Menuju konten utama

Selamat Jalan Yu Patmi

Yu Patmi, salah seorang pejuang Kendeng, meninggal dunia pada dini hari 21 Maret sesudah hari terakhir aksi semen kaki.

Selamat Jalan Yu Patmi
Pejuang petani Kendeng menangis sebelum jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Selasa (21/3). Koalisi Untuk Kendeng Lestari dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng berduka cita atas meninggalnya Yu Patmi, diduga akibat serangan jantung. Almarhumah langsung dibawa dan dikebumikan ke Desa Larangan, Tambakromo, Pati, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Risky Andrianto/aww/17.

tirto.id - Ruang tengah gedung Lembaga Bantuan Hukum Indonesia kosong. Tidak ada lagi kasur-kasur tipis yang dibentang di selasar ruangan itu. Tak tampak pula puluhan orang yang kakinya dipasung adukan semen. Di sudut ruangan dekat tangga tertinggal kotak-kotak kayu bekas pasung semen.

Di dekat tangga lantai tiga, beberapa aktivis berbaring di lantai, salah seorang menutup muka dengan topi dan jaket. Seorang perempuan paruh baya dan lelaki muda berbincang di dekat pintu kantor dengan suara pelan. Pintu itu setengah terbuka. Dari dalam, terdengar suara perempuan memaparkan rencana konferensi pers dan doa bersama.

Saya masuk tanpa memberi salam, berdiri dan menyalakan rekaman di ponsel.

“Begini saja, kita nanti menggelar konferensi pers jam satu siang menjelaskan soal Bu Patmi. Malamnya kita adakan doa bersama,” usul seorang aktivis perempuan. Tidak ada yang menanggapi usulan itu. Tiga puluhan orang di dalam ruangan itu diam.

Suasana hening sejenak sebelum akhirnya lelaki berambut keriting, mengenakan kaos merah, mendatangi saya. “Dari mana?” katanya dengan suara lirih.

“Media. Tirto.”

“Tolong hapus rekamannya.”

Saya menolak permintaan itu.

Pada waktu hampir bersamaan, seorang perempuan mengenakan kaos hitam ikut menghampiri saya. Ia menanyakan hal yang sama.

“Hapus rekamannya,” katanya dengan suara meninggi. Saya menolak.

Thowik, seorang aktivis keberagaman, menghampiri dan merangkul saya.

“Sekarang teman-teman enggak mau ada media di sini,” katanya, pelan.

Saya keluar dari ruangan. Di luar ruangan, seorang staf Kantor Staf Presiden menunggu bertemu dengan Rahma Mary, kuasa hukum warga Kendeng yang melakukan aksi semen kaki untuk kali kedua sebagai ungkapan menolak PT Semen Indonesia di Rembang. Setelah Rahma datang, keduanya berbincang soal kematian Yu Patmi dengan suara pelan.

“Sekarang sudah dibawa pulang ke Rembang. Warga juga sudah pulang naik bus lebih dulu,” kata Rahma.

Yu Patmi adalah seorang pejuang Kendeng. Pagi, 21 Maret, kabar meninggal Yu Patmi menyebar di media sosial dan grup pesan singkat WhatsApp. Yu Patmi meninggal sekitar pukul 02.55 sesudah aksi pasung semen di depan Istana Negara.

Malam itu warga baru saja memutuskan untuk mengakhiri aksi mereka. Pukul 10 malam, warga mulai memecahkan 50 pasang kaki yang dipasung semen. Keputusan ini diambil setelah sore hari mereka bertemu dengan Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki. Pertemuan ini tidak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan.

“Ya sudah, warga memutuskan untuk memecahkan semen,” kata Rahma.

Pasung semen di kaki Yu Patmi juga dipecah. Usai kakinya bebas, dokter Alexandra Herlina sempat memeriksanya. “Kondisi kesehatannya baik, tekanan darah baik, aliran darah baik, tidak ada tanda gringgingen (kesemutan) di kaki, artinya tidak ada hubungannya dengan semen,” ujar Herlina.

Setelah diperiksa, Yu Patmi istirahat sebentar sebelum pamit untuk mandi. Setengah jam kemudian, Herlina mendengarnya berteriak. Herlina berlari mendatanginya. Yu Patmi ditemukan jatuh di dekat lift. Para relawan sudah terlebih dulu menolong mereka.

Yu Patmi lantas dibawa ke kamar. Tubuhnya dibaluri minyak tawon supaya hangat. “Setelah itu mengeluh mau muntah. Akhirnya muntah tapi cuma keluar cairan ludah,” tutur Herlina.

Melihat tanda tidak baik itu, Herlina memutuskan membawanya ke unit gawat darurat Rumah Sakit Carolus dengan mobil. Sayangnya, di perjalanan, Yu Patmi mengembuskan napas terakhir.

“Dugaan sementara ini sudden death, kematian mendadak. Kemungkinan besar jantung,” ungkap Herlina.

Sebelum Yu Patmi Mangkat

Kepergian Yu Patmi seketika bikin suasana di kantor LBH Indonesia berubah. Lebih hening. Tegang. Orang-orang menjadi sensitif. Berbincang pelan. Berbisik. Padahal, hari-hari sebelumnya, gedung ini ramai. Warga menyambut siapa pun, tidak peduli latar belakang, dengan ramah.

Pada Sabtu, 18 Maret, saya datang ke gedung LBH Indonesia pagi hari. Di selasar tengah, empat puluhan warga duduk di kursi dengan kaki dipasung. Gunretno, tokoh Sedulur Sikep dan penggiat Pegunungan Kendeng, tengah memimpin warga menyanyikan lagu perjuangan Kendeng. Semuanya bersemangat. Tangan kanan mereka terkepal dan meninju langit.

Joko Prianto, yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, selalu tampak bersemangat menemani obrolan orang-orang yang datang ke lokasi istirahat para pejuang petani Kendeng.

Saya sempat nimbrung dalam obrolan Prianto dengan Aji Tri Laksmono, warga Tangerang Selatan yang menyempatkan diri mendukung aksi para petani Kendeng.

"Saya bukan aktivis, dulu kuliah di Binus. Sekarang sedang berkarier di bank. Tapi saya sadar bahwa tanpa petani, saya enggak akan bisa makan," kata Aji.

Aji mengajak istri dan anaknya yang berusia 1 tahun 8 bulan. Aji ingin mengenalkan orang terdekatnya kepada petani yang selama ini menghasilkan beras untuk mereka makan.

“Di desa itu kan biasanya masih banyak orang hebat," kata Aji. "Kenapa enggak disantet saja?” Aji gemas dengan perusahaan yang tidak peduli dengan nasib para petani. Prianto hanya tertawa menanggapi omongan Aji.

Tak jauh dari tempat mereka mengobrol, Imam Rosyidi duduk melamun di atas kasur lantai berwarna biru. Ia mengenakan celana jins pendek dan kaos putih. Sesekali ia menoleh dan memandangi ruang tengah gedung LBH Indonesia, lalu menepuk-nepuk kakinya.

Imam adalah warga Pegunungan Kendeng termuda yang ikut dipasung semen. Sudah tiga hari ia tidak bisa leluasa bergerak. Sudah tiga hari pula Imam tidak ganti celana lantaran kakinya terpasung.

”Belum ganti tiga hari itu enggak masalah. Yang masalah badan pegel karena diam terus,” kata pemuda berusia 26 tahun itu terkekeh.

Sehari-hari Imam bekerja sebagai buruh bangunan. Jika tidak ada pekerjaan, ia turun ke sawah. Di sela-sela itu ia menyempatkan diri untuk bergabung dengan gerakan petani Kendeng menolak pabrik Semen Indonesia. Imam juga menggagas gerakan kotak kosong pada Pilkada Pati.

Keterlibatan Imam dalam gerakan warga atas restu dari orangtuanya. Kedua orangtuanya sadar, berdirinya pabrik semen bisa mengancam keberlangsungan hidup mereka. Karena itu mereka pun memberi izin pada Imam ke Jakarta untuk ikut aksi dipasung semen.

“Anak muda di desa juga harus peduli dengan masalah di desa,” katanya.

Di tengah perbincangan dengan Imam, bau masakan merebak di tengah ruangan, bikin perut lapar. Bau masakan itu datang dari dapur umum, letaknya di pintu samping gedung. Aroma masakan itu berasal dari ayam sambal merah yang tengah dimasak Mbah Sukami.

Mbah Sukami adalah warga Rembang yang turut dalam rombongan petani melakukan aksi di Jakarta. Usianya 56 tahun, karena itu ia tidak ikut menyemen kaki. Ia memiliki tugas khusus: mengurus dapur umum.

“Makan. Ini ada sayur asem,” katanya menawarkan.

Sejak aksi di depan kantor gubernur Ganjar Pranowo di Semarang, Desember 2016 lalu, Mbah Sukami dipercaya sebagai juru masak. Ia tidak bekerja sendiri. Ada Yu Suparmi dan Yu Dasmi. Sebagian bahan masakan seperti beras dan bumbu dibawa Mbah Sukami dari rumah, khusus sayuran dibeli di Jakarta.

“Saya senang masak, kalau mau nyemen kaki enggak kuat, sudah tua. Kalau enggak masak nanti enggak makan,” ujarnya.

Masakan Mbah Sukami bikin orang-orang, sebagian besar aktivis, ketagihan. Mereka menambah nasi yang masih mengepul, mengguyurnya dengan sayur asem dan mengunyah ayam sambal merah, di tengah cuaca dingin. Ini nada aktivitas yang bikin guyub, mengandalkan kemandirian, suatu rutinitas yang dilakoni para petani pejuang Kendeng sejak mereka menolak pendirian pabrik pada 2014. Ada kehangatan. Ada kesederhanaan yang mulia.

infografik HL semen rembang 2 dipasung semen

Melawan dengan Gembira

Setelah azan magrib, warga yang dipasung kakinya berkumpul di ruang tengah. Di depan mereka sudah ada kawan perjuangan mereka dari band Marjinal. Kedatangan Marjinal memang sengaja untuk memberikan hiburan dan semangat.

Suasana cair. Ada nada yang akrab. Alunan lagu-lagu perjuangan dari “Darah Juang” sampai “Buruh Tani” dinyanyikan dengan semangat sebagai tembang pembuka. Lagu-lagu lawas musisi legendaris Iwan Fals juga tidak terlewatkan. Warga kompak menyanyikan lagu “Manusia Setengah Dewa”.

Asfinawati, Direktur LBH Indonesia, turut menyumbangkan suaranya. Ia menemani para petani menyantap makan malam. Marjinal menyanyikan lagu-lagu campur sari.

“Kita itu melawan dengan gembira, enggak usah susah,” kata Prianto kepada saya.

Perlawanan dengan gembira yang dimaksud Prianto adalah perlawanan dengan senang hati. Tidak perlu khawatir apa yang terjadi, yang terpenting adalah melawan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.

Saat lagu “Sewu Kuto” karya Didi Kempot dikumandangkan, para warga seketika bergoyang. Namun, karena kaki mereka terpasung, hanya badan, tangan, dan jempol saja yang sebisa mungkin digerakkan-gerakkan, mengikuti irama lagu.

Yu Patmi ada di antara mereka dengan kaki sudah terpasung semen selama tiga hari. Ia duduk menyadarkan badan pada bahu kursi. Selendang biru melingkar di kepala dan lehernya. Ia tampak menikmati “Sewu Kuto” yang dibawakan Marjinal. Satu dua kali ia menguap, meski demikian mulutnya terus bernyanyi sebelum akhirnya dibawa ke kamar untuk istirahat.

Umpamane kowe uwis mulyo, Lilo aku lilo

Yo mung siji dadi panyuwunku, Aku pengin ketemu

Senajan sak kedeping moto, Kanggo tombo kangen jroning dodo

Baca juga artikel terkait KONFLIK SEMEN REMBANG atau tulisan lainnya dari Mawa Kresna

tirto.id - Humaniora
Reporter: Mawa Kresna
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam