tirto.id - Teriakan 'Kendeng Lestari' berkumandang di hadapan Istana Negara. Para petani, baik lelaki maupun perempuan, dengan kaki terpasung adukan semen di dalam kotak kayu, duduk menghadap Istana. Sesekali lagu “Ibu Bumi” melantun lewat pengeras suara:
“Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili. La ilaha illallah Muhammadur Rasulullah.”
Mereka bilang bahwa bumi selayaknya seorang ibu yang harus dirawat, dijaga, dan tidak boleh disakiti. Dengan kekayaan seorang ibu, ia telah memberi dan, sekali kita merusaknya, ia akan mengadili.
Mereka berharap Presiden Joko Widodo mendengar suara mereka: Suara para petani Pegunungan Kendeng yang mempertahankan tanah air mereka, tempat mereka menanam sawah yang berlimpah sumber mata air tetapi kini dalam ancaman tambang PT Semen Indonesia.
Lagu sekaligus doa para petani Kendeng ini selalu menjadi bumbu semangat ketika mereka aksi di mana pun, baik di tapak lokasi pabrik, di depan kantor bupati, gubernur, maupun presiden.
Redaksi Tirto dalam serial laporan awal Januari lalu tentang penolakan warga atas PT Semen Indonesia menguraikan bagaimana aliran air di bawah Pegunungan Kendeng melintasi beberapa kabupaten di Jawa Tengah: Rembang, Pati, Blora, maupun Grobogan. Kehadiran pabrik PT Semen Indonesia sejak 2014, yang berencana menambang pegunungan karst di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, telah berkali-kali ditolak oleh warga yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng.
“Kami aksi ini bukan hanya untuk Rembang. Kami sampai mengecor kaki, yang menyakitkan ini, supaya Jawa Tengah tetap aman, untuk menjaga keseimbangan,” ujar Gunretno di depan Kantor Staf Presiden, Senin kemarin (20/3).
CAT Watuputih adalah salah satu dari 19 cekungan air tanah di Jawa Tengah, yang menyimpan 109 mata air, beberapa terletak di lokasi pendirian dan penambangan pabrik semen (atau disebut 'areal ring satu'), dan sebagian besar dimanfaatkan warga untuk lahan pertanian.
Sejak PT Semen Indonesia merencanakan operasi penambangan di Desa Tegaldowo dan mendirikan pabrik di Desa Kadiwono, Masyarakat Peduli Kendeng menggugatnya bahkan lewat pengadilan. Gugatan mereka menang di Mahkamah Agung pada 5 Oktober 2016. Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meresponsnya dengan mengeluarkan apa yang ia sebut "adendum" pada 9 November 2016. (Belakangan "adendum" ini dibatalkan oleh Ganjar sendiri pada 17 Januari 2017)
Warga menilai "adendum" ini ialah kata lain dari izin baru dan upaya Ganjar mengelak dari putusan Mahkamah Agung. (Baca wawancara Ganjar Pranowo: "Kalau Mau Tutup, Tutup Saja Pabrik Semen Indonesia")
Warga kembali melakukan aksi pada pengujung tahun lalu, kali ini dengan berjalan kaki dari Rembang menuju kantor gubernur Jawa Tengah. Mereka memasang tenda perjuangan tepat di depan gubernuran. Aksi warga diabaikan oleh Ganjar, dan bahkan pada 23 Februari 2017, Ganjar menegaskan sikapnya dengan merilis izin baru lingkungan bagi PT Semen Indonesia untuk menambang dan membangun pabrik.
Izin itu menuai kritik dari pelbagai kalangan, menilai Ganjar telah mengabaikan konstitusi, dasar negara Indonesia dibentuk untuk menjamin dan melindungi kehidupan warga. Melihat pemimpin negara dan pemangku kepentingan lamban menanggapi kekecewaan warga di pusat lokasi pabrik, akhirnya para petani dari Masyarakat Peduli Kendeng kembali menyemen kaki di depan Istana dan berharap Presiden Jokowi berpihak kepada para petani.
“Kami akan tetap menggelar aksi,” kata Joko Prianto, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, kepada Tirto, di depan Istana Negara, Senin (20/3). Ia menilai langkah Ganjar mengeluarkan izin baru, di tengah kekosongan sikap resmi dari pemerintah pusat sebagai mediator, merupakan langkah yang keliru. “Ini sudah menyalahi aturan dan melanggar hukum,” ujar Joko.
Polemik Izin Baru PT Semen Indonesia
Gunretno, tokoh Sedulur Sikep atau "Saudara Sikep"—penganut ajaran Samin Surosentiko, tokoh asal Blora yang membangkang atas aturan pemerintahan kolonial Belanda pada akhir abad 19—masih ingat ketika Presiden Joko Widodo mengundang para petani Pegunungan Kendeng ke Istana Negara, 2 Agustus 2016.
Dalam pertemuan itu, ujar Gunretno, Presiden Jokowi sepakat menghentikan proses pembangunan pabrik PT Semen Indonesia hingga ada kajian lingkungan hidup strategis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan. Presiden juga menyepakati untuk tidak membolehkan izin baru sebelum kajian tersebut rampung dan diumumkan kepada publik.
Namun, sebelum kajian itu lengkap, Ganjar Pranowo justru mengeluarkan izin baru untuk PT Semen Indonesia.
Izin tanggal 23 Februari bernomor 660.1/6 tahun 2017 ini menjadi polemik hingga ke telinga Presiden Jokowi. Senin lalu, 20 Maret, Kantor Staf Presiden menemui para petani Kendeng. Pertemuan ini berlangsung selama satu jam sejak pukul lima sore dengan Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki. Ia tidak membuahkan hasil.
Petani, kata Gunretno, tetap pada pendirian awal: Pemerintah harus mencabut izin baru karena menyalahi kesepakatan saat pertemuan dengan Presiden, Agustus tahun lalu.
Dalam serial laporan pertama redaksi Tirto, yang mewawancarai warga di sekitar pabrik Semen di Rembang, suara penolakan warga terutama dilandasi ketakutan sumber air bakal mengering di desa mereka. Selain itu, sejak ada desas-desus pendirian dan penambangan pabrik semen pada 2012, perusahaan yang saat itu bernama Semen Gresik dinilai tidak melakukan sosialisi dengan jujur.
Namun, sejalan penolakan warga tersebut, perusahaan Semen Indonesia juga mengucurkan bantuan kepada warga sekitar guna memuluskan rencananya. Sedikit-banyak langkah perusahaan ini telah membelah suara warga di sekitar areal tambang dan lokasi pabrik. (Baca: Berebut Berkah di Ladang Panjang)
Pemerintah Belum Bersikap
Teten Masduki menjelaskan hasil pertemuannya dengan perwakilan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng. Ia bilang, Istana "telah mendengar dan menjawab tuntutan petani" soal izin baru Gubernur Ganjar Pranowo kepada PT Semen Indonesia termasuk pula proses hukum yang telah ditempuh warga.
Bahkan, kata Teten, Kantor Staf Presiden juga telah memanggil PT Semen Indonesia dan Kementerian BUMN untuk menghentikan kegiatan operasional pabrik. Dalam pertemuan dengan PT Semen Indonesia, Teten mengungkapkan jika perusahaan pelat merah itu "akan memperbaiki jalan-jalan yang rusak akibat alat berat."
Kantor Staf Presiden, ujarnya, masih menunggu hasil kajian lingkungan hidup strategis. Ia sendiri tak menjawab saat ditanya bahwa wilayah yang menjadi areal penambangan dan pembangunan pabrik termasuk dalam kawasan lindung geologi, dan logikanya, areal tersebut terlarang untuk kegiatan pertambangan.
“Jangan mengambil keputusan begitu (Kawasan Lindung Geologi),” kata Teten. “Kalau sudah ada KLHS, baru amdalnya. KLHS kan melihat daya dukung lingkungan kawasan itu.”
"Apakah nanti izin baru pada 23 Februari bisa dibatalkan?"
Teten menjawab, Kementerian Lingkungan Hidup yang "akan memberi penjelasan" soal polemik izin baru tersebut kepada presiden.
San Afri Awang, direktur jenderal Planologi dan Tata Ruang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengatakan lokasi yang akan ditambang Semen Indonesia ialah kawasan resapan air dan termasuk dalam kawasan lindung geologi CAT Watuputih. Tetapi, katanya saat dikonfirmasi oleh redaksi Tirto, wilayah itu dalam Perda RTRW Jawa Tengah adalah wilayah tambang. Ia meminta para pihak agar menunggu hasil KLHS yang akan kelar akhir bulan Maret.
Agung Wiharto, sekretaris perusahaan Semen Indonesia, menceritakan pihaknya dipanggil oleh Kantor Staf Presiden. Ia mengatakan, intinya Kantor Staf Presiden meminta Semen Indonesia untuk menghentikan aktivitas pertambangan. Pihak perusahaan, ujar Agung, akan mematuhi hasil akhir keputusan dari kajian lingkungan hidup strategis. Namun, ia menegaskan, kajian itu juga "harus dipatuhi pihak lain atas aktivitas pertambangan di Pegunungan Kendeng Utara."
“Kalau itu yang disepakati semuanya, ayo kita taati bersama,” kata Agung, menambahkan PT Semen Indonesia masih menunggu keputusan tersebut. Dan sejauh ini, ujarnya, tidak ada rencana peresmian pabrik dalam waktu dekat oleh Presiden Jokowi.
======
Update: Gunarti ditemani adiknya Gunarto, dua petani Kendeng, datang ke Istana Negara pada Rabu (22/3) dalam pertemuan antara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Presiden Jokowi. Gunarti menyampaikan tuntutannya agar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mematuhi putusan Mahkamah Agung, yang mengabulkan gugatan warga Kendeng. Putusan MA membatalkan izin penambangan, yang saat itu masih bernama PT Semen Gresik dan diteken oleh Gubernur Bibit Waluyo. MA juga memutuskan agar gubernur Jawa Tengah mencabut izin tersebut. Jokowi cuma menanggapi bahwa ia tidak mencampuri urusan izin baru yang dikeluarkan oleh Ganjar Pranowo. Jawaban Jokowi membuat Gunarti sedih dan menangis.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam