tirto.id - Organisasi non-pemerintah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut ada peningkatan jumlah konflik agraria di seluruh Indonesia sepanjang 2017. Ada 659 konflik yang mereka catat tahun ini, atau meningkat 50 persen ketimbang tahun sebelumnya.
Dengan demikian, rata-rata konflik agraria per harinya mencapai dua kasus.
"Di tahun 2017, KPA mencatat terjadi kenaikan konflik sebesar 50 persen dibandingkan 2016, dari 450 konflik ke 659 konflik dengan cakupan 520.491 hektare," katan Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Cikini, Jakarta, Rabu (27/12/2017).
Dalam dokumen Catatan Akhir Tahun 2017 KPA, dijelaskan bahwa yang dimaksud konflik agraria adalah "konflik yang diakibatkan oleh kebijakan atau putusan pejabat publik (pusat dan daerah), melibatkan banyak korban dan menimbulkan dampak yang meluas, yang mencakup dimensi sosial, ekonomi, dan politik." Kata "agraria" mengacu pada Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mendefinisikan agraria tidak hanya sebatas tanah/bumi, tapi juga air dan ruang angkasa.
Konflik agraria paling banyak terjadi di sektor perkebunan. Ada 208 kasus terjadi di sektor ini, atau berkontribusi sebesar 32 persen dari total konflik. Lebih spesifik, perkebunan sawit adalah tempat yang paling sering jadi lokasi konflik.
KPA mencatat, hal ini terjadi karena peningkatan luas perkebunan sawit tidak dibarengi dengan sistem pemberian izin lokasi, izin usaha, dan kajian dampak yang komprehensif. Per 2016, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 11,67 juta hektare, dimana 31 persennya dimiliki beberapa grup saja seperti Sinar Mas Group, Salim Group, dan Wilmar Group.
Sektor properti berada di posisi kedua, dengan jumlah konflik mencapai 199. Di sektor ini konflik tidak monolitik karena persoalan tanah. Di beberapa tempat, pembangunan properti dan apartemen misalnya, menimbulkan konflik perebutan sumber mata air antara warga dan pengembang.
Satu contoh adalah pembangunan hotel The Rayja Resort milik PT Panggon Perkasa Sukses Mandiri. Warga di sekitarnya, di Dusun Cangar, Bulukerto, menolak keberadaan hotel itu karena memonopoli sumber mata air Umbul Gemulo. Setidaknya ada 9.000 orang yang terkena dampak. Mereka mengalami kekurangan air bersih sejak pendirian hotel tersebut.
Sektor pertanian menempati posisi ketiga, dengan jumlah konflik mencapai 78.
Sisanya terdiri dari 30 konflik di sektor kehutanan, 28 konflik di pesisir dan kelautan, serta 22 konflik yang berkaitan dengan pertambangan. Jika diakumulasikan selama tiga tahun terakhir di era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, maka jumlah konflik mencapai 1.361.
Komposisi konflik sedikit berbeda jika dilihat dari luasan wilayah. Di peringkat pertama memang masih sektor perkebunan dengan luasan konflik mencapai 194.453 hektare. Namun di peringkat kedua bukan properti seperti pada jumlah kasus, melainkan sektor kehutanan. Di sektor ini konflik melibatkan tanah seluas 137.204 hektare.
Posisi ketiga ditempati sektor infrastruktur, dengan luasan konflik mencapai 52.607 hektare. Sektor pertambangan berada di posisi keempat, dengan luas 45.792 hektare. Di bawahnya, konflik di sektor pesisir atau lautan, pertanian, dan properti masing-masing mencakup lahan seluas 41.109 hektare, 38.986 hektare, dan 10.337 hektare.
KPA mencatat konflik-konflik ini terjadi menyeluruh, di semua provinsi Indonesia. Lima provinsi penyumbang konflik agraria terbesar adalah Jawa Timur (60 konflik), Sumatera Utara (59 konflik), Jawa Barat (55 konflik), Riau (47 konflik), dan Lampung (35 konflik). Kelima provinsi ini menyumbang 38,85 persen dari total 659 konflik agraria se-Indonesia tahun 2017.
KPA juga mencatat siapa saja yang saling berhadapan dalam konflik. Mereka menyebut konflik antara warga dan swasta yang paling mendominasi. Di posisi kedua ada 140 konflik yang melibatkan warga dan pemerintah, dan peringkat ketiga dengan 112 konflik terjadi antara warga dengan warga.
Untuk kasus terakhir, KPA mencatat konflik umumnya terjadi karena putusan ngawur yang tidak segera diperbaiki.
Konflik juga terjadi antara warga dengan aparat. Dalam hal ini dengan polisi (21 kasus) dan TNI (11 kasus). Konflik warga dengan TNI umumnya terjadi karena rencana pembangunan lapangan udara (Lanud) dan kompleks perumahan TNI yang tumpang tindih dengan tanah warga.
Bagi masyarakat, implikasi dari konflik ini beragam. Tertinggi adalah kriminalisasi (369 korban), menjadi korban penganiayaan (224 orang), tertembak (6 orang), bahkan hingga tewas (13 orang).
Komentar ATR/BPN dan Polri
Menanggapi temuan KPA ini, Kepala Biro Humas Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ATR/BPN Arwin Baso mengatakan bahwa temuan KPA bisa jadi benar karena pendaftaran tanah pun meningkat. "Semakin banyak tanah terdaftar, semakin banyak sengketa terdeteksi. Jadi harus dilihat pula peningkatan orang-orang yang mendaftarkan tanah ke BPN," katanya kepada Tirto.
Meski begitu, Arwin tidak bisa memberikan data pasti baik soal konflik ataupun soal pendaftaran tanah itu sendiri. "Saya tidak pegang data. Jadi tidak bisa memberikan data pembanding saat ini," katanya. "Tapi itu, bisa jadi bertambah karena pendaftarnya pun bertambah."
Sementara Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Mabes Polri, Brigjen Mohammad Iqbal, mengatakan bahwa laporan KPA harus didalami dulu. Apakah yang mereka maksud soal keterlibatan polisi masuk delik pidana atau sebatas "mengamankan" ketika terjadi konflik pecah.
"Kalau tindak pidana saya belum punya datanya, kalau konflik masyarakat setempat dan perusahaan lain memang tugas polisi di situ. Tapi dicek dulu itu pidana atau dorong-dorongan. Kalau dorong-dorongan biasa itu, karena unjuk rasa saja misalnya, pasti polisi yang terlibat," katanya.
Namun yang dimaksud KPA bukan itu. Penyandang korps Bhayangkara itu adalah aktor utama tindak kekerasan dan penangkapan. "Polisi melakukan 21 kali tindak kekerasan maupun penangkapan tanpa prosedural kepada masyarakat yang coba bertahan di tanah mereka," kata Dewi.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino