki bisa mengalami disorientasi, halusinasi dan bahkan kehilangan kesadaran. Demikian pula, High Altitude Pulmonary Edema, atau HAPE, terjadi ketika cairan menumpuk di paru-paru. Ini menghasilkan sesak napas dan dada sesak serta batuk dan dahak berdarah.

Apa yang dipaparkan sejak tadi dalam tulisan ini hanyalah risiko akan berkurangnya kadar oksigen. Mendaki gunung, apalagi Everest, tentu memiliki ancaman selain tipisnya oksigen. Pendaki bisa saja tergelincur dan jatuh, atau dihantam badai salju, atau dihantam longsor salju. Di gunung-gunung tropis, pendaki bisa saja dimakan binatang buas atau digigit ular.

Alan mengetahui segala risiko ini. Ia paham betul bahwa ketika ia mendaki Everest, ia tengah menghadapi risiko kematian sangat besar. “Akankah saya mati? Saya tidak tahu,” tulisnya.

“Jika kau hidup dengan terus menghindar dari kematian, di titik itu, kau sudah mati,” sambungnya. Alan takut. Alan Gugup. Tetapi dia tidak mundur. Alan berhasil mencapai puncak dan pulang hidup-hidup.

Baca juga artikel terkait HIMALAYA atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Humaniora
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti