Menuju konten utama

Derita Warga Gedebage: Banjir Seminggu, Hidup Terjebak dalam Air

Meski hidup berdampingan dengan banjir, warga Rancabolang tetap berusaha bertahan.

Derita Warga Gedebage: Banjir Seminggu, Hidup Terjebak dalam Air
Kantor Dishub Kota Bandung yang sudah terendam Banjir selama satu minggu. (Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

tirto.id - Hujan deras yang mengguyur Kota Bandung sejak Senin sore (3/3/2025) di Jalan Simpang Tiga Derwati, Kelurahan Rancabolang, Kecamatan Gedebage. Sudah satu minggu banjir tak kunjung surut, merendam lima RT sekaligus, yakni RT 1 hingga RT 5 di RW 3. Ratusan rumah warga kini terkurung dalam air setinggi 80 hingga 100 sentimeter.

Jalanan gang yang biasanya riuh oleh lalu-lalang warga kini sunyi. Sepeda motor tak bisa melintas, sementara warga yang hendak keluar rumah harus rela menerobos air dengan bertelanjang kaki, menjinjing sandal mereka agar tak hanyut. Jas hujan pun menjadi pakaian harian, bukan sekadar pelindung dari gerimis sesaat. Nengsih, Ketua RT 03 RW 03, menceritakan bagaimana banjir ini menjadi yang terparah sejak 2020.

“Awalnya karena hujan deras yang lumayan lama, air langsung naik dan masuk ke rumah. Ini lebih besar dari tahun 2020. Ketinggiannya sampai sepinggul orang dewasa,” tutur Nengsih kepada Tirto, Selasa (11/3/2025).

Ia menjelaskan bahwa masalah ini bermula sejak pembangunan jalur Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC). Tiang-tiang penyangga yang berdiri kokoh justru menutup saluran air warga, menghalangi jalannya aliran ke tempat pembuangan yang seharusnya.

“Dikiranya adanya kereta cepat itu nggak bakal mengganggu warga kami, tapi ternyata malah bikin banjir makin tinggi,” lanjutnya.

Lebih dari 2.500 kepala keluarga terdampak. Alat-alat tidur, kendaraan, hingga barang-barang rumah tangga terendam. Namun, tak ada satu pun warga yang mengungsi. Mereka memilih bertahan di rumah masing-masing, berusaha menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan. Tempat tidur dinaikkan ke meja, barang-barang diletakkan lebih tinggi, pintu yang dipasang sekat air seadanya, semua dilakukan agar tidak sepenuhnya kehilangan.

Yang lebih menyedihkan, banjir ini datang saat Ramadhan. Biasanya, warga memanfaatkan bulan suci ini untuk berdagang di pasar yang hanya ada saat Ramadhan. Tapi kini, pasar sunyi. Penjual terpaksa diam di rumah, menatap sepi di tengah air yang menggenang.

“Biasanya Ramadhan itu ramai jualan, ada pasar setiap hari. Tapi sekarang tersendat. Orang-orang nggak bisa keluar, motor juga nggak bisa dipakai,” kata Nengsih, suaranya bergetar menahan pilu.

Banjir Kota Bandung

Kondisi rumah warga di Rancabolang yang terendam banjir. (Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Meski hidup berdampingan dengan banjir, warga Rancabolang tetap berusaha bertahan. Mereka membangun posko kesehatan darurat di sebuah bangunan taman kanak-kanak yang cukup tinggi. Di sanalah warga yang jatuh sakit bisa mendapat pertolongan pertama.

Harapan mulai menyelinap ketika Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, mengunjungi lokasi banjir. Ia berjanji akan mengupayakan bantuan, termasuk mengganti kasur-kasur yang rusak terendam air. Bantuan berupa beras dan makanan siap saji juga disalurkan untuk warga yang kesulitan mencari bahan makanan.

Namun, sebelum kedatangan pemerintah, solidaritas warga justru lebih dulu menyala. Warga dari Kelurahan Rancasari yang tidak terdampak banjir turut membantu. Mereka mengirimkan air bersih untuk memasak dan mandi. Sebotol demi sebotol air menjadi bukti bahwa kemanusiaan masih mengalir deras di tengah genangan. Meski begitu, warga tetap berharap ada solusi yang lebih permanen dari pemangku kebijakan.

“Mudah-mudahan pemerintah bisa membangun gorong-gorong atau saluran air yang lebih besar, pokoknya supaya nggak banjir lagi,” ujar Nengsih penuh harap.

Bukan hanya rumah warga yang terendam, tetapi Kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung dan Balai Pengujian Kendaraan Bermotor yang berlokasi di Jalan Pendamping SOR GBLA turut lumpuh akibat genangan air.

Dari pantauan Tirto, Senin (10/3/2025) sore, sekitar pukul 15.20 WIB, hujan yang mengguyur kawasan tersebut membuat halaman depan kantor tergenang, merendam jalan dan menyebabkan puluhan bus hasil lelang terendam air.

Banjir Kota Bandung

Kondisi rumah warga di Rancabolang yang terendam banjir. (Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Pengguna sepeda motor terlihat memanfaatkan trotoar untuk menghindari genangan, sementara beberapa motor yang nekat menerobos malah mogok di tengah jalan. Ada pula yang memilih memutar balik, tak sanggup melawan arus air.

"Terendam sudah satu minggu," ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dishub Kota Bandung, Asep Kuswara, saat dihubungi oleh Tirto.

Meskipun hujan telah reda, banjir tetap bertahan, membuat aktivitas kantor terganggu. Menurut Asep, lokasi kantor dan balai yang berada di sekitar Sungai Cinambo menjadi salah satu penyebab utama banjir yang tak kunjung surut.

"Posisi sungainya kan itu lebih tinggi, jadi kalau hujan ya banjir terus," tuturnya.

Dampak banjir ini tak main-main. Selain menghambat aktivitas perkantoran, alat-alat penting untuk pengujian kendaraan ikut rusak terendam air.

"Itu kan alat-alat pengujiannya pada terendam, lalu meja-meja, kursi. Tapi berkas-berkas sejauh ini aman," jelas Asep.

Karena kondisi ini, pengujian kendaraan bermotor pun terpaksa ditiadakan sejak pekan lalu. Asep menyatakan bahwa pengujian baru akan dibuka kembali setelah banjir benar-benar surut dan kondisi kantor memungkinkan untuk beroperasi normal.

"Pengujian jadinya ditunda dahulu sampai banjir surut dan memungkinkan beroperasi kembali," pungkasnya.

Respons Pemerintah Jawa Barat

Dalam menghadapi cuaca ekstrem, Pemprov Jabar bekerja sama dengan BMKG dan TNI AU untuk memodifikasi cuaca. Hujan yang diprediksi turun di daerah rawan dialihkan ke laut atau Danau Jatiluhur untuk mengurangi risiko banjir.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menyatakan bahwa langkah-langkah penanggulangan sudah dilakukan.

“Kita sudah memulai membenahi tata ruang di Puncak dan seluruh Jawa Barat. Berani melakukan pembongkaran daerah yang menutupi resapan air, yang berdampak pada aliran air ke Cisarua, Kali Bekasi, hingga ke Jakarta,” ujar Dedi dalam kegiatan Melepas Penerbangan dala rangka Operasi Modifikasi Cuaca di Lanud Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (11/3/2025).

Ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari taubat ekologi. Langkah ini menjadi krusial mengingat dampak bencana yang meluas, mulai dari banjir hingga longsor, yang merugikan masyarakat dan memakan biaya pemulihan yang tidak sedikit.

“Taubat ekologi itu artinya pemerintah memperbaiki diri, memperbaiki tata ruang, dan mengajak masyarakat untuk tidak lagi merusak sungai,” katanya. Dedi mengingatkan bahwa masyarakat Jawa Barat hidup berdampingan dengan air, terbukti dari nama-nama kampung yang banyak diawali dengan “Ci” yang berarti air.

Tidak hanya soal tata ruang, pemerintah juga mulai memperbaiki daerah aliran sungai (DAS). Alat berat telah dikerahkan untuk membersihkan dan memperlebar sungai. Dedi menegaskan, upaya ini tak cukup hanya dengan pengerukan. Ia mengadvokasi Kementerian PUPR untuk berhadapan langsung dengan warga yang telah mensertifikasi lahan di sepanjang sungai.

Pemerintah juga menggandeng TNI dan Polri untuk menjaga kawasan hulu sungai hingga muara. Pada Jumat mendatang, MOU dengan Mabes Angkatan Darat akan diteken, dilanjutkan dengan rencana kerja sama dengan Angkatan Laut dan Udara. Semua ini demi menjaga ekosistem agar bencana bisa dicegah sejak dini.

Banjir Kota Bandung

Dedi Mulyadi dalam kegiatan Melepas Penerbangan dala rangka Operasi Modifikasi Cuaca di Lanud Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (11/3/2025). (Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Selain itu, Jawa Barat akan memiliki dua radar cuaca baru yang dipasang di selatan dan di Cekungan Bandung. Alat ini akan dikombinasikan dengan sistem peringatan dini (Early Warning System) untuk memberikan notifikasi cepat kepada warga ketika potensi bencana terdeteksi.

Dalam jangka pendek, kebutuhan dasar warga terdampak menjadi prioritas. Makanan, pakaian, dan kebutuhan harian dipenuhi dengan bantuan dari klaster logistik yang melibatkan perusahaan daerah, swasta, hingga BUMN. Namun, untuk jangka panjang, relokasi menjadi opsi yang tak terhindarkan.

“Kalau rumahnya sudah di bibir sungai, ya harus direlokasi. Kementerian Perumahan harus mengevaluasi pengembang yang membangun di area rawan bencana,” ujar Dedi.

Ia menegaskan, pembangunan yang mengabaikan prinsip alam hanya akan memperparah siklus bencana. Dedi juga mengingatkan pentingnya melihat dampak pembangunan dari sudut pandang lingkungan, bukan sekadar ekonomi.

“Kalau pendapatan dari sektor pariwisata di Puncak itu besar, kerugiannya akibat banjir bisa lebih besar lagi. Pembangunan jangan hanya lihat cuan, tapi juga dampaknya ke masyarakat,” ujarnya.

Kerugian akibat bencana di Jawa Barat diperkirakan mencapai triliunan, mencakup kerusakan infrastruktur, pemulihan ekosistem, hingga penggantian rumah warga. Dedi menegaskan bahwa sertifikasi lahan sungai yang bermasalah harus dicabut, meski tanpa kompensasi, demi mengembalikan fungsi alam yang sesungguhnya.

“Kita akan bahas dengan Menteri ATR, dan saya akan meminta sertifikat itu dicabut. Sungai itu dulu milik negara, jadi kalau sekarang jadi milik pribadi, berarti ada yang salah,” ucap Dedi tegas.

Upaya besar ini tentu tidak akan berhasil tanpa partisipasi masyarakat. Perubahan perilaku, kesadaran menjaga lingkungan, dan dukungan terhadap kebijakan yang berpihak pada kelestarian alam menjadi kunci. Jawa Barat memiliki potensi luar biasa, namun potensi itu hanya bisa terwujud jika manusia dan alam berjalan beriringan.

Banjir Kota Bandung

Dedi Mulyadi dalam kegiatan Melepas Penerbangan dala rangka Operasi Modifikasi Cuaca di Lanud Husein Sastranegara, Kota Bandung, Selasa (11/3/2025). (Dini Putri Rahmayanti/Tirto.id)

Langkah-langkah yang telah dan akan dilakukan pemerintah menjadi secercah harapan. Meski tantangan masih besar, ikhtiar ini adalah bentuk tanggung jawab bersama untuk mewariskan bumi yang lebih baik bagi generasi mendatang.

“Jawa Barat ini sudah tidak pantas ada musibah. Alamnya sudah bagus, sistemnya sudah ada. Tinggal bagaimana kita menjaga dan menghormati prinsip-prinsip alam itu sendiri,” katanya.

Menurut data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, hingga Maret 2025, sudah ada 9 daerah yang berstatus tanggap darurat. Bencana banjir, longsor, dan pergerakan tanah melanda berbagai wilayah seperti Indramayu, Tasikmalaya, Kota dan Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, hingga Kabupaten Bandung. Jawa Barat bahkan menjadi provinsi dengan kasus bencana hidrometeorologi tertinggi di Indonesia.

“Kita lihat bahwa sumber daya alam Jawa Barat luar biasa. Tapi kalau tidak dijaga, potensi bencananya juga besar,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Barat, Anne Hermadianne Adnan.

Ia menjelaskan bahwa daya tampung sungai dan tanah sudah jenuh, sehingga intensitas hujan yang sama bisa berakibat lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Selain upaya teknis, mitigasi struktural dan sosial juga menjadi tantangan tersendiri.

Menurut Anne, perilaku masyarakat yang mengubah lahan untuk aktivitas ekonomi sering kali memperparah risiko bencana. Di sisi lain, keterbatasan anggaran pemerintah membuat penanganan darurat dan pemulihan pascabencana tidak bisa sepenuhnya bergantung pada APBD. Mulai dari makanan, pakaian, hingga alat sekolah, semua disuplai oleh berbagai pihak yang peduli.

"Kami punya klaster logistik yang terdiri dari perusahaan-perusahaan, baik swasta, daerah, maupun negara, yang bergerak di bidang kemanusiaan. Ketika logistik pemerintah tidak mencukupi, mereka siap bergerak cepat," ungkap Anne.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Dini Putri Rahmayanti

tirto.id - News
Kontributor: Dini Putri Rahmayanti
Penulis: Dini Putri Rahmayanti
Editor: Anggun P Situmorang