tirto.id - Puluhan warga dari Desa Kanci Kulon, sekitar 11 kilometer dari Kota Cirebon, mengeluhkan perubahan ruang hidup mereka semakin terkikis akibat dampak langsung beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cirebon 1 sejak 2012. Warga setempat, mayoritas nelayan dan petani, semakin sulit bertumpu pada mata pencaharian lama mereka, yang pelan-pelan tergerus oleh proyek-proyek pembangunan besar di Kecamatan Astanajapura tersebut.
Berkapasitas 660 megawatt, buangan air panas dari tungku PLTU ke laut lepas membuat hasil tangkapan laut para nelayan menurun drastis.
Duduk di serambi rumah yang sempit, Casmina mengenang masa lalunya sebelum PLTU datang. Janda beranak sembilan dengan 11 cucu ini biasa mencari kerang di sepanjang pantai Kanci.
Setiap hari, ia bisa mengumpulkan dua ember kerang dan menjualnya seharga Rp50.000. Bahkan, saat musim kerang, ia dapat mengantongi Rp100 ribu per hari. Dari berjualan kerang, ia bisa membeli kebutuhan dapur dan memberi uang jajan untuk cucu-cucunya.
“Sekarang sudah tidak bisa cari kerang lagi. Sudah tidak ada,” kata Casmina.
Casmina, yang berumur 60 tahun, tak bisa mengandalkan pekerjaan baru meski pabrik-pabrik baru bermunculan di daerahnya. Setelah suaminya meninggal tahun lalu, ia terpaksa menggantungkan hidup pada anak-anaknya.
“Saya kecewa tidak ada kompensasi dari perusahaan (Cirebon Power) untuk orang tua seperti saya yang kehilangan sumber penghasilan,” ujarnya, dikelilingi cucu-cucunya yang masih kecil.
Kisah Casmina serupa dengan cerita tetangganya. Kasneri, berumur 67 tahun, setiap dua kali setahun bekerja sebagai buruh panen padi. Ia bekerja selama 40 hari saban musim panen. Untuk pekerjaan ini ia dibayar Rp40 ribu per hari. Namun, perempuan berperawakan ramping ini merasa kehidupannya lebih sejahtera sebelum kehadiran PLTU.
“Saya dulu mencari rebon (udang kecil) untuk dibuat terasi. Sehari bisa jual sekitar 50 terasi. Satu terasi harganya Rp4.000,” kenang Kasneri.
PLTU menghalangi akses Kasneri ke pantai, dan pernah berjalan lebih jauh, untuk mendapatkan rebon. Namun, rebon semakin sulit diperoleh. Menurutnya, rebon tak bisa hidup lantaran buangan air panas dari PLTU. Akhirnya, lima tahun belakangan ini ia sudah berhenti mencari rebon dan membuat terasi.
Baru beberapa bulan ini Kasneri dan Casmina berusaha mencari kerang ke pantai di Kota Cirebon. Kadang mereka baru pulang lewat tengah malam demi mengumpulkan kerang-kerang itu.
Suami Kasneri juga tak lagi melaut karena makin sulit mendapatkan ikan. Beruntung, saat hasil tangkapannya masih banyak, Kasneri dan suami cukup rajin menabung. Hasilnya dibelikan kerbau, yang kadang disewakan ke petani untuk menggarap sawah. Hingga Maret lalu, keluarga ini masih memiliki tujuh ekor kerbau. Lantaran jadi nelayan tak lagi menjanjikan, suami Kasneri sehari-hari kini menggembalakan kerbau.
“Kalau dijual, lumayan, bisa laku Rp10 jutaan per ekor,” ujar Kasneri.
Seperti halnya suami Kasneri, Dusmad juga mengeluhkan problem serupa. Semula Dusmad punya perahu dan sejumlah pekerja yang membantunya. Lambat laun aktivitas ini berhenti sama sekali. Kadang-kadang saja ia bekerja sebagai buruh musiman. Selebihnya ia menggantungkan hidup pada anak-anaknya.
“Kalau dikasih makan, ya makan. Kalau enggak, ya enggak makan,” kata Dusmad.
Selain penghasilan dari ikan yang turun drastis, Dusmad kehilangan sumber penghasilan dari ladang garam. Dulu ia bisa mendapatkan antara Rp10 juta-Rp 20 juta tiap musim panen garam.
Akhirnya, beberapa bulan terakhir, dibantu seorang pekerja, Dusmad memutuskan untuk kembali melaut meski harus membawa perahunya lebih jauh di sekitar perairan Kota Cirebon. Itu pun hasilnya tak seberapa. “Dulu, satu perahu bisa dapat satu kuintal. Sejak ada PLTU, sekarang semalaman mungkin cuma dapat lima kilo,” terang Dusmad.
Dusmad bukan satu-satunya petani garam yang kehilangan ladangnya. Beratus hektare ladang garam lenyap dan berubah fungsi untuk areal PLTU.
Wahyu Widianto, aktivis lingkungan, memperkirakan kehadiran PLTU 1 melenyapkan sekitar 60 hektare ladang garam, PLTU 2 sekitar 200 hektare, dan PLTU 3 (Tanjung Jati A) mencaplok sekitar 251 hektare tambak garam.
“Dulu saya punya 10 petak, kurang lebih 1 hektare, di dekat laut. Diuruk PLTU,” ujar Rasiman, petani garam di Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, sekitar 5 kilometer dari Desa Kanci Kulon, Kabupaten Cirebon.
Sejak dua tahun lalu Rasiman hanya menggarap enam petak ladang garam yang lebih kecil. Lokasinya pun lebih jauh dari laut sehingga ia harus membuat parit lebih panjang untuk mengalirkan air dari laut ke areal tambak. Hasil panenannya turun drastis. Dulu ia bisa menghasilkan 50 ton garam. “Sekarang turun jadi 25 ton,” katanya, Agustus lalu.
Belum lagi ia mesti kehilangan hasil sampingan. Ketika tambaknya masih di pinggir laut, saat tak musim garam, ia biasa memelihara bandeng atau mujair. Udang kecil pun kerap menghampiri empangnya. Sekali panen Rasiman bisa mendapatkan satu kuintal ikan mujair, yang bisa laku Rp10.000 per kilogram. Ia juga bisa mengumpulkan 1 kg-2 kg udang belang setiap malam yang mengalir ke empangnya.
“Lumayan untuk tambahan penghasilan,” kata Rasiman.
Sekarang Rasiman tidak bisa lagi menebar benih ikan di empang yang ia garap. Ia mendengar lahan itu telah dibeli sebuah perusahaan besar dari Jakarta. Perusahaan ini akan menyulapnya menjadi kawasan perumahan elite, seiring proses konstruksi PLTU Cirebon 2. “Sekarang belum diuruk, tapi sudah tidak boleh diisi ikan,” katanya.
Damina juga harus menggeser tempatnya memproduksi garam akibat lahan-lahan tepi laut yang ditimbun untuk PLTU Cirebon 2. Akibat lokasi yang lebih jauh dari laut, kualitas produksi garam pun menurun.
“Airnya agak merah. Kalau dekat laut, (garamnya) bisa putih,” ujar perempuan dengan dua cucu ini.
Padahal kualitas garam memengaruhi harga jual. Pada pertengahan Agustus lalu, harga garam yang warnanya lebih putih bisa berkisar Rp1.500 per kg. Sementara yang agak kekuningan, harganya hanya Rp1.000 per kg.
Memang, sebagai petani garam, penghasilan sangat tidak menentu. Saat panen besar, harganya bisa anjlok sampai hanya 500 atau 250 perak. Sebaliknya, saat curah hujan masih tinggi seperti awal Agustus lalu, harga garam sempat mencapai Rp3.000 per kg. Namun, kurang dari dua pekan, harganya sudah merosot ke kisaran Rp1.000-Rp1.300 per kg. Kemudian terus merosot hingga petani tak lagi menjual garam produksinya.
“Karena ada garam impor,” keluh Damina.
Meski demikian, menjadi petani garam, seperti halnya menjadi nelayan, adalah satu-satunya keterampilan yang mereka miliki secara turun-temurun. Pendidikan mereka rata-rata rendah. Jadi, sulit bagi mereka untuk beralih ke pekerjaan lain.
Namun, jika memang tak bisa lagi menjadi petani garam, baik Dawina maupun Rasiman mungkin terpaksa bekerja di pabrik yang bermunculan di Cirebon, seperti Charoen Pokphand atau Indofood. “Katanya, buruh harian dapat Rp75.000,” kata Damina.
Cirebon, Kota Udang, mungkin hanya akan sebatas slogal. Cirebon mungkin juga tidak akan lagi dikenal sebagai produsen garam terbesar di Indonesia.
'Tanaman Padi Tumbuh Kerdil'
Kisah-kisah para nelayan dan petani di tepi pantai utara Jawa Barat ini—yang jauh dari pusat pemberitaan—adalah sekelumit dari narasi besar mengenai belasan proyek PLTU di Pulau Jawa dan Bali, serta puluhan proyek serupa di seluruh Indonesia. Proyek-proyek ini telah berjalan sejak 2010. Ia makin getol digiatkan di bawah rezim infrastruktur pemerintahan Joko Widodo yang mengenalkan program listrik 35.000 megawatt.
Program untuk “menerangi Nusantara” ini—demikian slogan yang dibangun oleh PLN—didominasi oleh PLTU berbahan baku utama batu bara, yang disebut sebagai energi kotor, dan mayoritas pembiayaannya bersumber dari kredit bank negara luar, termasuk dari Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
Para petani penggarap di Desa Mekarsari, Patrol—berjarak sekitar 111 kilometer dari Desa Kanci Kulon—yang sama-sama tinggal di dekat pantai utara Jawa Barat, juga tengah menghadapi rencana proyek PLTU Indramayu 2. Mereka gelisah bukan saja karena sawah-sawah tempat mereka bekerja bakal lenyap, tetapi juga lokasi PLTU terlalu dekat dengan permukiman.
“Hanya sekitar dua ratus meter dari masjid di ujung desa itu,” kata Dul Muin menunjukkan calon lokasi proyek.
Warga trauma atas kejadian-kejadian buruk dari PLTU Indramayu 1, dengan kapasitas 990 MW (3x330 MW), yang beroperasi sejak tahun 2010 dan dampaknya dirasakan tiga tahun kemudian itu. Rencana pemerintah, unit kedua kelak berkapasitas 2.000 MW (2x1.000 MW).
“Pembangunan PLTU 1 tidak ada sosialisasi, yang kedua juga tidak ada,” ujar Rodi, akhir September lalu.
Warga mendengar soal pembelian lahan menjelang akhir Desember 2016. Mereka menyesalkan pemilik tanah yang melepaskan lahan karena tergiur harga lebih tinggi ketimbang harga pasar. Padahal, ada sekitar 200 petani penggarap yang menggantungkan hidupnya pada sawah.
Kini, hampir setiap malam, selepas kerja di sawah dan mengerjakan urusan rumah tangga, para petani penggarap Mekarsari berkumpul. Mereka saling berbagi keresahan dan menjaga api semangat.
“Sejak ada PLTU, semakin sulit mengolah tanah. Dulu, satu bahu (sekitar 7.000 m2) bisa panen 5 ton-6 ton, sekarang cari 5 ton saja susah,” kata Sunardi.
Penyebabnya, tidak semua padi yang ditanam bisa tumbuh sehat dan menghasilkan bulir padi yang bagus. Menurut Taryani, di beberapa areal, tanaman padi tumbuh kerdil dan tak berbunga. Jika ditanami kembali, tumbuhnya tetap jelek.
Selain pusat penghasil beras, Indramayu juga dikenal pusat penghasil kelapa. Kelapa menjadi sumber penghasilan sampingan warga. Setiap malam, truk pedagang datang memborong kelapa. Satu buah dihargai Rp10.000.
“Di desa ini saja, dulu ada ribuan pohon kelapa. Sekarang habis, mati, tidak ada lagi. Yang belum mati pun tidak berbuah. Sekarang kita beli kelapa,” kata Sunardi.
Kendati belum ada penelitian khusus dari Dinas Pertanian, warga meyakini penurunan hasil panen padi dan kematian pohon kelapa bukan disebabkan oleh hama ataupun penyakit. “Kalau kelapa mati karena kumbang, di bawah pohon, kita akan lihat bubuk kayu. Dan, kalau malam, kumbang akan mendatangi lampu. Tapi, itu tidak ada,” kata Rodi.
Mitra, seorang warga setempat, mengatakan ia biasa setiap Desember hingga Mei mencari udang rebon di lepas pantai, tak jauh dari lokasi PLTU Indramayu 1. Sebelum ada PLTU, Mitra bisa menjaring satu hingga dua karung rebon setiap malam. Satu karung kurang lebih seberat 50 kg rebon. “Sekarang jangankan satu karung, setengah karung saja enggak dapat,” keluh dia.
Sebenarnya, warga Mekarsari merasa lebih beruntung ketimbang beberapa desa lain yang merasakan dampak lebih buruk, seperti Desa Tegal Taman atau Ujung Gebang. “Karena musim angin timur, angin kencang ke sana,” kata Rodi.
Bukan hanya masalah hasil pertanian dan laut yang menurun, di Desa Tegal Taman muncul puluhan kasus anak balita yang menderita penyakit paru-paru. “Sekitar tiga tahun lalu, anak saya kena flex (paru-paru). Sekarang sudah membaik,” kata Hetty, warga Tegal Taman.
Sayang, Puskesmas setempat tak memiliki data valid tentang kasus penyakit paru-paru pada anak. Sebab, ketiadaan obat dan fasilitas di Puskesmas memaksa para orangtua memeriksakan anak-anak mereka ke beberapa dokter spesialis yang berbeda dan praktik jauh dari desa. Karena itu, sulit untuk memastikan bahwa batubara menjadi penyebab kasus ini.
“Tapi, sebelum ada PLTU, tidak pernah ada anak sakit begini,” ujar Lasmina, seorang ibu muda yang mengalami kasus serupa.
Tak Sepenuhnya Bersih
Clean Coal—demikianlah jargon yang disematkan pada teknologi PLTU termutakhir. Pembakaran yang lebih efisien memang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) lebih rendah. Secara teori, bila persentase tingkat efisiensi naik satu poin, emisi CO2 yang dihasilkan bakal lebih rendah 2%-3% ketimbang PLTU konvensional. Namun, saat ini, teknologi PLTU terbaik pun baru memiliki tingkat efisiensi sedikit di atas 40%.
Menurut data World Coal, secara rata-rata, tingkat efisiensi PLTU di seluruh dunia saat ini baru 33%. Jika berhasil mengereknya ke level 40%, emisi CO2 bisa dipangkas sebanyak 20 gigaton. Dari sini, jelaslah bahwa clean coal bukan berarti tanpa ada emisi yang memicu efek rumah kaca.
Pada awal November lalu, bertempat di Bonn, Jerman, ribuan orang menggelar protes saat Konferensi Iklim PBB, atau Conference of the Parties ke-23 (COP23). Mereka menuntut para delegasi dari 179 negara punya iktikad lebih serius untuk mengatasi pemanasan global. Salah satunya dengan menyetop pemakaian batu bara sebagai sumber energi, yang ditengarai sebagai pemicu utama perubahan iklim di muka bumi.
“Kami bersatu menentang penambangan dan pembakaran batu bara,” kata Kris Vanslambrouck, salah satu peserta aksi, lewat sambungan telepon kepada Tirto.
Kenyataannya, dunia masih sangat tergantung pada batu bara sebagai sumber energi. Di Eropa, seperlima emisi CO2 berasal dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Dari emisi tersebut, Jerman dan Polandia menyumbang setengahnya. Terlepas dari upaya Jerman beralih dari batu bara, negara ini masih mengoperasikan 77 PLTU, terbanyak di antara negara-negara Eropa. Sisi ironisnya, hanya sekitar 50 km dari pusat lokasi konferensi, terdapat tambang batu bara penghasil emisi CO2 terbesar di Eropa.
Sementara para delegasi membahas soal pemangkasan emisi CO2, rencana pembangunan PLTU pun terus berjalan. Efek yang dirasakan oleh warga Cirebon dan Indramayu tak bisa menunggu.
Rasiman, petani garam dari Kecamatan Mundu, tetap harus bekerja ekstra selepas proyek PLTU mengikis pelan-pelan mata pencahariannya. Ia adalah tulang punggung keluarga.
“Anak saya ada tujuh, empat masih tinggal dengan saya,” katanya.
Sementara para pemimpin dunia membicarakan efek pemanasan global dan masa depan dunia, tidak ada yang bertanya kepada penduduk yang telah merasakan efek dari pembakaran batu bara, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain.
“Saya enggak suka ada PLTU. Kalau disuruh memilih, saya pilih jadi petani garam,” kata Rasiman.
“Saya hanya ingin jadi petani,” tutur Taniman, yang setia merawat sawahnya di Indramayu.
Penulis: Asih Kirana Wardani
Editor: Fahri Salam