tirto.id - Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memperingatkan agar pembentukkan holding pertambangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak semata bertujuan untuk melakukan divestasi saham 51 persen terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI). Jika demikian, akan berbahaya.
Faisal mengatakan bahwa tujuan utama dibentuknya holding adalah untuk menyehatkan perusahaan BUMN dan untuk memenuhi kewajiban BUMN sebagai agent of development. Sehingga, fokus dalam membantu pemerintah menyelesaikan program-program pembangunan.
“Kalau semata untuk divestasi Freeport, ini kan enggak murni lagi. Artinya ada tujuan lain untuk holding, yaitu divestasi Freeport. Holding dilakukan khusus untuk itu, itu bisa berbahaya,” ujar Faisal kepada Tirto, Rabu (29/11/2017).
Ia menambahkan kemampuan divestasi dapat dilakukan setelah hasil dari penguatan struktur korporasi dan kewajiban sebagai agent of development terpenuhi. Namun jika semata untuk melakukan divestasi, Faisal mengatakan lebih baik melakukan revaluasi, ketimbang melakukan holding BUMN pertambangan.
Menurut dia, revalusi tersebut dapat menambah nilai aset BUMN secara luar biasa. Namun, untuk mendapatkan nilai tambahan tersebut diperlukan penghitungan menyeluruh sesuai aset yang ada.
“Aset BUMN kan ada banyak, umurnya ada yang puluhan tahun dari zaman Soekarno, tapi nilai aset itu kan masih pakai nilai yang lama. Sebetulnya kalau dilakukan revaluasi dengan menggunakan nilai yang sekarang bisa bertambah luar biasa,” jelasnya.
Ia menambahkan, langkah pertama holding BUMN pertambangan yang akan disahkan secara final pada Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) hari ini, seharusnya adalah penyehatan korporasi dan pengaturan menajemen kerja dari keempat perusahaan plat merah, baik PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) (Persero) sebagai induk holding, PT AnekaTambang (Antam) (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk.
Tujuannya, kata dia, untuk tercapainya sinergi, efisiensi dan meningkatkan kerja BUMN sektor pertambangan sebagaimana mestinya. “Yang tadinya kinerjanya buruk, setelah holding menjadi baik. Yang merugi, setelah holding menjadi untung. Kalau itu dijalankan dan kalau ada manfaat dari sisi finansial, lalu dipakai untuk divestasi bisa aja,” ungkapnya.
Menurut Faisal, berdasarkan pengalaman holding BUMN di PT Perkebunan Nusantara (PTPN), yang dapat mencetak laba Rp367 miliar, justru mengalami kerugian. Kemudian kesalahan manajemen juga terjadi di holding BUMN, terutama pada sektor pupuk yang induknya adalah PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri).
“Karena Pusri ini pemain operasional dan tidak berubah ketika holding, jadilah terjadi conflict of interest (konflik kepentingan). Itu jangan sampai terjadi kembali,” ujarnya.
Menurut Faisal, idealnya induk holding BUMN harus melakukan sinergi dengan anggota BUMN di bawahnya tanpa turun tangan melakukan operasional juga.
Kemudian, ia juga menilai berbahaya langkah yang menggabungkan BUMN dengan status korporasi yang heterogen, yaitu sehat dan tidak sehat. Lantaran, perusahaan yang sehat bisa berperan untuk mensubsidi perusahaan BUMN yang tidak sehat. Akibatnya, kinerja perusahaan yang semula sehat tersebut ikut menurun.
“Ini jangan sampai terjadi. Sebelum holding pastikan BUMN-BUMN itu sehat. Kalau dicampur enggak bagus holdingnya. Nanti yang ada malah mensubsidi saja perusahaan BUMN yang tidak bisa survive,” ucapnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan pembentukan Holding BUMN khususnya sektor industri pertambangan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas usaha dan pendanaan, pengelolaan sumber daya alam mineral dan batu bara, peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi dan meningkatkan kandungan lokal, serta efisiensi biaya dari sinergi yang dilakukan.
Tujuan awalnya adalah mengoptimalkan hilirisasi. Rini tidak memungkiri jika holding BUMN bertujuan untuk memuluskan divestasi PT Freeport Indonesia. “Jadi, mengembangkan produk-produk akhir dari hasil tambang, seperti, aluminium. Jadi, lebih kepada produk-produk akhir, itu yang kita dorong. Terus terang selain itu, final negosiasi mengenai (divestasi 51 persen) Freeport Indonesia,” ungkapnya.
Saat ini divestasi BUMN terhadap PT Freeport Indonesia (PTFI) sedang dalam proses. Dan hingga saat ini masih mendiskusikan harga divestasi sebesar 51 persen. Namun, Kementerian BUMN optimistis pihaknya mampu mengakuisisi dengan adanya holding pertambangan itu.
“Mampu. Untuk satu proyek refinery Pertamina saja nilainya 14 miliar dolar AS, padahal beli Freeport berapa? Enggak ada setengahnya. Jadi, jangan anggap enteng BUMN dong,” jelas Rini.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto