tirto.id - Ketidakjujuran akademik bukan hanya masalah mahasiswa yang mencontek atau melakukan copy paste dari tugas kakak tingkat. Fenomena ini juga terjadi di kalangan akademisi yang seharusnya menjadi teladan. Kondisi tersebut melukai dunia pendidikan dan penelitian sehingga masa depan intelektual bangsa pun dipertanyakan.
Saat ini, Indonesia jadi juara kedua dalam publikasi artikel ilmiah pada jurnal predatori setelah Kazakhstan dan menjadi salah satu global epicentrum dari ketidakjujuran akademik. Setidaknya ada empat bentuk ketidakjujuran akademik yang sering dilakukan, yaitu plagiarisme (menyalin karya orang lain tanpa memberikan kredit yang layak), manipulasi data/datafalsification (mengubah data untuk mendukung hipotesis atau tujuan tertentu), fabrikasi data/data fabrication (membuat data palsu yang tidak didasarkan pada penelitian sebenarnya), dan konflik kepentingan/conflict of Interest (mengubah objektivitas penelitian sesuai dengan kepentingan tertentu atau tidak transparannya hasil penelitian kepada pemberi dana).
Konsekuensi dari masalah ini yakni terkikisnya kepercayaan publik terhadap institusi akademik, termasuk rusaknya reputasi individu maupun lembaga pendidikan. Sehingga hasil penelitian tidak dapat dipercaya, menyebabkan keraguan publik, bahkan bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi akademisi.
Praktik ketidakjujuran akademik ini pun merugikan banyak pihak. Secara ekonomi, kondisi ini bisa menghilangkan potensi dana riset baik dari pemerintah maupun swasta dan pemborosan uang negara yang seharusnya digunakan untuk inovasi dalam kontribusinya untuk kemajuan bangsa. Dari sisi sosial, ketidakpercayaan publik akan ilmu pengetahuan berimplikasi mengganggu kemajuan sosial dan lebih dalam lagi berdampak pada proses pembuatan kebijakan yang berbasis riset.
Bagi dunia akademik, hilangnya kredibilitas akademisi akan mengurangi kepercayaan publik terhadap keahlian akademisi. Bisa dibayangkan saat publik tidak lagi memercayai keputusan seorang ahli kesehatan misalnya, maka akan banyak sekali praktek-praktek kesehatan yang tidak bertanggung jawab dan menimbulkan kerugian besar bagi banyak pihak.
Sumber Masalah Ketidakjujuran Akademik
Sumber permasalahan pelanggaran integritas akademik, terutama dalam konteks etika publikasi ilmiah, dapat ditelusuri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup kualitas sumber daya manusia, moralitas, dan rendahnya paparan global, yang semuanya sangat memengaruhi tingkat kesadaran akan pentingnya menjaga integritas akademik. Misalnya, seorang akademisi dengan moralitas rendah lebih cenderung melakukan plagiat atau manipulasi data karena kurangnya pemahaman dan apresiasi terhadap standar etika yang harus dijunjung tinggi.
Di sisi lain, faktor eksternal juga berperan besar, seperti rendahnya alokasi dana riset dari pemerintah, sistem insentif yang tidak efektif, dan komersialisasi perguruan tinggi. Semua faktor tersebut seringkali mendorong akademisi mengutamakan kuantitas daripada kualitas publikasi ilmiah mereka. Sebagai contoh, tekanan untuk memenuhi target publikasi demi memperoleh dana atau kenaikan pangkat dapat memaksa akademisi untuk mengambil jalan pintas yang melanggar etika publikasi. Pemberian dana hibah dengan durasi penelitian yang pendek dan sarana prasarana minim untuk mengejar hasil yang setara riset internasional memaksa akademisi memutar otak untuk memenuhi persyaratan tersebut di samping memenuhi kebutuhan ekonomi karena tak layaknya gaji yang diberikan.
Tak heran, pada tahun 2016 Indonesia menjadi juara dunia dalam penerbitan proceeding (kumpulan paper hasil publikasi dari seminar atau konferensi),melampaui negara ASEAN lain. Karena luaran proceeding memberi keuntungan lebih besar dalam kuantitas. Hal ini kemudian berdampak pada naiknya take home pay akademisi dibandingkan satu buah jurnal ilmiah yang membutuhkan upaya lebih besar.
Langkah Strategis Atasi Ketidakjujuran Akademik
Untuk itu diperlukan langkah-langkah yang komprehensif dan strategis. Pertama, sangat penting untuk mempromosikan standar etika dan integritas akademik kepada semua komponen yang terlibat dalam pendidikan tinggi. Selain itu, penting untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memahami dan menghayati pentingnya prinsip-prinsip tersebut.
Kedua, memperkuat proses peer review untuk menghindari publikasi pada jurnal predator dan meningkatkan kualitas serta kredibilitas penelitian yang diterbitkan. Ketiga, menerapkan kebijakan yang ketat terhadap pelanggaran, termasuk menindak tegas tindakan misconduct (pelanggaran akademik) dan mengontrol insentif publikasi yang berlebihan.
Selain itu, perlu dilakukan perbaikan dalam proses rekrutmen, penyusunan jenjang karir, dan penyediaan fasilitas riset yang memadai bagi dosen untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan dana riset publik, pemberian insentif dari sektor swasta, dan penyempurnaan sistem insentif di perguruan tinggi juga merupakan langkah penting yang bisa dilakukan.
Indonesia perlu belajar dari praktik baik di dunia internasional dan bijak dalam menggunakan metrik untuk menilai kinerja akademik. Hal tersebut penting dilakukan demi memastikan bahwa perguruan tinggi berfungsi sebagai pusat pengetahuan, bukan sekadar lembaga komersial. Oleh karena itu, reformasi dunia akademik secara menyeluruh sangat diperlukan untuk menjamin masa depan yang lebih baik bagi pendidikan tinggi di Indonesia.
*Penulis adalah staf pengajar di Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.