tirto.id - Sudah sejak jam 7 pagi, para petani berkumpul di areal persawahan di dekat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Indramayu 1. Mayoritas adalah petani penggarap dari Desa Mekarsari, Patrol, Indramayu. “Kami berkumpul untuk sosialisasi kenapa kita menolak PLTU 2,” kata seorang petani.
Hari itu bertepatan dengan Hari Tani, 24 September 2017. Ratusan petani duduk membentuk setengah lingkaran di sebuah jalan baru yang dibangun untuk akses ke calon lokasi PLTU Indramayu 2. Bergantian, beberapa petani maju di tengah kerumunan dan menyatakan pendapat. Intinya, mereka tidak rela sawah garapan mereka diambil menjadi areal PLTU Indramayu 2.
“Kalau mau dipakai untuk rumah sakit, silakan. Untuk sekolah, silakan. Saya tidak menghalangi pembangunan. Tapi tidak untuk PLTU,” ujar Dawina, 47 tahun, di bawah terik matahari.
Menurut para petani, kehadiran PLTU 1 telah membuat hasil panen mereka merosot. Selain itu, ada dampak penyakit pernapasan dan penurunan hasil tangkapan laut. “Yang di sini (dekat PLTU) masih bagus, karena sedang musim angin timur. Debu tidak banyak jatuh di sini. Tapi di daerah lain yang kena debu, ada yang gagal panen,” cerita salah seorang petani.
Tak hanya petani, di lokasi juga tampak seorang personel Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat ditemani seorang petugas berkemeja putih. Ia meminta petani memperlihatkan daftar hadir, kemudian memotretnya. Tak lama kemudian, beberapa petugas kepolisian bersenjata lengkap mendatangi lokasi. Mereka mengawasi aksi para petani hingga selesai.
Para petani bercerita, polisi memang tampak lebih waspada setelah mereka mengajukan gugatan atas izin lingkungan PLTU Indramayu 2 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Juli lalu. Para petani penggarap memutuskan untuk menggugat izin lingkungan untuk pembangunan PLTU 2 setelah mengetahui lokasinya sangat dekat dengan desa mereka. “Hanya 200 meter dari desa kami,” kata Dul Muin sambil menunjukkan batas lokasi PLTU Indramayu 2 dan batas Desa Mekarsari.
Saat berkumpul dengan para petani penggarap, Rodi menambahkan, ada beberapa alasan kenapa mereka menolak kehadiran PLTU. “Pertama, merampas ruang hidup kita. Padahal, ini tanah produktif semua. Kedua, menghilangkan lapangan kerja, terutama untuk kaum ibu. Kalau bertani, kita biasa kerja sama-sama. Kalau ada PLTU, kaum ibu akan kerja apa?”
Ketiga, PLTU akan membuat wilayah Desa Mekarsari nyaris habis. Dari total wilayah Mekarsari seluas 300 hektare, lebih dari 200 ha akan diambil oleh PLTU. Kelak, akan tersisa tempat permukiman saja.
“Perusahaan, PLN, tawarkan bantuan pupuk ke petani. Baru janji-janji saja, tapi tidak masuk di akal. Lahan habis, mau bertani di mana? Nelayannya ditawari jaring, sementara lautnya dipakai. Ditawari bebek, kambing, ada yang tertarik. Ada beberapa yang mau, diminta tanda tangan setuju ada PLTU. Padahal, baru janji. Tapi kalau nanti sawahnya habis, bebek dan kambing mau nyari makannya di mana?” ujar Rodi.
Belum lagi, sambung Rodi, masalah kesehatan yang mungkin timbul bila PLTU telah beroperasi. Ia emoh desanya mengalami nasib serupa dengan Desa Tegal Taman dan Ujung Gebang, yang merasakan dampak terparah dari PLTU Indramayu 1. Dari data yang dihimpun oleh Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat, tak kurang 25 anak menderita flek paru-paru.
Dengan alasan-alasan tersebut, akhirnya para petani penggarap sepakat untuk menggugat izin lingkungan PLTU Indramayu 2. Apalagi, menurut warga, tidak pernah ada sosialisasi ke warga untuk pembangunan PLTU 1 maupun PLTU 2. Dawina, Taniman, dan Warso dipilih menjadi wakil mereka. Lembaga Bantuan Hukum Bandung menjadi kuasa hukum mereka.
PLTU Indramayu 2 Harus Disetop
“AMDAL sudah sedemikian rupa mengantisipasi dampak lingkungan. Salah satunya dengan piranti atau alat yang disebut FGD (flue-gas desulfurization). Alat ini sangat mahal, Pak. Bisa mencapai kurang lebih 10% dari biaya investasi. Karena itu, tidak semua PLTU pakai ini. Tapi PLTU (Indaramayu) 2 pakai ini. Saya kaget, karena termasuk mewah. Karena ini bisa mengurangi banyak sekali SOx (sulfur oksida),” kata M. Taufik Affik di hadapan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung, 8 November lalu.
Taufik adalah seorang pakar lingkungan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Institut Teknologi Bandung, yang menjadi saksi untuk PLN, sebagai tergugat dalam gugatan izin lingkungan untuk PLTU Indramayu 2. Ia menjadi saksi ahli bersama Sudaryanti Cahyaningsih, pengajar dari Institut Teknologi Nasional, Bandung, yang juga pernah terlibat dalam penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) untuk PLTU Indramayu 1.
Kepada majelis hakim, Taufik menambahkan, PLTU Indramayu 2 juga akan dilengkapi "dua peralatan canggih" lain untuk menekan emisi, yakni DSP-CFT (dry solids pump coal feed technology) dan ESP (electrostatic precipitator). Dengan narasi ini, Taufik ingin mengatakan PLTU Indramayu 2 memiliki spesifikasi di atas kebanyakan PLTU di tanah air.
Saat dihadapkan pada keluhan nelayan bahwa mereka semakin sulit mencari ikan dan rebon sejak kehadiran PLTU Indramayu 1, Taufik menyatakan penurunan hasil tangkapan laut sudah terjadi bahkan sejak sebelum PLTU berdiri. Dengan demikian, PLTU belum tentu menjadi penyebab dari kemerosotan hasil tangkapan laut yang dialami para nelayan Indramayu.
Namun, setelah didesak majelis hakim, pada akhir kesaksiannya, Taufikmengakui memang belum ada penelitian yang independen dan komprehensif di Indonesia mengenai dampak PLTU terhadap lingkungan di sekitarnya.
Setelah mendengarkan keterangan kedua saksi dan memberi kesempatan kuasa hukum dari kedua belah pihak untuk bertanya, sidang akhirnya ditutup sekitar pukul 16.00. Hakim memberi kesempatan selama dua minggu kepada kuasa hukum kedua pihak untuk menyampaikan kesimpulan tertulis.
Hari itu adalah sidang ke-13 kasus gugatan warga Mekarsari melawan Bupati Indramayu melalui Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Indramayu sebagai penerbit izin dan PLN sebagai tergugat terintervensi.
“AMDAL PLTU Indramayu 2 bermasalah. Ada cacat substantif,” ujar Lasma Natalia, kuasa hukum para petani penggarap Mekarsari.
Pertama, izin tersebut diterbitkan oleh bupati. Padahal, apabila kegiatan usaha melibatkan laut, izinnya harus berasal dari gubernur. Selain itu, penerbitan izin tidak melalui surat keputusan dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Kedua, ada cacat prosedural karena pembuatan AMDAL tidak ada proses konsultasi dengan masyarakat terdampak. Memang, para petani yang dia wakili tidak memiliki lahan. Namun, para buruh tani ini menggantungkan penghidupannya pada sawah yang kelak menjadi fasilitas PLTU. "Jadi, seharusnya mereka pun diajak bicara," katanya.
Kenyataannya, AMDAL sudah terbit pada 2010, warga baru mengetahui pada 2017. Itu pun setelah melalui proses permohonan informasi kepada badan modal dan izin Indramayu. Dengan latar belakang seperti ini, Lasma berharap, PTUN akan memerintahkan pencabutan izin untuk pembangunan PLTU Indramayu 2.
Harapan Lasma dan ratusan buruh tani Desa Mekarsari terkabul. Rabu, 6 Desember lalu, PTUN Bandung akhirnya memenangkan gugatan warga. Konsekuensinya, pembangunan PLTU Indramayu 2 mesti disetop.
Menggugat PLTU 2 Cirebon
Jauh sebelumnya, nelayan dan petani garam di Desa Kanci Kulon, Cirebon, sempat mencicipi manisnya kemenangan. Setelah melalui 16 kali persidangan yang menguras emosi, pada 19 April 2017, PTUN Bandung memenangkan gugatan mereka. Pengadilan memerintahkan agar izin lingkungan untuk PLTU Cirebon 2 dicabut.
Kemenangan tersebut seperti oase bagi warga Kanci yang telah menolak kehadiran PLTU sejak kabar pembangunannya terdengar pada 2007. Mereka telah menggelar protes berkali-kali. “Waktu itu, tiap kali demo, bisa ratusan orang,” kata M. Aan Anwaruddin, Ketua Rakyat Pembela Lingkungan (RAPEL) Cirebon.
Namun, mental mereka sempat runtuh karena terekam dalam aksi pembakaran fasilitas umum. Menurut Aan, mereka seperti dijebak dalam situasi tersebut. Mereka memang tidak ditahan, tetapi ada peringatan. Bila mereka melakukan aksi besar lagi, rekaman akan dipakai untuk menahan mereka.
Aksi mereka pun meredup. Tak sedikit yang akhirnya menyerah, menerima kehadiran PLTU. Namun, hasil tangkapan laut yang jauh berkurang sejak kehadiran PLTU kembali menyulut kegelisahan masyarakat. Terutama, mereka yang sudah memasuki usia senja, yang kesulitan untuk mencari pekerjaan lain.
Akhirnya, dengan dukungan dan pendampingan dari beberapa organisasi nonpemerintah, warga Kanci Kulon sepakat menggugat rencana pembangunan PLTU Cirebon 2. Ada tujuh warga yang menjadi penggugat. Gugatan yang mereka layangkan ke PTUN Bandung pada Desember 2016 merupakan upaya hukum pertama menolak PLTU.
Ada dua persoalan utama yang menjadi alasan warga Kanci Kulon mengajukan gugatan. Pertama, lokasi PLTU Cirebon 2 melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon. Seharusnya, hanya Kecamatan Astanajapura yang diperuntukkan sebagai lokasi PLTU. Ternyata, AMDAL PLTU Cirebon 2 menyertakan wilayah Kecamatan Mundu.
Kedua, masyarakat menggugat proses AMDAL yang tidak melibatkan warga. Seperti halnya masyarakat Mekarsari, warga Kanci Kulon merasakan sumber penghidupan mereka menghilang sejak kehadiran PLTU Cirebon 1. Kualitas garam turun dan kian sulit mencari hasil laut, seperti ikan, udang, rebon, dan kerang.
Dengan dasar pelanggaran RTRW, PTUN Bandung akhirnya memerintahkan Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Provinsi Jawa Barat untuk mencabut izin lingkungan bagi PLTU Cirebon 2. Atas keputusan ini, BPMPT selaku tergugat menyatakan banding pada 21 April 2017.
Meski ada keberatan dari tim pendukung warga Kanci Kulon atas upaya banding tersebut, BPMPT terus melanjutkan proses banding. Pada 20 Juni 2017, BPMPT mengajukan dokumen pendukung banding. Berikutnya, pada 6 Juli, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di Jakarta mengeluarkan nomor registrasi untuk banding tersebut.
Sementara proses banding berjalan, ternyata ada hal lain yang sedang berjalan, yaitu upaya mencari izin baru. Pada 29 Mei 2017, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan surat rekomendasi bahwa pembangunan dan operasi PLTU Cirebon 2 sejalan dengan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2017. Dengan kata lain, bisa berlanjut meski tak sesuai RTRW daerah.
PP No. 13 Tahun 2017 sebenarnya baru terbit pada 12 April 2017 ketika proses hukum terhadap PLTU Cirebon 2 berlangsung. Dengan mengacu aturan baru ini, pada 17 Juli, Pemprov Jawa Barat menerbitkan izin lingkungan baru untuk PLTU Cirebon 2.
“Izin baru memakai dasar PP No. 13 Tahun 2017, bahwa selama proyek infrastruktur yang ditetapkan masuk ke dalam proyek strategis nasional, maka setiap RT/RW daerah harus mengikuti RTRW nasional,” ujar Heru Dewanto, Presiden Direktur PT Cirebon Energi Prasarana, pengembang PLTU Cirebon 2.
Hanya sehari setelah mengeluarkan izin baru tersebut, BPMPT Jawa Barat menandatangani surat yang menyatakan pihaknya menarik permohonan banding dan meminta PTUN Bandung memberitahukan hal ini kepada PTTUN di Jakarta dan penggugat. PTUN Bandung baru menerima surat ini pada 1 Agustus.
Akhirnya, PTTUN mengabulkan pencabutan banding tersebut pada 16 Agustus. Namun, pengadilan baru memberitahukan kepada penggugat lewat surat tertanggal 18 Agustus, yang diterima tim pendukung penggugat lima hari kemudian.
Berbekal izin baru tersebut, PLTU Cirebon 2 pun melanjutkan proses pencairan dana dari para kreditur. “Kan, AMDAL tidak ada masalah,” ujar Heru.
Lahan Warga Diambil Pelan-Pelan
Bagi masyarakat Kanci Kulon, proses penerbitan izin baru tersebut mengungkap kembali trauma puluhan tahun lalu. Sejak lama mereka adalah orang-orang yang melawan dan kalah. PLTU Cirebon 2, jika kelak berdiri dan beroperas, akan menjadi simbol kekalahan mereka kali kedua. Sebab, menurut cerita sejumlah warga, tanah yang menjadi lokasinya menyimpan cerita pahit tentang penjarahan tanah rakyat, beberapa dekade silam.
“Pada 1985-1986, tanah milik rakyat pernah dibebaskan secara paksa di bawah todongan senjata,” kenang seorang warga. Padahal, yang melakukan pembebasan tanah tersebut adalah perusahaan swasta bernama PT Marines. Tidak jelas siapa pemilik perusahaan ini.
Penduduk akhirnya melepaskan tanah mereka dengan harga murah. Untuk yang belum bersertifikat, tanah dihargai Rp125-Rp250 per meter persegi; dan yang sudah bersertifikat dihargai Rp350-Rp500 per meter persegi.
Sekitar 20 pemilik tanah belum bersedia menjual lahan karena tidak sepakat dengan harga. Baru kemudian, pada 1989, beredar kabar lahan tersebut akan digunakan untuk pusat pelabuhan kayu. Akhirnya, mereka sepakat menjual lahan dengan harga Rp700-Rp900 per meter persegi. Namun, kabarnya mereka tak kunjung menerima bayaran sampai sekarang. Toh, tanah tetap diambil.
Lahan-lahan ini rupanya terbengkalai. Warga sempat memanfaatkannya untuk ladang garam. Namun, pada 2007—menjelang rencana PLTU Cirebon 1—Perhutani muncul dan mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya. Dasarnya surat pelimpahan hak dari masyarakat ke Perhutani.
Mereka yang merasa belum pernah menerima pembayaran pernah meminta penyesuaian harga untuk tanah mereka. Bahkan, pada 2010, mereka sempat menggugat Kementerian Kehutanan. Tapi, setahun kemudian, suara warga terpecah, sehingga proses ini mentok.
Belakangan, pada 2015, ada papan nama yang mengklaim tanah tersebut milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Luasnya mencapai 195 hektare. Masyarakat tidak pernah tahu seperti apa status legalitas tanah ini. Yang jelas, Kementerian kemudian menyewakan lahan ini kepada PLTU Cirebon 2, dengan tenor 40 tahun.
Ratusan petani garam yang menggarap lahan itu sekarang sudah diminta untuk pergi. Sementara para nelayan hanya bisa melihat laut dari kejauhan. Itu pun terhalang tanggul yang dibangun PLTU.
Alhasil, setelah keluar perizinan baru pada Juli 2017 untuk proyek PLTU Cirebon 2, para nelayan dan tim kuasa pun geram. Mereka berniat menggugat kembali keabsahan izin baru tersebut.
“Kali ini WALHI akan ikut menggugat,” ujar Dwi Sawung dari WALHI.
Sawung mengatakan, ada cacat prosedural dalam penerbitan izin baru tersebut. Sebab, izin itu terbit saat proses hukum masih berlangsung. Izin lama masih dipersoalkan, izin baru keluar. Sudah begitu, penerbit kedua izin itu adalah lembaga yang sama.
“Kalau izin lama akhirnya dicabut untuk memenuhi perintah pengadilan, konsekuensinya, izin baru tersebut, berikut dokumen pendukungnya, harus dinyatakan tidak valid,” ujarnya.
Namun, tidak semua warga Kanci Kulon bersemangat untuk terus menggugat. Kekalahan demi kekalahan membuat mereka lelah. Beberapa upaya corporate social responsibility dari PT Cirebon Energi Prasarana pun memicu rasa curiga dan perpecahan. Misalnya, ada tudingan bahwa salah satu penggugat telah menerima jaring ikan dan sejumlah uang.
“Saya memang terima jaring ikan. Tapi saya tidak pakai. Untuk jaring apa? Tidak ada ikan,” ujar Surip, yang dengan pandangan matanya menunjuk ke arah bungkusan jaring ikan yang tergeletak di bawah meja televisi di rumahnya.
Keluhan keluarga dan tuntutan ekonomi pun membuatnya enggan untuk berkumpul dengan rekan-rekannya yang masih bersemangat menolak kehadiran PLTU. “Saya capek,” kata Surip, singkat.
Apakah kelelahan serupa bakal dialami warga Indramayu bila proses peradilan berlanjut? Dan apakah PP 13/2017 akan dipakai oleh pemerintahan Jokowi untuk memuluskan pembangunan PLTU Indramayu 2?
Untuk sementara waktu, warga Mekarsari merayakan kemenangan kecil.
Penulis: Asih Kirana Wardani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti