tirto.id - Perempuan memiliki banyak peran dalam kehidupan, tak terkecuali saya, Grace Tahir. Peran saya tak hanya sebagai seorang ibu, tapi saya juga menjalani peran profesional sebagai Direktur Mayapada Hospital dan peran sosial di tengah masyarakat.
Saya seorang anak perempuan yang sangat mengagumi sosok ibu. Saya ibu dari tiga anak perempuan. Kakak dan adik saya juga perempuan. Jadi, saya dikelilingi oleh perempuan-perempuan hebat dengan satu ciri khas: pekerja keras tetapi juga mengerti nilai-nilai mereka sebagai perempuan. Mereka bekerja, bahkan sudah berumur pun masih tetap bekerja, tetapi pada waktunya juga bisa memanfaatkan waktu bersama keluarga dengan baik walau tidak intens.
Terkadang ada orang bilang, “Wah, bisa lho seorang perempuan punya segala-galanya dalam satu waktu, bisa merasa bahagia, memiliki karier bagus, memiliki rumah tangga harmonis, apa yang diimpi-impikan pun ada di depan mata.” Kenyataannya, saya tidak begitu, saya sendiri tidak yakin bahwa seorang perempuan itu bisa have it all.
Harga yang Harus Dibayar
Ibarat opportunity cost dalam ilmu ekonomi, kalau ingin karier lebih baik, pasti kita akan lebih sibuk bekerja. Ada yang mesti dikorbankan, salah satunya, momen bersama keluarga. Jadi, intinya adalah kita harus membuat skala prioritas. Apa sih yang terpenting dalam hidup kita saat ini?
Selalu ada yang harus dibayarkan, dan ini bukan materi semata melainkan juga waktu sehingga kita tidak bisa mempunyai segalanya bersamaan. Tidak mungkin gitu, lho. Namun tidak bisa dibilang satu hal jadi lebih berharga ketimbang lainnya. Semua pencapaian itu sama-sama berharga, tiap aspek punya dampak positif masing-masing.
Tahun ini, saya sendiri sibuk sekali karena sedang membangun perusahaan Everest Media, jadi sudah pasti tidak akan “senormal” sebelumnya karena beda tugas, banyak pekerjaan, dan segala macam. Tapi it’s ok because saya sudah memikirkan dengan matang, dengan baik-baik.
I understand that the risk I have to take, yang penting kalau seorang perempuan mau bekerja atau mencapai apa pun, kalkulasikan dengan baik, jangan nanti komplain atau merasa: wah kenapa nggak gua kerjain, kenapa gua enggak gini, gini, gini? Jangan sampai ada penyesalan.
Saya merasa seharusnya membangun Everest sejak beberapa tahun lalu, bukan di umur saya sekarang. That was my biggest regret. Kenapa tidak memulainya lebih awal? Pada waktu itu saya takut sekali beranjak dari zona nyaman. Saya merasa hidup sudah stabil, lalu ada hal baru yang menakutkan. Saya harus mulai dari bawah lagi.
Saat ini, impian saya Everest Media harus lebih besar lagi dan bisa mempekerjakan lebih banyak orang. That’s one of my goals. Saya sudah beberapa kali bicara soal ini. Saya ingin Everest Media dikenal sebagai entertainment company atau media company yang bukan hanya menghibur lewat video-videonya melainkan juga berdampak positif, terutama bagi generasi muda.
Ketiga anak saya aktif terpapar konten di media sosial, dan sebagai orangtua terkadang saya merasa konten-konten yang ada sekarang agak “rusak”, tidak cocok, dan segala macam. Kebetulan saya diberi privilege untuk berbuat sesuatu, walau ada konsekuensinya.
Tantangan Demi Tantangan
Biasanya, tantangan terbesar bagi perempuan karier adalah dukungan dari pasangan. Contohnya, bisa saja suami saya tidak suka saya muncul terus di depan kamera. Ada laki-laki yang berpikir demikian—mungkin—karena merasa insecure. Namun tidak demikian dengan keluarga saya, dan ini saya anggap sebagai bentuk dukungan.
Contoh lain, terkadang saya bekerja sampai malam, jadi suami harus takeover anak-anak. Begitu pula sebaliknya. Dukungan sebenarnya mutlak dalam kehidupan pernikahan, tidak bisa hanya pura-pura di depan mendukung tetapi di belakang ada kecemburuan. I think that’s really important. Dukungan itu harus tulus.
Tantangan kedua datangnya dari faktor eksternal, seperti peremehan, diskriminasi, hingga pelecehan.
Saya mengalami salah satunya belum lama ini. Di suatu pertemuan, ada seorang laki-laki yang seperti tidak mau mendengarkan pendapat atau masukan saya. Tiap saya bicara, dia langsung shut me down, sementara kalau sesama laki-laki tidak jadi masalah. Itu tindakan peremehan. Bukannya saya sensitif, tapi saya sungguh-sungguh menyaksikannya dan saya tahu dia tidak suka.
Ini adalah systematic changes yang menurut saya tidak gampang karena sejak dulu sudah begitu, dan sudah sangat mendalam. Bahkan antara perempuan dengan perempuan pun bisa saling meremehkan, saling menjatuhkan.
Perempuan punya bias terhadap sesama perempuan. Aneh, tapi itulah yang terjadi. Menurut saya, perempuan harus sadar diri. Perempuan perlu menyadari titik butanya, apa batasannya, termasuk apa bias-nya. Mengobrol dengan banyak orang dari berbagai latar belakang (pendidikan sampai status ekonomi) bisa meluaskan wawasan dan membantu kita untuk sampai di titik “sadar diri”.
Saya tidak sedang mengajari atau beropini soal perempuan yang ideal seperti apa. Saya bukan guru. Saya tidak sempurna. Ini berdasarkan pengalaman saya saja.
Dulu saya tidak banyak bertemu orang, itu-itu saja setiap hari. Setelah masuk ke media, saya bertemu banyak orang yang luar biasa perbedaannya. Dulu saya terlalu black and white, sementara sekarang banyak sekali grey area. Maka dari itu saya belajar untuk tidak langsung menghakimi, tidak boleh bias walau itu tidak mudah. Intinya, harus belajar rendah hati sekaligus mencintai diri sendiri.
Menentukan Nilai dan Tujuan
Bagi saya, hidup pun bukan sekadar mengejar target atau pencapaian demi pencapaian (milestone). Misal, bila tujuanmu menjadi CEO, itu hanyalah salah satu target yang kamu bikin, bukan makna atau tujuan hidup yang sebenarnya. Ketika sudah sampai di titik itu, lalu mau apa? Berhenti begitu saja? That’s it, tidak kan?
Itulah mengapa tujuan hidupmu harus lebih besar lagi. Tujuan hidup saya adalah menjadi berkat bagi banyak orang, memberi dampak bagi banyak orang, dan tujuan ini jelas tanpa akhir. Jadi, tiap perempuan perlu tahu apa yang menjadi tujuan hidupnya, apa yang membuatnya “bernilai”.
Saya pun berharap, saat dewasa nanti, anak-anak perempuan saya menyadari nilai-nilai mereka, terutama bahwa laki-laki dan perempuan itu berbeda. Masing-masing punya kekuatan dan kelemahan, tetapi haruskah mereka memiliki perlakuan yang sama? Saya pikir begitu. Haruskah memiliki nilai-nilai yang setara? Saya pikir juga begitu. Saya ingin mereka tumbuh tanpa rasa minder, apalagi merendahkan diri.
Jangan pernah merasa tidak perlu, apalagi tidak bisa melakukan sesuatu karena kita perempuan.[]
Artikel ini merupakan hasil kerja sama dengan Everest Media.
Editor: Advertorial