Menuju konten utama

Teknokrasi: Ironi Ilmuwan dalam Jerat Kekuasaan

Banyaknya akademisi di lingkar kekuasaan belum mampu memberi dampak berarti dalam pengambilan kebijakan. Apa saja ironi yang terjadi dan akar masalahnya?

Teknokrasi: Ironi Ilmuwan dalam Jerat Kekuasaan
Header perspektif Teknokrasi Ironi Ilmuwan dalam Jerat Kekuasaan. tirto.id/Parkodi

tirto.id - Berbagai kebijakan yang diusung pemerintah akhir-akhir ini menuai protes keras dari publik. Kebijakan kontroversial itu misalnya, rencana pemberlakuan Tapera oleh Kementerian PUPR, rencana kenaikan UKT di bawah naungan Kemendikbudristek, hingga pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat keagamaan. Sejumlah rencana kebijakan itu diluncurkan seolah tanpa memperhatikan opini publik, kondisi masyarakat, atau dampak dari kebijakan tersebut.

Ketiga contoh di atas bukanlah kebijakan pertama yang tampak dirumuskan tanpa pertimbangan masak dan didahului kajian akademis. Contoh lainnya yang cukup sering diangkat yakni kontroversi dalam penyusunan UU Cipta Tenaga Kerja yang kemudian keabsahan hukum dan substansinya dipertanyakan. Padahal, pemerintahan saat ini cukup diwarnai oleh keberadaan banyak ilmuwan atau akademisi yang berperan sebagai penasihat maupun birokrat dalam mendukung Presiden dan jajarannya untuk mengambil sebuah keputusan. Keadaan demikian kita kenal dengan istilah teknokrasi, pemerintah yang dijalankan oleh teknokrat/teknisi.

Puncak teknokrasi di Indonesia, bisa jadi adalah ketika sosok ilmuwan B.J. Habibie menjadi Presiden–meski dimungkinkan oleh konteks politik yakni mundurnya Presiden Soeharto. Sebelum era Jokowi, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono juga sudah banyak mengkaryakan teknokrat, terutama melalui lembaga seperti UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan), namun wewenang pengawasan kebijakannya tidaklah sebesar Kantor Staf Presiden saat ini. Bappenas adalah contoh institusi lain yang selalu dipenuhi oleh ilmuwan cum teknokrat, baik pada era SBY maupun Jokowi.

Secara umum, kita bisa melihat bagaimana peran ilmuwan sebagai penasihat pemerintahan maupun birokrat semakin dominan dalam satu dekade terakhir. Fenomena perpindahan atau ulang alik seseorang dari dunia akademik, swasta, maupun masyarakat sipil ke pemerintahan sering diistilahkan sebagai revolving door. Istilah ini dipakai untuk menormalisasi fenomena yang makin marak sejak era pasca Perang Dunia II sebagaimana terjadi di Amerika Serikat ataupun negara-negara demokrasi muda seperti Filipina dan Indonesia. Istilah revolving door menyiratkan bahwa individu sah-sah saja untuk ulang alik antarposisi di mana keahliannya dibutuhkan, tidak perlu berposisi secara statis di sebuah bidang.

Namun perkembangan ini disertai kekhawatiran yang semakin mengemuka ketika peran para akademisi ini tidak membawa dampak dalam pembuatan kebijakan yang mengedepankan kepentingan publik. Tren ini juga, dalam kadar tertentu, mematikan hakikat intelektual yang seharusnya bisa memberikan pandangan kritis dan rasional terhadap pemerintahan. Ada tiga bahaya laten yang ingin saya angkat di sini.

Pertama, ironi terbesar yang banyak disorot adalah pudarnya intelektualitas dan sikap kritis seorang ilmuwan kala tidak memiliki posisi tawar di hadapan kuasa politik. Jerat teknokrasi tidak menyisakan banyak pilihan untuk akademisi bersikap kritis lantaran jaraknya yang dekat ke lingkaran kekuasaan.

Di dalam konstelasi pembuatan kebijakan, jarak kekuasaan menjadi sangat relatif jika dikaitkan dengan relasi-relasi personal berbentuk patronase yang membungkam. Alhasil, individu tersubordinasi oleh sebuah sistem yang menghimpit nalar dan budi. Dalam pusaran kuasa, ilmuwan dibenturkan dengan realita yang mungkin sudah lama ia ketahui tetapi tetap tidak mampu disentuh.

Tidak sedikit contoh akademisi yang dapat bersuara kritis kala berada di luar sistem pemerintahan, namun perlahan membisu ketika berada di sentra pengambilan keputusan. Persoalan ini setua demokrasi.

Karya klasik yang sering dirujuk untuk mendudukkan persoalan ini antara lain Treason of the Intellectual karya Julien Benda, dan tidak berubah jauh hingga era ini meski dalam bukunya The Death of Expertise, Tom Nichols berargumen bahwa pengetahuan dan keahlian sudah tidak lagi melekat pada insan akademisi karena sudah bisa diakses oleh siapapun. Tidak heran jika akademisi dari UGM, Herlambang Wiratraman, dalam tulisannya mengatakan bahwa keberadaan akademisi tidak ubahnya aksesoris sistem politik yang hanya berfungsi untuk melegitimasi proses pembuatan kebijakan, alih-alih mengkritisinya.

Kedua, mudahnya seorang akademisi berpindah tempat menandakan bagaimana reproduksi teknokrasi lebih mudah dilakukan daripada reproduksi kecendekiawanan. Menghasilkan akademisi dengan kepakaran tertentu yang bekerja untuk pemerintah lebih mudah ketimbang menghasilkan kaum intelektual dengan stamina untuk berjarak dari kekuasaan, sumber daya dan bersikap kritis serta independen dalam pemikirannya. Akibatnya, ada kecenderungan kekosongan intelektual publik kritis.

Meski demikian, ilmuwan di luar lingkar kekuasaan masih eksis dan tampak mulai kembali bersuara. Contohnya adalah saat pernyataan yang mewakili kaum intelektual dan disampaikan secara kolektif, baik lewat wadah Dewan Guru Besar, ikatan alumni ataupun kolektif lainnya merespons situasi Pilpres 2024. Hal tersebut merupakan contoh baik praktik pengawasan terhadap negara oleh kaum intelektual. Hal ini menjadi antitesis dari teknokrat yang cenderung bungkam di dalam pusaran kekuasaan.

Contoh baik ini juga mengingatkan kita semua betapa pentingnya menjaga otonomi dan independensi institusi akademik agar para individu di dalam sistem pemerintahan berani bersuara dan menjaga jarak yang sehat dengan kekuasaan. Jarak tersebut yang memungkinkan seseorang, baik ilmuwan atau bukan, untuk bisa menyampaikan pandangan dan aspirasi dan menjalankan fungsi pengawasan.

Mengingat kecenderungan pemerintah yang mengartikan demokrasi secara prosedural semata yakni pemilu, namun tidak mengindahkan proses di dalamnya, keberadaan oposisi sebagai penyeimbang jadi mutlak diperlukan. Pengawasan tidak bisa dijalankan secara formalistis dan sebagai syarat saja, tetapi ia esensial di dalam demokrasi substansial dan mutlak diperlukan.

Ketiga, kerugian lain dari buntunya teknokrasi adalah minimnya pembelajaran yang publik dapat peroleh dari peran mereka di dalam pemerintahan. Akibatnya, proses demokratisasi minim dialektika yang bersifat kritis dan transformatif mengenai ilmu pemerintahan dan tata negara.

Sangat sedikit kajian atau refleksi yang dihasilkan para akademisi yang pernah menjadi birokrat, sehingga hampir tidak ada pembelajaran bagi publik mengenai dinamika pembuatan kebijakan di Indonesia dari sudut pandang mereka yang pernah berusaha mengelolanya. Kesunyian tersebut hanya menegaskan sumirnya kekuasaan terutama ketika seorang akademisi memasuki ruang-ruang kekuasaan. Jarang sekali misalnya, ada seorang ilmuwan cum teknokrat yang berani menunjukkan di mana persis titik pertalian antara korupsi dan pembuatan kebijakan, meski publik dengan mudah berspekulasi, misalnya, peran oligarki dan korupsi kebijakan.

Di luar persoalan tersebut, pembahasan mengenai teknokrasi jarang sekali membahas aspek pemenuhan kebutuhan materiil akademisi yang bisa jadi adalah realitas lain di balik maraknya pilihan untuk memasuki revolving door. Sebab, menjadi intelektual publik atau tidak ditentukan oleh kondisi kesejahteraan mereka.

Ketidaksanggupan negara untuk memberi upah yang layak bagi para akademisi akhirnya memaksa banyak individu untuk tunduk pada pilihan yang tersedia, misalnya dengan melakukan mobilitas sosial vertikal–menjadi staf khusus, staf ahli, tenaga ahli dan sebagainya. Sebab, bukan hanya negara yang awas menghadapi jebakan pendapatan menengah (Middle Income Trap), melainkan juga ilmuwannya. Hal ini menjadi pekerjaan rumah universitas untuk menyediakan kondisi kerja yang memadai dan tidak menuntut para akademisi untuk mencari pekerjaan sampingan yang berujung mereka menjadi teknokrat semata.

Apapun pembenaran pilihan individual tersebut, menimbang perkembangan yang ada, teknokrasi tidak bisa diharapkan untuk bersifat kritis, terlebih jika kekuasaan yang ada tidak menghendaki proses-proses demokratis untuk menjaga kualitas kebijakan.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.