Menuju konten utama

Demokrasi Kian Terancam Ketika Pemerintah Semakin Antikritik

Kritik merupakan bagian dari kontrol terhadap pemerintah, sehingga aspirasi wajib dijamin dan penyampai kritik dilindungi haknya, bukan malah dibungkam.

Demokrasi Kian Terancam Ketika Pemerintah Semakin Antikritik
Haris Azhar (kanan) dan Fatia Maulidiyanti (kiri) usai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024). tirto.id/Ayu Mumouni

tirto.id - Gelombang intimidasi dan bentuk pembungkaman kritik yang menyasar masyarakat sipil semakin sering dirasakan satu dekade terakhir. Pemerintah bermuka tebal dengan menepis kritik menggunakan jalur kriminalisasi.

Melabeli kritik sebagai bentuk penghinaan, justru memperlihatkan mental pejabat negara yang tak mampu membedakan ranah personal dan tanggung jawab.

Bentuk dugaan pembungkaman kritik teranyar menyasar seorang pengguna TikTok yang melayangkan pendapat sarkas soal proyek pembangunan ibu kota di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

TikToker yang dipanggil “Om Bule” itu mengganti akronim IKN (Ibu Kota Nusantara), menjadi Ibu Kota Koruptor Nepotisme. Video yang merekam aksinya itu tersebar luas di media sosial.

Merespons video viral tersebut, Deputi Bidang Sosial, Budaya, dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN (OIKN), Alimuddin, menyampaikan bahwa pihaknya sudah melaporkan akun TikTok tersebut ke kepolisian. Dia mengklaim, masyarakat juga melaporkan akun tersebut karena merugikan pembangunan IKN.

Lebih lanjut, kata dia, pernyataan “Om Bule” terhadap pembangunan IKN dinilai destruktif dan merugikan Pemerintah Indonesia. Pasalnya, pernyataan tersebut berdampak pada penilaian negatif terhadap pemerintah yang sedang giat membangun proyek ibu kota.

“Kami menilai pernyataan yang disampaikan oleh seorang bule warga asing yang mengaku sudah lama tinggal di Indonesia tersebut destruktif, atau pernyataan yang mengarah pada hal-hal berkonotasi negatif bagi negara yang kini sedang membangun IKN,” kata Alimuddin dalam keterangan tertulis, Kamis (13/6/2024).

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menyayangkan sikap pemerintah yang main lapor polisi dalam merespons kritik dari masyarakat sipil. Seharusnya setiap kritik terhadap kebijakan yang diambil pemerintah, disikapi dengan positif dan menjadi bahan evaluasi. Melaporkan penyampai kritik sama saja dengan menanamkan rasa takut kepada masyarakat sipil.

“Dikit-dikit langkah hukum yang dipakai juga akan membuat masyarakat menjadi takut mengkritisi kebijakan pemerintah. Padahal setiap kebijakan ada kepentingan publik di situ,” kata Gufron kepada Tirto, Jumat (14/6/2024).

Kritik merupakan bagian dari kontrol terhadap pemerintah, sehingga aspirasi wajib dijamin dan penyampai kritik dilindungi haknya. Hal itu menjadi salah satu indikator dari berjalan baiknya demokrasi di sebuah negara.

Sebaliknya, pemerintahan yang cenderung otoriter atau malah menganut otoritarianisme, tidak akan memberikan ruang yang besar bagi kritik masyarakat sipil.

“Bahkan kritik [di negara otoriter] dibungkam. Nah, Indonesia kan negara demokrasi, maka sebagai prinsip demokrasi mensyaratkan adanya ruang kebebasan sipil, termasuk dalam hal ini ruang kritik [pada] kebijakan,” jelas Gufron.

Ancaman kriminalisasi dan intimidasi untuk membungkam kritik masyarakat sipil bukan kali ini saja terjadi. Periode Pilpres 2024 lalu, puluhan kampus dan sivitas akademika mengkritik Jokowi karena diduga cawe-cawe alias campur tangan dalam urusan pilpres. Jokowi bahkan dikritik almamaternya sendiri, Universitas Gadjah Mada, karena manuver politiknya mengancam demokrasi.

Kendati demikian, justru terjadi dugaan intimidasi yang diterima sejumlah rektor dan sivitas akademika yang melayangkan kritik. Ada yang berupa pembubaran diskusi publik, serta ada pula sivitas akademika yang didatangi kepolisian untuk diminta membuat video testimoni.

Kasus lainnya yang tak kalah menyita perhatian adalah perkara kriminalisasi aktivis hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.

Mereka dilaporkan oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menkomarves), Luhut Binsar Panjaitan, setelah melakukan diskusi hasil riset berjudul ‘Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya’ dalam siniar di YouTube.

Realisasi investasi di IKN capai Rp47,5 triliun

Pekerja menyelesaikan pembangunan di Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) Ibu Kota Nusantara (IKN), Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (12/2/2024). ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/rwa.

Luhut tidak senang namanya dibawa-bawa dalam aktivitas pertambangan di Papua. Hal ini membuat Fatia dan Haris dilaporkan ke polisi dan berhadapan dengan tuduhan pencemaran nama baik Luhut. Setelah berbulan-bulan menjalani persidangan, Fatia dan Haris, akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin (8/1/2024).

Ancaman kriminalisasi juga sempat menyasar TikToker asal Lampung, Bima Yudho Saputro. Dia dilaporkan ke Kepolisian Daerah Lampung setelah membuat video kritik terhadap kinerja pemerintah daerah Lampung di TikTok.

Pelaporan Bima mendapat kecaman publik karena dianggap melanggar kebebasan berpendapat. Belakangan laporan tersebut tidak dilanjut pihak kepolisian karena dianggap tidak memenuhi unsur pidana.

Pada tahun 2021, dua peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga dilaporkan ke polisi oleh Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko. Mereka adalah Egi Primayoga dan Miftachul Choir.

Pengaduan ini terkait riset ICW mengenai perburuan rente dalam peredaran Ivermectin dan ekspor beras antara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dan PT Noorpay Nusantara Perkasa. Nama Moeldoko terseret dalam laporan riset tersebut.

Selain kriminalisasi, pembungkaman kritik kepada pemerintah juga terjadi lewat aksi represif dan intimidasi langsung. Tak jarang, aksi represif ini dilakukan oleh sesama masyarakat sipil yang diduga punya kepentingan transaksional dengan penguasa. Misalnya aksi pembubaran diskusi ilmiah masyarakat sipil dalam PWF 2024 oleh ormas pada bulan lalu, yang bertepatan dengan gelaran internasional WWF 2024 di Bali.

Pembungkaman aspirasi kritis masyarakat sipil dalam gelaran internasional juga sempat terjadi saat KTT G20 pada 2022. Terjadi pembubaran diskusi dan lokakarya seni untuk anak muda yang menyoroti krisis iklim di Denpasar pada 6 November 2022. Tak lama berselang, rombongan pesepeda aktivis dari Greenpeace Indonesia juga diadang di Probolinggo dalam perjalanan menuju Bali.

Selain itu, Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga mengalami intimidasi saat menggelar rapat internal kelembagaan sekaligus gathering di sebuah villa di kawasan Sanur, Bali, pada 7 November 2022. Acara YLBHI tersebut diintervensi oleh lima orang yang mengaku petugas desa/pecalang.

Senja kala Demokrasi

Maraknya gelombang pembungkaman kritik dan pembatasan kebebasan berekspresi bukan kabar baik bagi demokrasi. Nilai-nilai demokratisasi Indonesia semakin merosot akibat ulah pejabat negara yang bermuka tebal dan antikritik. Hukum sebatas alat gebuk bagi orang-orang yang memiliki pendapat berseberangan dengan penguasa.

Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, memandang penggunaan instrumen hukum sebagai alat pembungkam kritik menjadi fenomena yang sering muncul dalam satu dekade terakhir. Fenomena ini menjadi satu sinyalemen nyata bahwa pemerintahan Jokowi tidak benar-benar serius melibatkan masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan pemerintah.

“Kami melihat ini situasi yang mengarah pada satu bentuk pemerintahan yang otoriter, artinya sama sekali kepentingan menghendaki adanya partisipasi publik terutama dalam level koreksi,” kata Dimas kepada Tirto, Jumat.

Dimas memandang, dalam negara demokrasi kritik merupakan bentuk nyata dari partisipasi publik. Maka, kritik tidak harus konstruktif apalagi dituntut dengan solusi-solusi konkret dari rakyat. Namun yang terjadi di Indonesia justru kritik dibungkam dan penyampai kritik rentan dikriminalisasi.

Menurutnya, yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan ciri dari negara yang menerapkan autokratik legalisme. Dalam konsep ini, proses-proses pembentukan perundang-undangan tidak melibatkan masyarakat sipil.

Tetapi ketika kemudian masyarakat melakukan penolakan atau protes terhadap kebijakan yang diambil atau disepakati penguasa, justru dihadapkan pada ancaman kriminalisasi.

“Pemerintah sebagai salah satu wujud dari pengambil kebijakan atau keputusan memang harus melakukan tugas-tugasnya membenahi apa yang jadi usulan atau rekomendasi dari masyarakat,” tutur Dimas.

AKSI TOLAK PEMBANGUNAN PLTU JAWA 9 DAN 10

Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil Tolak PLTU menggelar aksi simpatik menolak mega proyek PLTU Jawa 9 dan 10 di depan Kedutaan Besar Korea Selatan, Jakarta, Selasa (30/6/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc.

Menurut catatan KontraS, selama Januari 2022 hingga Juni 2023, sedikitnya ada 183 pelanggaran kebebasan berekspresi mulai dari serangan fisik, digital, penggunaan perangkat hukum, hingga intimidasi. Peristiwa tersebut menyebabkan 967 orang ditangkap, 272 korban luka-luka, dan 3 tewas.

Sementara itu, Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum, menilai pembungkaman kritik dan intimidasi akan terus terjadi karena ada celah hukum yang bisa dimanfaatkan penguasa untuk membatasi kritik.

Celah ini adalah hadirnya pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE dan UU KUHP. Aturan hukum atau legislasi tersebut seolah-olah dipersiapkan untuk membuat pemerintah atau pemangku kepentingan dengan mudah melaporkan kritik.

“Sehingga banyak ruang untuk menyalagunakan atau abuse aturan atau legislasi yang ada. Jadi seakan-akan apa yang mereka lakukan ada aturannya,” kata Nenden.

SAFEnet mencatat ada 375 kasus yang menjerat warganet lewat UU ITE sejak 2008 hingga awal 2021. SAFEnet menyimpulkan jurnalis, aktivis, dan warga kritis merupakan yang paling banyak terjerat pasal-pasal karet pada undang-undang tersebut.

Analis politik dari Indonesia Political Opinion, Dedi Kurnia Syah, menyatakan kritik merupakan satu-satunya akses komunikasi publik. Disaat parlemen punya alat kekuasaan berupa UU, dan pemerintah punya militer dan polisi, maka publik hanya punya suara dan pendapat yang kritis untuk mengingatkan penguasa.

“Sehingga, tidak mungkin demokrasi dan semua bentuk pembangunannya bisa maju tanpa kritik,” kata Dedi kepada Tirto, Jumat.

Ekspresi arogan pemerintah merespons kritik, kata dia, bisa menandai dua hal. Pertama pemerintah menyadari kian menurunnya tingkat kepercayaan publik atas kinerja mereka, sehingga berupaya menciptakan citra baik dengan cara menekan kritik.

Kedua, pemerintah gagal memahami hak publik, di mana kritik sebenarnya adalah bagian dari proses pembangunan. Maka semakin terbuka penguasa menerima datangnya kritik, semakin memungkinkan hubungan publik dengan pemerintah menjadi lebih baik pula.

“Era Jokowi, hal semacam ini tabu sehingga [kritik] ditangani represif, bahkan membentuk kelompok pemengaruh melawan kritik. Ini merupakan tanda ketidaksiapan berkuasa di ruang demokratis,” ujar Dedi.

Analisis politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, berpendapat senada. Menurut Kunto, ada semacam budaya antikritik yang semakin berkembang di pemerintahan Jokowi. Kritik untuk pemerintah malah dianggap personal dan dianggap pencemaran nama baik sehingga ada pelaporan ke polisi.

“Ada juga pihak atau kelompok berusaha menjilat penguasa dengan pasang badan jadi pembela dan melaporkan pengkritik,” kata Kunto kepada Tirto, Jumat.

Kritik seharusnya diakomodasi dalam sebuah pemerintahan yang mengaku berjalan dengan demokratis. Sebab di dalam kritik ada kehendak publik, di mana urusan rakyat menjadi hal yang penting untuk didengarkan.

Akuntabilitas dalam demokrasi juga bakal terjaga jika penguasa mau mendengarkan dan mengakomodasi kritik dari masyarakat sipil.

“Bahwa kan tidak semua produk [kebijakan pemerintah] disukai publik. Kalau [kritik] diterima jadinya kan ada diskusi, dialog, dan titik temu ini kan baru beradab dalam menanggapi kritik,” ungkap Kunto.

Respons Pemerintah

Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP), Rumadi Ahmad, menyatakan tugas untuk menjaga ruang publik yang sehat bukan hanya dilakukan oleh pemerintah. Dia mengklaim pemerintah dan pihak Istana selalu berkomunikasi dan terbuka dengan kritik-kritik yang dilayangkan masyarakat sipil.

“Tentu ada koridor yang harus dijaga bersama-sama,” kata Rumadi kepada Tirto, Sabtu (15/6/2024).

Rumadi menegaskan, pemerintah membutuhkan kritik dari berbagai pihak, termasuk masyarakat. Kritik, kata dia, bukan hanya menjaga demokrasi semata, tetapi merupakan ruh dari kehidupan.

Dia memandang kemajuan peradaban tercapai karena adanya keseimbangan antara kritik dan kekuasaan.

“Namun kritik tidak berarti membiarkan anarki. Kehidupan sebuah bangsa membutuhkan keseimbangan itu,” tutur Rumadi.

Baca juga artikel terkait ANTIKRITIK atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Hukum
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi