tirto.id - Dominasi elite partai politik menentukan calon kepala daerah membuat ruang partisipasi publik semakin menyempit. Konsensus petinggi parpol di tingkat pusat dikhawatirkan turut abai terhadap suara kader-kader di level daerah.
Hegemoni parpol ‘mengawinkan’ paslon harus menyerap partisipasi publik bermakna agar esensi pilkada langsung betul-betul terlaksana.
Jelang pendaftaran calon Pilkada 2024 pada 27 hingga 29 Agustus 2024 mendatang, ketua parpol terus melakukan pertemuan untuk menjajakan jagoan masing-masing. Manuver petinggi parpol untuk membangun koalisi yang kuat dan gemuk bisa terlihat di daerah-daerah strategis. Namun, andil ketua umum parpol dan para pejabat teras masih cukup kental menentukan calon kepala daerah yang bakal diusung.
Dalam Pilkada Jakarta 2024 misalnya, gerbong parpol di Koalisi Indonesia Maju (KIM) sering kali menuturkan bahwa penentuan calon kepala daerah bakal ditentukan para ketua umum.
KIM merupakan gerbong parpol yang mengusung presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bahkan, ada wacana mereka menggaet parpol lain di luar pendukung Prabowo-Gibran dengan membentuk KIM Plus di daerah pilkada strategis.
Dasar Hukum Aturan Pencalonan Jadi Biangnya
Peneliti Bidang Politik dari The Indonesian Institute (TII), Felia Primaresti, menilai bahwa besarnya peran elite parpol dalam menentukan calon kepala daerah disebabkan mekanime pilkada langsung yang memang membuat hal tersebut niscaya.
Sesuai UU Pilkada, kata dia, kandidat yang maju umumnya harus mendapatkan dukungan dari partai politik.
Proses ini kerap berubah menjadi arena tawar-menawar antara para elite partai. Mereka cenderung memprioritaskan kandidat dengan modal politik, finansial, atau koneksi yang kuat daripada kandidat yang betul-betul disuarakan oleh masyarakat.
“Selain itu, elite politik yang berkuasa sering kali memiliki kepentingan ekonomi dan politik yang saling terkait,” kata Felia kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2024).
Elite parpol cenderung memilih calon kepala daerah yang bisa melindungi atau memperkuat posisi mereka. Ini menyebabkan calon-calon independen atau mereka yang lebih populis namun tak terafiliasi kekuatan elite menjadi sulit untuk maju atau mendapatkan dukungan yang luas.
Kita juga tidak boleh melupakan bahwa politik itu memiliki konsekuensi pembiayaan yang sangat mahal. Menjadi masuk akal jika parpol bersikap pragmatis memilih kandidat yang memiliki jaringan untuk pemenuhan kebutuhan pembiayaan tersebut.
Bahkan, kata Felia, di beberapa daerah kekuasaan politik lokal sering kali terkonsentrasi pada segelintir keluarga atau kelompok elite tertentu yang memiliki jaringan politik dan ekonomi yang kuat. Hal tersebut menciptakan apa yang disebut sebagai oligarki lokal.
Hegemoni elite parpol yang terkonsentrasi dalam penentuan calon kepala daerah akan membuat masyarakat merasa cuma jadi penonton pesta demokrasi. Imbasnya, kepercayaan terhadap parpol dan proses demokrasi yang substantif akan memudar.
“Selain itu, proses seleksi yang tidak transparan sering kali menimbulkan kesan bahwa parpol dijalankan segelintir elite yang hanya mengutamakan kepentingan mereka, sehingga memperkuat pandangan bahwa politik di Indonesia lebih bersifat oligarkis daripada demokratis,” tegas Felia.
Menurut Felia, parpol harus didorong mengadopsi mekanisme yang lebih transparan dalam proses seleksi calon kepala daerah. Parpol memiliki kewajiban untuk transparan karena mendapatkan dana publik, seperti mandat UU Keterbukaan Informasi Publik.
Jadi, kata dia, parpol wajib transparan dan akuntabel kepada publik, termasuk dalam proses kaderisasinya. Cara-cara tersebut bisa dilakukan dengan membuka debat publik, pelibatan masyarakat dalam penilaian calon, serta menyediakan informasi yang komprehensif tentang kriteria dan proses seleksi.
“Hal ini akan meningkatkan kepercayaan publik dan memastikan bahwa calon yang dipilih dilakukan melalui proses yang transparan dan akuntabel, serta benar-benar mewakili kepentingan masyarakat,” ucap Felia.
Sementara itu, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menyatakan konsensus dominan dari para elite parpol bakal menggerus esensi pemilihan kepala daerah langsung.
Unsur-unsur pemilihan langsung setidaknya meliputi partisipasi publik dan calon yang maju berlaga dapat merepresentasikan aspirasi dari masyarakat.
”Sekarang, kan, kecenderungannya itu, calon-calon itu muncul tidak dari bawah, tetapi dari manuver elite, konsensus elite,” kata Arya dalam konferensi pers CSIS di Gambir, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Arya memandang bahwa calon kepala daerah yang diusung koalisi parpol biasanya tidak memiliki standar yang jelas. Proses pemilihan calon cenderung tidak transparan dan akan mengancam regenerasi demokrasi di Indonesia.
Padahal, unsur terpenting dari demokrasi adalah kompetisi. Maka, jika calon kepala daerah hanya dipilih secara konsensus oleh elite parpol, tidak ada unsur kompetisi dalam sikap itu. Standar pencalonan dan proses seleksi yang jujur, adil, dan transparan akan menghilang.
Lebih lanjut, hegemoni elite parpol dalam penentuan calon kepala daerah akan memicu pertarungan kotak kosong. Meski secara aturan tidak ada yang salah dengan kotak kosong, namun secara substansial akan menggerus nilai-nilai demokrasi.
”Kalau pilkadanya melawan kotak kosong, berarti itu menunjukkan tidak ada kompetisi atau proses demokrasi menjadi buruk,” jelas Arya.
Sementara itu, Felia memandang, aturan pilkada bisa direvisi untuk membatasi jumlah kursi DPRD yang dibutuhkan parpol dalam mengajukan calon kepala daerah. Usulan ini agar mencegah dominasi oleh satu atau beberapa koalisi parpol gemuk yang cenderung mengarahkan pencalonan ke kandidat tunggal. Selain itu, hal tersebut dapat memberikan peluang bagi parpol kecil atau calon independen untuk muncul.
“Hal ini juga positif untuk mendorong keterbukaan kesempatan berkompetisi dalam politik secara sehat dan kompeten untuk Indonesia yang begitu beragam,” kata Felia.
Masyarakat Tetap Harus Memantau
Pengajar hukum tata negara sekaligus pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menilai agar masyarakat bisa ikut andil dalam situasi re-sentralisasi politik saat ini, maka mereka harus mau untuk lebih peduli dan menyampaikan pandangan kritis. Terutama, mengkritisi proses pencalonan dan pembentukan koalisi yang dilakukan elite-elite partai.
Warga di setiap daerah seharusnya bersuara langsung lewat media sosial, petisi, serta audiensi untuk menyampaikan aspirasi. Jika diperlukan, kata Titi, bisa melakukan aksi demonstrasi menuntut keberpihakan parpol pada suara dan aspirasi masyarakat yang ada di daerah.
“Jika publik hanya diam, justru para elite akan makin leluasa meninggalkan aspirasi rakyat dalam proses pencalonan yang dianggap hanya milik mereka yang ada di elite partai,” kata Titi kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2024).
Padahal, kedaulatan partai ada di tangan anggota dan bukan cuma segelintir elite. Partai harus menyambung aspirasi rakyat agar tidak sekadar pragmatis mengejar kemenangan dan kekuasaan semata.
“Dominasi dan hegemoni elite partai tingkat pusat dalam kontestasi keluarga memang didesain secara sengaja melalui pengaturan dalam UU Pilkada yang mensyaratkan kewajiban rekomendasi DPP Partai Politik untuk pengusulan calon di pilkada,” ujar Titi.
Persoalannya, pengurus elite parpol masih bisa mengusung langsung calon di pilkada apabila pengurus partai di daerah menolak calon yang diusulkan pusat. Titi memandang, pilkada di tahun yang sama dengan pilpres serta dilakukan saat transisi pemerintahan baru, memang menjadikan parpol semakin pragmatis dan oportunis.
Selain itu, kata Titi, pilkada serentak di tengah berlakunya adanya syarat ambang batas pencalonan membuat partai semakin memperhitungkan peta dukungan agar jagoannya bisa mendapatkan tiket. Imbasnya, ada kecenderungan partai melepas tiket untuk suatu daerah demi mengamankan tiket di daerah lain.
“Itu lah mengapa peluang calon tunggal bisa meningkat akibat kompromi antarpartai,” ucap Titi.
Calon Independen Harusnya Bisa Jadi Solusi
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Annisa Alfath, memandang jabatan strategis di parpol cenderung diisi elite yang biasanya memiliki modal materil atau hubungan darah dengan petinggi parpol. Sehingga, kaderisasi internal parpol tidak berjalan dengan baik.
Skenario kotak kosong tak lepas dari faktor hadirnya dominasi koalisi parpol yang besar. Annisa menilai, inilah mengapa wacana KIM Plus di level daerah berpotensi menghasilkan kotak kosong dalam kontestasi Pilkada 2024.
“Karena partai di luar KIM belum tentu bisa memenuhi ambang batas pencalonan minimal 20 persen jumlah kursi atau 25 persen jumlah suara. Ketika bisa memenuhi syarat ambang batas minimal tersebut, mereka mengkalkulasi peluang menang calon yang diusung,” kata Annisa kepada reporter Tirto, Jumat (9/8/2024).
Annisa memandang, salah satu mekanisme mendorong calon pilihan masyarakat adalah melalui inisiasi calon independen untuk memberi alternatif pilihan.
Sayangnya, banyak jalan terjal untuk mengusung calon independen, seperti ambang batas yang terlalu tinggi. Internal parpol juga harus berbenah agar kaderisasi dan penjaringan calon kepala daerah berjalan transparan.
“Jangan sampai yang kemudian diusung oleh parpol bukan kader-kader potensial, tapi kader yang baru masuk lalu bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, misalnya karena popularitas belaka (calon artis), atau yang memiliki tautan darah,” jelas Annisa.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto