Menuju konten utama

Cegah Garong Sumber Daya Alam, Ribuan Izin Tambang Diblokir

Sebanyak 2.509 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara diblokir mulai akhir tahun ini. Apa konsekuensinya?

Cegah Garong Sumber Daya Alam, Ribuan Izin Tambang Diblokir
Aktivitas penambangan material galian C di area Perbukitan Rowosari, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, Jumat (7/7). ANTARA FOTO/Aji Styawan

tirto.id - Sektor perizinan pertambangan banyak menyisakan gunung persoalan. Izin yang tumpang tindih hingga kegiatan tambang ilegal jadi bagian kerumitan mengelola sektor ini.

Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan bahwa ada 2.509 Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik badan usaha yang statusnya masih Non-Clear and Clean (IUP Non-CnC), di KPK, Jakarta, 6 Desember lalu.

Dalam dunia pertambangan, IUP Non-CnC merujuk pada IUP yang perizinannya bermasalah, seperti wilayah tambang yang tumpang tindih dengan komoditas lain, baik jenisnya beda atau sama.

Status IUP Non-CnC juga dapat diberikan pada badan usaha yang dokumen pendukungnya tidak lengkap. Masalah ini lah yang tidak bisa diselesaikan 2.509 IUP tersebut.

Dari jumlah itu, IUP Non-CnC paling banyak berada di Kalimantan Selatan, sebanyak 343 IUP. Menyusul Jawa Barat sebanyak 289 IUP, dan Kalimantan Timur ada 244 IUP.

Pengumuman ini tertera dalam surat Nomor 2552/03/DJB/2017. Surat diedarkan ke beberapa instansi terkait, seperti Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bea Cukai, dan Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub.

Ribuan IUP Non-CnC tersebut kemudian diberi sanksi pemblokiran, bersamaan dengan berakhirnya proyek "penataan IUP nasional". Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, badan usaha pemegang IUP yang masih berstatus Non-CnC tidak akan mendapat layanan publik baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Contohnya dihentikan pelayanan ekspor impor untuk pemegang izin tambangan yang bermasalah oleh kementerian dan perdagangan, juga hingga izin pelayaran. Selama pemblokiran, IUP Non-CnC harus menyelesaikan kewajibannya seperti masalah pajak.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan bahwa tenggat proses pemblokiran oleh instansi terkait akan selesai pada 31 Desember nanti. Badan usaha pemegang IUP Non-CnC tidak bisa lagi berbuat apa-apa lagi karena sudah diberi kesempatan oleh pemerintah untuk menyelesaikan masalahnya, tapi ternyata tidak mampu melakukan perbaikan.

"IUP Non-Cnc sudah tidak bisa lagi jadi CnC. Sebab sudah diberi kesempatan setahun lebih tapi tidak juga selesai," kata Bambang kepada Tirto, Kamis (14/12/2017).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, skema kontrak atau perjanjian yang sudah dipegang badan usaha sebelumnya beralih menggunakan IUP. "Kuasa Pertambangan", demikian nama izin sebelum aturan ini terbit, diubah menjadi IUP.

IUP jadi instrumen hukum pemerintah pusat untuk menyelesaikan sengkarut tambang yang mulai muncul pasca reformasi, setelah izin tambang berada di tangan pemerintah kabupaten.

Dari rekapitulasi data per 3 Februari 2014, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara ESDM mendata ada 10.922 badan usaha yang memiliki IUP. Dari jumlah tersebut terdapat 6.042 IUP yang mendapat status CnC. Sementara sisanya digolongkan Non-CnC.

Sampai saat ini penataan IUP nasional sudah dilakukan 27 kali. Data terkini dalam database Dirjen Minerba, terdapat 9.074 IUP di seluruh Indonesia, terdiri dari 2.509 IUP Non-CnC dan 6.565 IUP CnC, dimana yang sudah habis masa berlakunya mencapai 3.078 IUP.

Data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) yang diterima Tirto, misalnya, menunjukkan bahwa ada 325 IUP yang luasnya mencapai 793.523 hektare juga termasuk hutan konservasi, dan 1.349 IUP yang menguasai izin tambang seluas lebih dari 3,7 juta hektare yang juga masuk ke hutan lindung. Sesuai aturan, hutan konservasi dan hutan lindung tidak bisa dieksplorasi untuk tambang.

Namun, begitu IUP Non-CnC bukan semata karena izin yang tidak beres. Ada juga kerugian negara di dalamnya. Pemegang IUP ini ternyata juga tidak menjalankan kewajibannya. Hingga September 2017, tunggakan pemegang IUP kepada negara mencapai Rp3,83 triliun. Uang ini seharusnya masuk ke kas negara pada pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Selain IUP Non-CnC, terdapat pula 3.078 IUP CnC yang sama-sama habis masa berlakunya pada 20 November lalu. IUP mereka juga diblokir. Dalam proses pemblokiran, mereka tidak diperbolehkan melakukan kegiatan ekspor mineral atau transaksi lain. Aktivitas umum lainnya juga dilarang, seperti Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

IUP CnC ini bukan tanpa masalah dan hanya perlu mengajukan perpanjangan. Mereka juga menunggak PNBP. Ditambah dengan tunggakan PNBP IUP Non CnC, jumlahnya mencapai Rp4,3 triliun, terdiri dari tagihan tunggakan Rp3,8 triliun yang terjadi di bawah 2015, dan sisanya sampai akhir tahin ini.

Bambang menjelaskan, beda dengan IUP Non-CnC yang sudah pasti akan diblokir, IUP CnC masih bisa diproses sesuai dengan masalah yang dihadapi. "IUP CnCnya masalahnya apa dulu? Tidak bayar royalti misalnya. Itu yang harus diselesaikan," katanya.

Per 1 Januari 2018 hingga seterusnya, pemerintah juga akan memberikan keringanan bagi IUP CnC yang masih berniat membayar tunggakan dengan mencicil.

Merah Johansyah, Koordinator Jatam, mengatakan bahwa pemblokiran IUP bermasalah juga harus diikuti dengan pengumuman daftar nama-nama IUP tersebut ke masyarakat, mulai dari nama perusahaan, nama pemilik, jenis komoditas hasil ekstraksi, luas lahan, hingga total tunggakan kewajiban.

"Pemblokiran juga harus melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Perbankan agar ikut memblokir transaksi perusahaan bermasalah tersebut," kata Merah.

Penertiban IUP dengan tajuk "Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GN-PSDA)" ini dimulai pada Februari 2014 lalu, diinisiasi oleh Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Mineral dan Batu Bara (Minerba) KPK dengan menggandeng 34 Kementerian/Lembaga, dan berakhir 31 Desember 2017.

Awalnya program ini menyasar 12 provinsi, yaitu Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara. Hingga saat ini, ruang lingkupnya diperluas Sektor Kehutanan dan Perkebunan di 24 provinsi serta Sektor Kelautan di 34 provinsi.

Salah satu tujuan utama dari program nasional ini adalah "pengoptimalan penerimaan negara". KPK juga menilai ada banyak masalah dan penyimpangan dalam tata kelola pertambangan. Misalnya, IUP keluar padahal badan usahanya belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Contoh lain misalnya Analisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang ternyata fiktif.

"Motivasi utama gerakan ini adalah karena lemahnya koordinasi dan pengawasan terhadap usaha tambang," kata Ketua Tim Korsup KPK, Dian Patria, kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait TAMBANG atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Rio Apinino
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra