tirto.id - Pilkada 2018 tak memberi banyak ruang untuk persoalan lingkungan. Dari debat kandidat Pilgub Jawa Tengah dan Jawa Timur misalnya, porsi waktu untuk eksplorasi isu ini tercatat kurang dari 10 menit. Angka itu merupakan akumulasi selama tiga putaran debat yang berlangsung di dua provinsi tersebut.
Pada debat Pilgub terakhir Jawa Tengah, Sudirman Said, salah satu kandidat Gubernur, sempat menyinggung soal proyek pembangunan geotermal di kaki Gunung Slamet. Menurutnya, kehadiran proyek eksplorasi tenaga listrik panas bumi dianggap merugikan masyarakat, terutama terkait konteks potensi kerusakan ekosistem dan ekologi lereng gunung. Sudirman mempersoalkan bagaimana keputusan dan perizinan yang terjadi.
Namun, perdebatan antar-kandidat hanya sebatas serangan politik. Bukan beradu pandangan secara rasional dan argumentatif mengapa isu lingkungan hidup jadi hal penting. Ganjar Pranowo, kandidat petahana yang diserang Sudirman, memunculkan jawaban dengan nada sindiran.
Perpanjangan izin eksplorasi, kata Ganjar, justru diteken oleh Sudirman saat menjabat Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2016. Artinya, kedua kandidat hanya menggunakan isu lingkungan hidup sebagai bahan perdebatan.
Isu Lingkungan Kalah dari Isu Lain
Berdasarkan pengamatan Tirto selama live fact check debat Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat, hanya Bumi Pasundan yang memberikan porsi cukup besar mengenai diskusi soal lingkungan pada debat pilgub, yakni 36 menit 30 detik.
Isu lingkungan kalah bersaing dengan isu pembangunan daerah, pelayanan masyarakat dan birokrasi, pemberdayaan ekonomi, serta kesejahteraan masyarakat. Padahal, pembangunan yang berkelanjutan tidak lepas dari daya dukung lingkungan dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang benar.
Selain itu, isu lingkungan juga menjadi bagian dari kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat. Dapat dilihat bagaimana pengelolaan lingkungan yang buruk berdampak pada bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan masih banyak lagi.
Sangat penting melihat bagaimana komitmen para calon kepala daerah, dalam hal ini gubernur dan wakil gubernur, dalam mengelola lingkungan. Komitmen ini dapat dilihat dari visi dan misi yang diusung dalam kampanye mereka. Calon kepala daerah yang berjanji mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan atau bersedia menyelesaikan permasalahan lingkungan yang sudah ada tentu lebih serius dibanding yang tidak mencantumkannya secara eksplisit.
Berikut ini merupakan visi misi calon kepala daerah yang berhubungan dengan isu lingkungan.
30 Pasangan Calon Tak Cantumkan Visi Soal Lingkungan
Dari 15 provinsi yang dipantau, sebanyak 30 calon gubernur dan wakil gubernur tidak mencantumkan visi dan misi mengenai lingkungan. Hanya 19 calon yang diketahui melakukannya. Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur setidaknya memiliki satu pasangan calon (paslon) yang memiliki komitmen sejak awal terhadap lingkungan. Sementara Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku para kandidat kepala daerahnya sama sekali tidak membahas isu lingkungan pada visi misi mereka.
Padahal, Lampung dan Bali belum lepas dari persoalan lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung menyatakan pada Februari 2018 bahwa kerusakan hutan di Lampung mencapai 65 persen. Kerusakan hutan dengan persentase tersebut berakibat pada krisis air di Lampung.
Sementara itu, Bali masih belum lepas dari masalah banjir. Dalam sebuah foto yang dirilis Antara (24/01/2018), terlihat wisatawan mancanegara mendorong motor di kawasan Kuta yang sedang banjir. Persoalan yang seharusnya tidak terjadi pada daerah dengan potensi kunjungan wisatawan mancanegara yang tinggi.
Belum lagi memperhatikan temuan yang pernah diungkap oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) soal Izin Usaha Pertambangan (IUP). Usaha pertambangan, selain berpotensi konflik sosial dengan warga setempat, juga jadi problem ekologis.
Perizinan usaha tambang sendiri acap kali diketahui bermasalah. Sebanyak 4.290 IUP (Izin Usaha Pertambangan) menurut JATAM tercatat berada di 17 wilayah provinsi yang menyelenggarakan Pilkada 2018. Jumlah itu mencapai 49,2 persen dari total seluruh IUP di Indonesia (8.710 IUP).
JATAM bahkan mengkhawatirkan pemohon perizinan tambang yang masih marak selama pilkada serentak berpotensi mendekati para kandidat kepala daerah. Mereka punya kemampuan menawarkan pasangan calon sejumlah dana. Sebagai timbal baliknya, para kandidat yang terpilih diminta untuk mempermudah perizinan usaha. JATAM menyebutnya sebagai fenomena "ijon politik".
Kekhawatiran JATAM cukup rasional. Sebuah laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015 (PDF) menyebut ongkos menjadi wali kota atau bupati mencapai Rp20-30 miliar, sementara untuk gubernur Rp20-100 miliar. Pada satu sisi, di tahun tersebut harta kekayaan calon kepala daerah rata-rata hanya Rp6,7 miliar. Artinya, menerima modal dana politik dari usaha pertambangan bisa dilihat sebagai solusi dari kebutuhan biaya kampanye.
Sedikit Waktu Buat Isu Lingkungan
Lantas bagaimana isu lingkungan mendapat perhatian pada panggung debat pilgub? Apakah ia sudah dibahas dengan porsi yang cukup, minim, atau tidak dibahas sama sekali?
Berdasarkan pemantauan Tirto dari 15 provinsi di Indonesia, NTT dan Maluku sama sekali tidak membahas persoalan lingkungan dalam debat pilgub mereka. Hanya ada lima provinsi yang membahas isu lingkungan kurang dari 10 menit dari durasi total debat yang diselenggarakan. Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat merupakan dua provinsi yang membahas permasalahan lingkungan setelah Jawa Barat, yakni lebih dari dua puluh menit.
Permasalahan lingkungan yang kerap jadi fokus debat pilgub adalah kerusakan hutan, permasalahan sampah, banjir, penambangan yang merusak lingkungan, dan alih fungsi lahan. Bahkan, sekalipun permasalahan sudah berhasil muncul debat, belum ada cara pandang dan pendekatan yang kentara dalam melihat isu lingkungan hidup sebagai hal mendasar.
Pada debat Sumatera Selatan misalnya, yang hingga 2016 mengalami kerusakan hutan hingga satu juta hektar porsi bahasan isu lingkungan, waktu untuk membahas isu lingkungan pada dua putaran debat tak lebih dari 3 menit. Persoalan lingkungan yang sempat dibahas adalah elaborasi antara Grand Design Green Growth dan perekonomian serta restorasi lahan gambut.
Persoalan yang sama juga terjadi pada NTT dan Maluku. Selain calon pemimpinnya yang tidak menunjukkan visi misi terkait lingkungan, tema debatnya juga berada jauh dari isu lingkungan.
Sebenarnya perbedaan tema ini tidak selalu menjadi persoalan. Sumatera Utara misalnya, mengalokasikan 7 menit dan 5 menit pada isu lingkungan dalam debat putaran pertama dan putaran ketiga meskipun tema yang diusung adalah ‘Pembangunan Berkeadilan dan Berkesetaraan’ serta ‘Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia.’ Pada dua putaran debat tersebut, kedua paslon fokus membahas persoalan mafia tanah perusakan Taman Nasional Gunung Leuser.
Meski banyak daerah yang kurang membahas persoalan lingkungan, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur mengalokasikan waktu cukup banyak pada permasalahan lingkungan. Ketiga provinsi ini memang menghadapi permasalahan lingkungan yang cukup banyak. Debat Jawa Barat, misalnya, fokus pada banjir di Bandung, persoalan air Sungai Citarum, dan limbah industri di Purwakarta.
Sementara itu, Kalimantan Barat mendedikasikan debat putaran kedua pada isu pembangunan ramah lingkungan dan sumber daya alam. Tema tersebut kemudian berkisar pada pembahasan mengenai deforestasi, kebakaran hutan, dan alih fungsi lahan gambut. Demikian halnya dengan Kalimantan Timur. Melalui tema ‘Isu Strategis Kalimantan Timur,’ paslon diajak membahas banjir di Samarinda dan Balikpapan, tambang ilegal di Bontang, dan yang terbaru: tumpahan minyak di Balikpapan.
Wajar bila Kalimantan memberi porsi yang besar dalam membahas permasalahan lingkungan. Borneo kaya akan spesies hewan, tumbuhan, serta sumber daya alam yang menghidupi 11 juta orang termasuk satu juta Masyarakat Adat. Laporan WWF berjudul "The Environmental Status of Borneo 2016" (PDF) mengindikasikan bahwa deforestasi bisa menyebabkan Kalimantan kehilangan 75 persen hutannya pada 2020. Permasalahan ini tentunya berada dalam prioritas tinggi bagi Kalimantan dan menunggu penyelesaian dari calon pemimpinnya.
Permendagri Nomor 7 Tahun 2018
Ketidakhirauan penyelenggara debat dan calon kepala daerah terhadap isu lingkungan cukup mengherankan. Apalagi Mendagri telah menerbitkan Permendagri Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembuatan dan Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Peraturan itu muncul sekaligus sebagai sarana menyambut hasil pemimpin daerah baru dari Pilkada 2018. Setelah enam bulan dilantik, para kepala daerah terpilih diwajibkan membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2019-2023.
Artinya, sudah semestinya, isu lingkungan muncul untuk membantu eksplorasi publik, sejauh mana calon pemenang pilkada mempersiapkan dengan baik RPJMD itu. Dengan beragamnya permasalahan lingkungan yang dihadapi, sudah sewajarnya 17 daerah tersebut berfokus mencari solusi yang secara garis besar seharusnya termaktub dalam visi misi mereka.
Kini, mengingat Pilkada 2018 sudah selesai, yang dinantikan bukan lagi soal eksplorasi isu lingkungan hidup dalam visi misi. Publik mendapat tantangan baru untuk mengawal hasil pilkada, yakni mendorong isu lingkungan hidup menjadi aspek dasar di RPJMD periode 2019-2023. Dan yang terpenting, persoalan lingkungan sungguh-sungguh menjadi perhatian kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Editor: Maulida Sri Handayani