Menuju konten utama
Periksa Data

Maraknya Praktik Perjokian Akademik, Apa Akar Masalahnya?

Merebaknya praktik perjokian, menambah catatan buruk terkait kondisi pendidikan di tingkat perguruan tinggi di Indonesia.

Maraknya Praktik Perjokian Akademik, Apa Akar Masalahnya?
Header PERIKSA DATA DECODE Maraknya Praktik Perjokian Akademik, Apa Akar Masalahnya?. tirto.id/Fuad

tirto.id - Putri (bukan nama sebenarnya) adalah mahasiswi semester enam di salah satu kampus swasta di Jakarta. Di sela-sela kegiatan perkuliahan dan magang, ia menjalani profesi sebagai joki – sebutan bagi mereka yang menawarkan jasa pembuatan tugas dan skripsi bagi mahasiswa dengan tarif biaya tertentu.

Kepada Tirto, Putri bercerita, sudah sekitar delapan bulan menjalani profesi yang ia nilai menjanjikan ini, atau sekitar Oktober 2023. Faktor uang menjadi motivasi utamanya, ia menyadari besarnya potensi permintaan pasar akan jasa ini di media sosial maupun yang ia temui di lingkungan sesama mahasiswa di kampusnya.

“Kalo untuk side job sih ini emang lumayan banget ya hasilnya. Selain itu, dengan menjadi joki aku juga bisa sekalian belajar karena kita harus baca-baca jurnal lain," kata Putri, saat dihubungi Tirto, Kamis (16/5/2024).

Putri mengaku paling banyak mendapatkan pelanggan dari platform Twitter (sekarang X). Di platform ini, ia memang rajin menawarkan jasanya lewat tagar #zonauang dan #jokitugas. Tak hanya itu, ia juga proaktif membalas cuitan dari warganet yang mencari jasa ini lewat pencarian kata “info joki tugas” dan “info joki skripsi”.

Dalam menawarkan jasanya, beragam cara ia lakukan untuk dapat menarik pelanggan. Mulai dari tarif pengerjaan yang bisa dinegosiasikan, jaminan bahwa tugas yang dikerjakan bebas dari plagiarisme, hingga tawaran pertemuan langsung bagi pelanggan yang tinggal di wilayah Jabotabek.

Strategi ini bisa dibilang berhasil. Beragam "proyek" tugas pernah ia pegang, mulai dari pembuatan makalah, pengerjaan soal ujian, penerjemahan naskah hingga pembuatan skripsi. Tak kurang, ratusan testimoni dari pengguna jasanya turut ia tampilkan dalam akun X miliknya yang khusus ia jadikan sebagai media utama dalam menawarkan jasa tersebut.

“Untuk tarif tugas itu tergantung sama tingkat kesulitan dan batas waktu pengumpulan. Kalo tugas, dalam seminggu bisa dapet lima orang (konsumen). Kalo skripsi tarifnya Rp2 juta, biasanya pengerjaan sekitar satu bulanan lebih. Tapi agak jarang sih dapetnya, karena kalo skripsi cuma nerima khusus jurusan hukum juga (sesuai jurusan kuliahnya)," jelasnya.

Dalam beberapa waktu terakhir, praktik perjokian seperti yang dilakukan oleh Putri memang sedang marak terjadi, yang dipersubur oleh keberadaan platform media sosial. Di platform media sosial X, misalnya, cukup dengan memasukan kata kunci “info joki tugas” dan “info joki skripsi” di kolom pencarian, seseorang bisa dengan mudah menemukan puluhan akun yang menawarkan jasa perjokian akademik, mulai dari jasa pembuatan tugas, skripsi, tesis hingga disertasi.

Bahkan, jasa joki tugas akhir yang dulu dilakoni oleh individu seperti Putri, kini sudah berkembang menjadi layanan jasa yang dikerjakan oleh sekelompok orang. Berdasarkan penelusuran Tirto, terdapat penyedia jasa yang bahkan memiliki situs sendiri dengan kedok layanan konsultasi/bimbingan tugas.

Lalu, apa alasan mahasiswa yang menggunakan jasa joki tersebut?

Alasan Mahasiswa Menggunakan Joki: Ingin Hasil Instan hingga Tekanan Akademik

Dino (juga bukan nama sebenarnya) menjadi salah satu pengguna jasa tersebut. Lewat pencarian di Google, Dino menemukan situs layanan “bimbingan skripsi” yang kemudian membantu kelulusannya sebagai sarjana, belum lama ini.

“(Waktu itu) cari di internet. Dia buka joki perorangan, dan ada alamat kantornya, makanya yakin ke situ,” cerita Dino kepada Tirto, Jumat (17/5/2024).

Tirto sempat mencari dan berkunjung ke salah satu situs yang dijelaskan Dino. Pemantauan kami, situs terlihat tertata dengan rapi dan jauh dari kesan mencurigakan. Dalam keterangan kontak, terdapat nomor, email, sampai dengan alamat jelas dari penyedia jasa.

Situs tersebut menjanjikan jasa “bimbingan” untuk dengan layanan lengkap, mulai dari pencarian judul, pengurusan tempat penelitian, konsultasi, sampai "bantuan" pengerjaan laporan beserta revisinya.

Situs tersebut juga menjanjikan pendampingan sampai wisuda dan menyediakan garansi uang kembali. Situs tersebut juga menampilkan layanan dalam bentuk paket-paket layanan, yang dibandrol mulai dari harga Rp3 juta sampai dengan Rp12 juta untuk penyelesaian instan (tidak lebih dari tiga hari).

Faktor instan ini yang membuat Dino kepincut. Dia merogoh kocek Rp11 juta untuk mendapat layanan yang dirasa dapat memenuhi kebutuhannya. Hasilnya pun memuaskan.

"Setelah konsultasi awal, kita dikasih judul sama si joki. Setelah itu saya ajukan ke dosen. Kalau dosen sudah oke, joki lanjut membuat proposalnya. Tapi kalau gak oke (judul tidak diterima dosen), joki akan kasih judul baru sampai dosen setuju," tambah Dino lagi.

Setelah itu, joki mengerjakan semua kebutuhan tugas Dino. Sesuai brosur, layanan joki ini mencakup revisi dan pengumpulan jurnal yang relevan untuk skripsinya.

Menurut Dino, dia terpaksa menggunakan jasa ini karena tuntutan waktu. "Di kampus saya cuma diberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan skripsi. Sedangkan saya kerja sambil kuliah, jadi dari awal sudah yakin akan sulit harus kejar skripsi selesai dalam waktu tiga bulan," cerita dia.

Dino menambahkan, selain tuntutan waktu, sebenarnya dosen pembimbingnya tidak banyak menuntut. Namun, keharusan mengumpulkan data yang bisa memakan waktu lama, membuatnya membulatkan tekad menggunakan jasa joki.

“⁠Untungnya gak ada ya kecurigaan dari dosen," tambah Dino lagi.

Sehari-harinya, Dino memang bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Kelas karyawan yang dia tempuh adalah program dari tempat dia bekerja untuk meningkatkan kapasitasnya. Meski memakai jasa joki, dia tidak lantas lepas tangan dan buta dengan isi pekerjaan joki.

“Skripsi yang dikirim joki itu, kebetulan materinya saya paham. Saat presentasi ke dosen pembimbing pun cenderung aman jadinya," ujar Dino.

Cerita Putri dan Dino di atas memberikan gambaran kian maraknya praktik perjokian yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini. Memang, tidak ada data resmi terkait berapa jumlah joki di Indonesia, maupun data jumlah mahasiswa yang menggunakan jasa ini secara periodik dari tahun ke tahun.

Namun, sebuah riset sistematis tahun 2018 yang merangkum 65 studi dan melibatkan 54,514 partisipan, yang dilakukan oleh Philip M. Newton dari Swansea University, mengungkap, terdapat peningkatan praktik perjokian mahasiswa secara global dalam kurun waktu 2014-2016.

Berdasarkan riset ini, diperkirakan sebanyak 15,7 persen mahasiswa di seluruh dunia pernah menggunakan joki untuk menyelesaikan tugas akademik mereka. Persentase ini diestimasi setara dengan 31 juta siswa di seluruh dunia.

Secara internasional, praktik joki dikenal dengan sebutan contract cheating. Contract cheating merujuk pada tindakan siswa yang menyewa pihak ketiga untuk menyelesaikan tugas akademik mereka dan menyerahkannya sebagai karya mereka sendiri.

Sementara studi oleh Dini Heriyati, Reza Lidia Sari, Wulandari Fitri Ekasari, dan Sigit Kurnianto –keempatnya dosen di Universitas Airlangga– mendapatkan 73 dari 1.081 orang responden mahasiswa S1 (sekitar 6,75 persen), terlibat dengan praktik joki.

Berdasarkan informasi dari halaman abstrak yang mereka bagikan, terdapat kesimpulan soal beberapa kondisi yang meningkatkan kemungkinan mahasiswa memanfaatkan jasa joki, termasuk kepercayaan mahasiswa bahwa joki dapat memberi beragam manfaat, lingkungan pertemanan mahasiswa yang memanfaatkan praktik joki dan mengharapkannya melakukan hal yang sama, serta perasaan mahasiswa dalam kemampuan mengontrol joki agar tidak ketahuan.

Merebaknya praktik joki tugas akhir, menambah catatan buruk terkait kondisi pendidikan di tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Sebelumnya, sekitar April 2024 lalu, sempat ramai menjadi bahan perbincangan seorang dosen yang diduga melakukan mencatut nama akademisi lain dalam upaya menggembungkan publikasi atas namanya.

Belum lagi masalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang memancing aksi demonstrasi di sejumlah universitas dalam negeri.

Lalu, apa akar masalah dari meningkatnya sejumlah kasus pelanggaran akademik yang ada saat ini seperti praktik perjokian dan plagiarisme di dunia akademik?

Maraknya Praktik Perjokian: Gejala Pragmatisme Hingga Lemahnya Budaya Riset

Menanggapi fenomena ini, pengamat pendidikan, Totok Amin Soefijanto, turut membenarkan salah satu penyebab dari kian maraknya praktik perjokian ini adalah karena tingginya permintaan dan penawaran, senada dengan cerita Putri.

Namun, ia menyebut akar permasalahan yang menyebabkan fenomena ini terjadi adalah karena adanya gejala sikap pragmatisme di kalangan mahasiswa saat ini. Sikap pragmatisme inilah yang turut membuat mahasiswa mengabaikan norma dan etika akademik yang ada.

“Karena pragmatisme rasional yang minus etika. Mahasiswa perlu dibuatkan karena tidak ada waktu, kemudian di sisi pembuat (joki) melihat ini peluang pasar sehingga dia dapat tambahan (uang). Tapi, di antara mereka, tidak ada satupun yang mikir bahwa ini melanggar etika. Ini problem di masyarakat kita saat ini seolah-olah etika itu tidak penting,” kata Totok saat dihubungi Tirto, Selasa (21/5/2024).

Selain itu, Totok, yang juga pernah menjabat sebagai Deputi Rektor bidang Akademik, Riset dan Kemahasiswaan, Universitas Paramadina, menyebut budaya riset yang lemah di kalangan mahasiswa turut menjadi biang keladi permasalahan ini.

“Saya belasan tahun mengajar mata kuliah metode riset. Jika dibandingkan dengan luar negeri, budaya riset mahasiswa kita itu masih lemah. Banyak mahasiswa kita budaya baca saja masih kurang, padahal baca ini kan penting untuk jadi bahan refleksi untuk menulis. Karena itu, ketika dia ada di posisi yang seharusnya menghasilkan karya ilmiah akhirnya bisa jatuh ke jalan pintas tadi (praktik perjokian),” tambahnya.

Serupa, pengamat pendidikan Mohammad Abduzen, juga menyoroti lemahnya kemampuan menulis ilmiah dari mahasiswa saat ini. Ia menyebut, beberapa kampus tidak secara khusus memberikan mata kuliah atau pengajaran terkait penulisan karya ilmiah.

"Yang ada di semester-semester awal hanya mata kuliah Bahasa Indonesia, itupun tidak diarahkan kepada kemampuan menulis ilmiah. Praktis mahasiswa kita hingga sarjana tidak memiliki kemampuan/keterampilan menulis. Ada keharusan di satu sisi dan ada ketidakmampuan pada sisi lain, akhirnya dicari jalan pintas: memesan pada joki atau menjiplak milik orang lain," kata Abduzen dalam bentuk pesan tertulis, yang diterima Tirto pada Selasa (21/5/2024).

Kembali ke Totok, lebih lanjut, ia menilai alasan tekanan akademik hingga tuntutan waktu. seperti yang diungkap Dino di atas, tidak bisa dijadikan alasan bagi mahasiswa untuk menggunakan praktik perjokian. Menurutnya, kurikulum yang berlaku saat ini justru semakin mempermudah mahasiswa.

Ia mencontohkan, adanya program Merdeka Belajar - Kampus Merdeka atau MBKM, yang digagas Kemendikbudristek, justru mengurangi beban satuan kredit semester (SKS) mahasiswa di kampus.

Sebagai konteks, MBKM, adalah kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek yang memberikan hak kepada Mahasiswa untuk dapat mengambil mata kuliah di luar program studi selama 1 semester dan berkegiatan di luar perguruan tinggi selama 2 semester.

Beragam jenis kegiatan yang ditawarkan dalam program ini diantaranya seperti magang bersertifikat, pertukaran mahasiswa, hingga program membangun desa (KKN Tematik) yang bisa dikonversikan menjadi SKS.

“Alasan tekanan akademik tidak masuk akal, karena sekarang beban SKS sudah berkurang dan dari segi kurikulum juga sudah lebih ramping. Jadi, berat atau tidak tergantung mahasiswanya. apakah dia pandai membagi waktu dan beban. Karena ini juga bagian dari latihan dia mengelola hidupnya sebelum lulus," ungkapnya lagi.

Totok melihat ada pola yang sama dibalik kasus pelanggaran akademik yang terjadi belakangan ini, seperti dalam kasus praktik perjokian di kalangan mahasiswa, praktik plagiarisme, hingga pencatutan nama karya ilmiah di kalangan dosen, yang belakangan tengah ramai diperbincangkan.

Menurutnya, hal ini juga disebabkan oleh gejala sikap pragmatisme yang terjadi di kalangan pendidik atau dosen itu sendiri. Sama seperti pada kasus perjokian di kalangan mahasiswa, sikap pragmatisme inilah yang turut membuat dosen mengabaikan norma dan etika akademik yang ada.

Ia mengungkap, pelanggaran akademik di kalangan dosen biasanya terjadi karena dosen tersebut ingin cepat mengejar jabatan akademik yang lebih tinggi seperti profesor. Namun, karena beratnya persyaratan untuk mencapai jabatan tersebut, mereka kadang rela mengambil jalan pintas yang mengabaikan etika.

“Kebanyakan dosen pengen naik pangkat cepet, pingin jadi profesor di usia muda, padahal persyaratan banyak apalagi persyaratan sekarang harus masuk jurnal terakreditasi internasional, makin berat itu kan," katanya.

Sebagai informasi, dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun 2013 tentang Guru dan Dosen, publikasi ilmiah ini memang salah satu syarat bagi dosen yang ingin mendapatkan gelar profesor, jabatan fungsional tertinggi.

Regulasi serupa juga termaktub dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Setiap profesor harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun.

Namun, ia menolak dengan tegas jika peraturan tersebut dianggap menjadi tekanan dan membuka celah bagi praktik pelanggaran akademik yang dilakukan dosen, seperti plagiarisme hingga pencatutan karya ilmiah. Menurutnya, adanya sejumlah aturan dan syarat itu sudah tepat. Soal ini, ia mengembalikan itu semua kepada integritas dari pada masing-masing individu dosen.

“Peraturan itu dibuat untuk posisi-posisi yang sesuai dengan mestinya, kalo dia guru besar harus menghasilkan sesuatu seperti karya ilmiah yang internasional. Bahwa itu sulit iya, kalo mudah semua jadi profesor,” katanya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan kampus dan pemerintah dalam rangka melakukan pengawasan dan tindakan terhadap sejumlah pelanggaran akademik ini?

Perlunya Memperketat Pengawasan dan Mempertegas Sanksi Kepada Pelanggar

Menurut Totok, aturan yang mengatur soal praktik pelanggaran akademik seperti praktik perjokian dan plagiarisme di kampus sebenarnya sudah sangat tegas. Beragam hukuman sebenarnya sudah diterapkan mulai dari dinyatakan tidak lulus hingga dikeluarkan dari kampus.

Pihak kampus, menurutnya juga telah melakukan langkah mitigasi dengan mensyaratkan mahasiswa menandatangani kesepakatan larangan plagiasi dengan segala konsekuensi yang akan diterima. Selain itu, pihak kampus juga rutin melakukan pengecekan plagiasi kepada mahasiswa sebelum melaksanakan ujian karya ilmiah.

Totok menyebut hal tersebut sudah hampir di lakukan di semua kampus, artinya tidak menutup kemungkinan masih ada peluang bagi kampus yang abai akan tindakan tersebut.

“Sekarang tergantung proses sidang di masing-masing kampus, seberapa rigid dan teliti proses menuju sidang itu dilakukan," katanya.

Hingga saat ini, salah satu konsep yang digunakan untuk menindak sejumlah pelanggaran akademis seperti perjokian dan plagiarisme tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan (Permendikbudristek) Nomor 39 Tahun 2021.

Peraturan tersebut diantaranya mengatur soal frasa “kepengarangan yang tidak sah” yang bisa menjadi rujukan terhadap praktik perjokian di dunia akademik.

Secara lebih rinci, Pasal 10 ayat 4 peraturan tersebut menjelaskan, kepengarangan yang tidak sah merupakan kegiatan seseorang yang tidak memiliki kontribusi dalam sebuah Karya Ilmiah berupa gagasan, pendapat, dan/atau peran aktif yang berhubungan dengan bidang keilmuan.

Sementara itu, bentuk kepengarangan yang tidak sah dapat berupa menggabungkan diri sebagai pengarang bersama tanpa memberikan kontribusi dalam karya, menghilangkan nama seseorang yang mempunyai kontribusi dalam karya, dan/atau menyuruh orang lain untuk membuat karya sebagai karyanya tanpa memberikan kontribusi.

Lebih lanjut, peraturan ini juga mengatur sanksi terhadap pelaku pelanggaran akademik; mulai dari sanksi ringan, sedang, hingga berat. Bagi mahasiswa, sanksinya mulai dari pengurangan nilai atas karya ilmiah, hingga pemberhentian dan pencabutan ijazah.

Sementara, bagi dosen, sanksinya bisa berupa penundaan kenaikan jabatan, penurunan jabatan akademik hingga pemberhentian dari jabatan dosen.

Dari segi penindakan, menurut Totok, selama ini sudah banyak penindakan yang dilakukan terhadap para pelaku pelanggaran akademik tersebut baik dari kalangan mahasiswa dan dosen.

Namun, ia mengungkap penindakan tersebut lebih banyak dilakukan secara tertutup sehingga publik tidak mengetahui. Ia juga menekankan bahwa kasus pelanggaran akademik saat ini memang belum masuk ke dalam ranah hukum pidana.

Meski begitu, ia meminta Kemendikbudristek sebagai induk organisasi yang mengurusi masalah pendidikan di Indonesia untuk lebih ketat melakukan pengawasan dan penindakan terhadap para pelaku pelanggaran akademik ini.

“Dalam jangka pendek tentu ya harus ada langkah-langkah kuratif, sanksi harus lebih tegas dan mungkin perlu ada contoh tokoh yang melakukan plagiarisme yang harus dipaksa mundur," katanya.

Selain itu, dalam jangka panjang, ia juga menyarankan pihak terkait seperti Kemendikbudristek dan kampus untuk menumbuhkan budaya riset yang ada di kalangan akademik termasuk bagi mahasiswa dan dosen itu sendiri.

Budaya riset yang ia maksud mencakup kurikulum pengajaran tentang metode riset, serta penyadaran nilai-nilai norma dan etika riset, seperti inovatif, menghormati karya ilmiah lain, juga tidak melakukan plagiasi.

Lalu, apa tanggapan dari pemerintah soal ini?

Tirto sudah berupaya meminta tanggapan Kemendikbudristek melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Abdul Haris, terkait hal ini. Namun, Tirto belum mendapatkan respons hingga berita ini tayang.

==

Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Alfitra Akbar & Alfons Yoshio Hartanto
Editor: Farida Susanty