Menuju konten utama

Bisnis Tambang Merebak Seiring Pilkada Serentak

Jaringan Advokasi Tambang mengatakan pada momen Pilkada biasanya izin usaha pertambangan diobral oleh Pemda demi memperoleh dana segar untuk kampanye. 

Bisnis Tambang Merebak Seiring Pilkada Serentak
Truk membawa batubara di area pertambangan PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan, Selasa (17/10/2017). ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo

tirto.id - Laporan Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015 (PDF) menyebutkan ongkos menjadi wali kota atau bupati mencapai Rp20-30 miliar, sementara untuk gubernur Rp20-100 miliar. Di satu sisi, masih menurut sumber yang sama, di tahun tersebut harta kekayaan calon kepala daerah rata-rata hanya Rp6,7 miliar.

Adanya jurang yang lebar antara ongkos dan jumlah kekayaan membuat siapa pun yang hendak mencalonkan diri bakal berpikir keras untuk mendapatkan uang. Memang tak mesti semua dana datang dari kocek pribadi. Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Dana Kampanye memungkinkan sumber dana dari tempat lain, yaitu partai atau koalisi pengusung serta sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain (Pasal 4 ayat 1). Pihak lain yang dimaksud, salah satunya, bisa dari perusahaan swasta.

Di sinilah potensi masalah konflik kepentingan bisa terjadi. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah, yang kerap terjadi adalah perusahaan-perusahaan ini, terutama tambang, bakal menawarkan pasangan calon sejumlah dana. Sebagai timbal baliknya, jika nanti berkuasa mereka yang telah dimodali itu diminta untuk mempermudah perizinan usaha. Jatam menyebut fenomena ini sebagai "ijon politik".

"Memangnya Bawaslu [Badan Pengawas Pemilu] menyebutkan dari mana sumber dana peserta Pilkada? Biasanya hanya disebut 'perusahaan swasta', tapi apa perusahaannya? Bisa jadi itu dari tambang dan dipakai untuk deal politik perusahaan dengan pemenang Pilkada," katanya kepada Tirto, Minggu (1/4).

Obral izin tambang juga pernah disinggung Wakil Presiden Jusuf Kalla. "Mau Pilkada biasanya izin-izin tambang bertebaran," katanya, 30 November tahun lalu.

Apa yang dikatakan Merah berdasarkan data yang mereka himpun, bertambahnya izin tambang yang dikeluarkan pemerintah daerah biasanya saat mendekati Pilkada, atau satu tahun setelahnya.

Di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur misalnya, pada 2010 atau tepat ketika kabupaten itu menyelenggarakan Pilkada, pemerintah daerah mengeluarkan 191 Izin Usaha Pertambangan (IUP) baru, padahal setahun sebelumnya hanya 93 IUP. Begitu juga di Kabupaten Beli, Nusa Tenggara Timur. Pada 2010 ada 54 IUP yang diterbitkan pemda, padahal pada 2009 hanya tujuh IUP.

"Ini juga terjadi di tempat lain seperti Musi Banyuasin [Sumatera Selatan], Bengkulu Tengah, Tebo [Jambi], dan Tanah Bambu [Kalimantan Selatan]," katanya.

Selain bagi pasangan calon, transaksi di bawah meja seperti ini juga dibutuhkan perusahaan tambang. Sebab, lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, izin tambang bagi perusahaan swasta dibatasi. Mereka harus bersaing dengan BUMN maupun BUMD yang relatif lebih diprioritaskan.

Dalam Pasal 30, disebutkan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dapat diolah lewat lelang pertama-tama kepada BUMN dan BUMD kalau terdapat lebih dari satu pihak yang berminat. Sementara swasta baru bisa ikut lelang ketika tak ada BUMN dan BUMD yang mau. Sementara Pasal 23, menyebut kalau swasta baru bisa ikut lelang jika luas wilayah tambang mencapai 500 hektare.

Dalam aturan itu pula disebutkan ada 16 wilayah tambang baru yang bakal dilelang pada bulan ini. Kebanyakan merupakan wilayah yang masa pengolahan oleh perusahaan sebelumnya sudah habis.

Merah menganggap, dengan semakin sempitnya peluang usaha seperti ini, perusahaan tambang swasta bakal semakin gencar melobi pemerintah daerah. Sebab kepala daerah ini, terutama gubernur, yang berwenang memberikan rekomendasi kepada Kementerian ESDM untuk memberikan izin melakukan lelang. Sementara jika sifatnya tidak lintas provinsi atau berskala nasional, Pemda yang berwenang memberikan izin.

Apa yang dikatakan Merah bukan isapan jempol belaka. Sudah ada buktinya lewat Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam. Nur Alam terbukti bersalah oleh majelis hakim karena menerima gratifikasi sebesar Rp40 miliar atas pemberian IUP kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

"Contoh saja Nur Alam. Dia ketahuan mengeluarkan izin sembarangan 'kan. Seperti itu caranya," tegasnya.

Pengawasan Konsesi Tambang untuk Politik

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan pengawasan ESDM untuk izin tambang sebetulnya sudah ketat. Namun, ia membenarkan bahwa instansinya hanya berwenang terhadap izin tambang lintas provinsi—termasuk 16 wilayah tambang baru. Bukan di wilayah tambang menengah-tengah yang hanya mencakup satu provinsi saja.

"Kewenangan Kementerian ESDM tidak sampai ke sana. Kami hanya lintas provinsi, itu kewenangan pemda," katanya kepada Tirto.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal dana kampanye memang masih menyisakan banyak celah. Meski sudah bekerja sama dengan Polri dan KPK, aliran dana yang bisa mengarah kepada gratifikasi cenderung sulit dideteksi.

Dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 74 ayat (5) tentang Pemilihan Kepala Daerah, disebutkan bahwa sumbangan dana kampanye dari perseorangan paling banyak Rp75 juta dan dari perusahaan swasta paling banyak Rp750 juta. Namun, aturan ini tetap bercelah, terutama soal transparansi.

Misalnya, bisa saja individu A atau perusahaan B memberi uang kepada calon, namun belum tentu uang tersebut betul-betul berasal dari mereka. Ini dimungkinkan sepanjang memenuhi syarat seperti menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

"Seharusnya, Bawaslu bisa mengecek apakah orang atau perusahaan tersebut memang berkapasitas memberikan uang sejumlah yang ia berikan," katanya.

Namun begitu, tetap sulit bagi Bawaslu untuk mencegah ijon politik seperti ini. Jika pemberian izin adalah balas jasa atas pemberian dana, dan dengan demikian masuk gratifikasi, maka itu bukan lagi kewenangan Bawaslu, melainkan KPK.

"Itu pun harus dibuktikan dengan benar. Kalau memang izinnya sesuai prosedur, tentu akan sulit membuktikan bahwa dukungan dana kampanye itu adalah gratifikasi," tutup Titi.

Baca juga artikel terkait PILKADA SERENTAK 2018 atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino