tirto.id - Debat pemungkas Pemilihan Gubernur Jawa Tengah (Pilgub Jateng) Kamis malam (21/6/2018) gagal dimanfaatkan secara optimal oleh pasangan calon (paslon) nomor urut dua Sudirman Said-Ida Fauziyah. Sejumlah peluru serang yang mereka lontarkan berhasil ditangkis paslon petahana Ganjar Pranowo-Taj Yasin.
Peluru pertama Sudirman Said untuk Ganjar bernama proyek gheotermal di Kaki Gunung Slamet. Menurutnya perpanjangan izin diproyek tersebut telah banyak merugikan masyarakat sekitar. Namun serangan itu dibantah Ganjar. Ia bilang: "Apa yang diprotes masyarakat di Gunung Slamet, hari ini kami menerima getah itu. Apakah kami diam? Tidak kami kirimkan tim, termasuk air yang ada," ucap politikus PDIP tersebut.
Ganjar kemudian memanfaatkan isu itu untuk menyerang balik Sudirman. Ia membeberkan fakta bahwa perpanjangan izin eksplorasi Daerah Panas Bumi Baturaden—lima wilayah Kabupaten di kaki Slamet justru diteken oleh Sudirman saat menjabat Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2016. “Mudah-mudahan bapak tidak lupa. Saya hanya mengingatkan saja. Datanya ada. Ini keputusan yang diambil oleh seorang menteri pada saat itu,” sindir Ganjar.
Sebagai petahana, Ganjar Pranowo memang terlihat cukup meyakinkan saat memaparkan kebijakan-kebijakannya, terutama yang bersinggungan dengan kepentingan pertambangan dan energi. Beberapa kali, misalnya, ia menyampaikan bahwa Pemprov Jateng sangat ketat dalam hal pemberian izin usaha pertambangan dan menegasikan fakta bahwa ada konflik dan penolakan yang liat dari masyarakat di Pati dan Rembang soal tambang semen.
Sebaliknya, Sudirman justru tak berani mengeksplorasi isu tersebut dan menawarkan solusi baru yang lebih kontras dengan kebijakan yang diambil Ganjar. Padahal dampak proyek seperti rusaknya ekosistem dan ekologi lereng selatan Gunung Slamet, serta keruhnya sungai-sungai yang membuat masyarakat kesulitan air bersih bisa ia ekpoitasi lebih jauh. Sudirman hanya memberi klarifikasi singkat bahwa pemberian izin dilakukan atas rekomendasi daerah, yang kemudian kembali dimentahkan oleh Ganjar—bahwa setiap rekomendasi seharusnya dicek terlebih dahulu oleh tim dari kementerian.
“Saya tidak akan lanjut soal geothermal, karena yang saya katakan soal geothermal lebih pada menyampaikan suara masyarakat, dan kita mesti dandani itu. Karena geotermal merupakan sumberdaya terbarukan yang harus kita dorong. Jadi bukan saya memprotes tapi kita mesti tangani supaya masyarakat tidak lagi mendapat kesulitan,” ujar Sudirman mengakhiri topik tersebut.
Sudirman agaknya tak mau mengambil jalan yang sama seperti rekannya Anies Baswedan, yang ia dukung dan berhasil menang dalam kontestasi Pilkada DKI 2017. Dalam debat, ia tak mau membuat demarkasi antara menghentikan dan melanjutkan proyek tersebut. Padahal, ia bisa saja menyerang balik, misalnya dengan mempertanyakan: mengapa Ganjar tetap menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi di Batu Raden di tengah gelombang penolakan masyarakat serta dampak negatif yang bermunculan dari proyek tersebut.
Isu tambang semen di pegunungan karst Kendeng juga tak dimanfaatkan Sudirman sebagai peluru mematikan. Padahal, dalam kasus ini Ganjar Pranowo adalah public enemy terutama di kalangan aktivis lingkungan dan beberapa petani di Rembang dan Pati. Ia pernah mengangkangi keputusan Mahkamah Agung dengan mengeluarkan adendum atas izin lingkungan PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang.
Perdebatan soal Air Terasa “Kering”
Perdebatan soal lingkungan juga terasa “kering” meski yang dibahas tak jauh-jauh dari masalah air. Dalam sesi debat menggunakan studi kasus di salah satu daerah, ada dua video yang ditampilkan untuk dibahas, yakni ancaman kekeringan di Kabupaten Pati dan banjir rob di Pekalongan.
Video pertama menampilkan masyarakat di lereng pegunungan Kendeng, Pati, yang mengkhawatirkan kondisi alam di wilayah itu rusak akibat aktivitas pertambangan batu gamping untuk bahan baku semen. Ketakutan mereka, tak lain adalah hilangnya sumber-sumber mata air yang menjadi kebutuhan sehari-hari warga mulai dari irigasi, MCK hingga minum.
Menanggapi hal itu, Ganjar Pranowo justru menyampaikan ada kesalahan informasi yang terjadi di masyarakat mengenai persoalan tersebut. Menurut Ganjar, apabila video itu dikaitkan dengan kasus pabrik semen di Pati, “sampai saat ini tidak ada pabrik semen yang berdiri.”
Namun, lanjut Ganjar, apabila persoalan tersebut ditinjau melalui aspek kekeringan air, maka hal yang paling dibutuhkan adalah embung dan sumur dalam. “Ada lima waduk yang diusulkan. Alhamdulillah di zaman Pak Jokowi kita didorong sampai sembilan waduk untuk Jawa Tengah, sekarang semua sudah berproses untuk menyelesaikan persoalan itu,” sambung ganjar dalam kesempatan berikutnya.
Dalam sesi yang sama Sudirman memang menawarkan solusi lain yakni meninjau ulang tata ruang dan mengoptimalkan saluran irigasi. Namun, ia luput—atau tak mau—memanfaatkan kesempatan untuk mengkritik program pembangunan waduk yang sarat konfik agraria atau perampasan lahan tersebut. Sehingga, lagi-lagi, tawaran-tawaran yang ia ajukan terdengar usang. Terlebih, Ganjar dengan mudah mengklaim bahwa apa yang ingin dilakukan Sudirman telah dilakukan di lima tahun kepemimpinannya.
Satu-satunya kritik yang dilontarkan Sudirman atas solusi Ganjar itu adalah program seribu embung yang tak optimal direalisasikan. “Saya punya catatan dari seribu embung yang ditargetkan pemerintahannya Mas Ganjar, ini baru terbangun kurang dari 20. Sesuatu yang sebetulnya bisa kita kejar. Karena sebetulnya bangun embung itu ongkosnya tidak mahal,” kata Cagub berdarah Brebes tersebut.
Tak berbeda jauh dari dua debat yang sebelumnya. Dua pasangan calon hanya saling bantah-bantahan tanpa memberikan solusi, atau setidaknya pendekatan baru, atas problem-problem yang masih dihadapi masyarakat di tingkat kabupaten/kota. Padahal, beberapa isu yang diperdebatkan cukup menarik, di antaranya soal tata kelola dan penyelesaian masalah lingkungan di Jawa Tengah.
Saat membahas penangan rob di Jawa Tengah misalnya, baik Ganjar maupun Sudirman, memiliki pendekatan yang hampir sama atas masalah di pesisir utara tersebut.
Sudirman Said, yang mendapat giliran bicara terlebih dahulu, sempat menyinggung bahwa penanganan banjir rob di kawasan sekitar kampus Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Semarang, merupakan contoh yang baik. Ia juga mengemukakan solusi pembangunan tembok laut atau giant sea wall sebagai solusi pantai-pantai utara Jawa Tengah. Sebab, seperti di Pekalongan, banjir rob memberikan dampak luas ke permukiman. “Banjir rob di Semarang juga harus ditangani secara khusus karena ini ibu kota provinsi, ini prioritas kami ke depan,” kata Sudirman.
Sudirman mengatakan menyelesaikan banjir rob harus dengan koordinasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah dan masyarakat. Sayangnya, ia tak menyinggung masalah-masalah lain yang berkelindan di kawasan Semarang Utara tersebut. Misalnya, soal nelayan kecil dan petambak di Tambak Rejo yang terancam kehilangan pendapatan akibat proyek normalisasi Kali Banjir Kanal Timur—yang notabene ditangani oleh pemerintah pusat (Kementerian PUPR).
Jawaban Sudirman dengan gampang dipatahkan Ganjar. Sebagai petahana ia mengklaim bahwa solusi yang ditawarkan Sudirman sudah ia lakukan. Lantaran itu lah, untuk kasus di Pekalongan, Ganjar dengan yakin menyampaikan bahwa pembangunan tanggul sudah berjalan. “Yang ada di Pekalongan, yang menyaksikan perdebatan ini, bantu kami mempercepat akses bisa masuk materialnya, bantu kami mempercepat pembebasan lahannya karena pemerintah sudah siap dalam tiga segmen,” pungkasnya.
Editor: Muhammad Akbar Wijaya