tirto.id - Nyono, Kepala Desa Timbrangan, tak bisa membayangkan andai tambang dan pabrik milik PT Semen Indonesia benar-benar beroperasi. Hamparan sawah dengan padi menguning, yang sudah ia lihat sebagai pemandangan sehari-hari sejak kecil, akan jadi pemandangan langka. Panen jagung dan padi yang menjadi hasil pertanian unggulan bisa jadi akan tinggal cerita.
“Bisa jadi bedol desa,” ujar Nyono berapi-api.
Nyono membayangkan itu dengan menganalisis jarak dari tempat tinggalnya dengan lokasi tambang dan pabrik PT Semen Indonesia. Desa Timbrangan memang masuk area ring satu, istilah dalam Amdal PT Semen Gresik untuk desa-desa yang paling terkena dampak penambangan dan pabrik Semen. Selain Timbrangan, empat desa lainnya adalah Desa Tegaldowo, Desa Kajar, Desa Pasucen dan Desa Kadiwono. Pabrik semen berada di Desa Kadiwono, sedangkan lokasi penambangan ada di Desa Tegaldowo.
Nyono pernah mempelajari dokumen Amdal yang dia temukan di laci Kantor Kepala Desa Timbrangan. Saat itu ia baru saja menjabat sebagai kepala desa. Ada tiga dokumen yang dipegang Nyono yakni Rencana Pengelolaan Hidup (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA AMDAL).
Sejak awal menjabat kepala desa, Nyono sudah menyuarakan penolakannya terhadap izin tambang juga rencana pembangunan pabrik semen di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Ketakutan tambang bisa mencapai desanya, termasuk mencapai sumber air, makin menguatkan Nyono untuk menolak.
Dia menyebutkan salah satu mata air di desanya yang tak pernah habis. Mata air itu berada di Gowa Menggah, sebelah selatan Desa Timbrangan. Kata Nyono, mata air itu pernah coba disedot, airnya tak pernah habis-habis. Karena itu dia meyakini desa tempatnya tinggal memiliki sumber air.
Namun, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berbeda pandangan. Ia menganggap kekhawatiran warga yang menolak itu berlebihan, “lebih banyak orang yang defense dulu”, “bersimulasi”, dan “berasumsi”. Kalaupun memang di kawasan tersebut ada sumber mata air, kata Ganjar, kawasan di atas sumber mata airnya mestinya tetap bisa dikelola.
“Dan di dalam putusan pengadilan, pun disebutkan bahwa di atas cekungan air tanah pun bisa dikelola demi kepentingan bangsa dan negara,” bantah Ganjar saat ditemui di studio Metro TV pada 21 Desember 2016.
Ia bersikukuh menganggap kawasan yang akan menjadi tempat beroperasinya pabrik semen bukanlah kawasan yang penuh dengan sumber mata air.
“Dari dulu setahu saya, di sana tidak ada air, Mas. Daerahnya itu gersang,” kata Ganjar.
Dengan nada retoris, ia mengundang Tirto untuk mengecek sendiri: “Kalau Tirto datang ke sana, apakah selama ini mereka ada air atau tidak di sana? Anda tanya dulu, sekian puluh tahun ada air atau tidak? Air bersih, air minum dulu ya. Itu daerah gersang, Mas.”
Dua hari setelah undangan Ganjar untuk mengecek langsung ke lapangan, Tirto berkunjung ke Desa Tegaldowo, yang menjadi lokasi penambangan.
Untuk menuju Desa Tegaldowo mesti melewati hutan jati milik Perhutani. Sekitar 3 kilometer sebelum memasuki Desa Pasucen, aliran air dari perbukitan mengalir jernih. Airnya memang tak begitu deras. Air itu membelah jalan dan pohon-pohon jati.
Sekitar dua kilo meter dari Pasucen barulah sampai di Desa Timbrangan. Di desa ini pemandangan sawah mudah dijumpai. Termasuk juga aliran air yang menjadi irigasi bagi persawahan. Di perbatasan Desa Pasucen dan Tegaldowo, sebuah irigasi selebar satu meter membelah jalan. Airnya datang dari dari arah bukit yang rencananya akan ditambang PT Semen Indonesia.
Sawah mudah di jumpai di sepanjang jalan menuju tiga desa yang terletak di atas kawasan pabrik semen. Di sepanjang jalan, hamparan sawah membentang membentuk terasering. Dari kejauhan, bangunan pabrik semen terlihat di antara pemandangan sawah hijau milik warga.
Keberadaan CAT Watuputih
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 2011, pegunungan Kendeng Utara yang menjadi lokasi penambangan PT Semen Indonesia, masuk ke dalam kawasan lindung geologi. Keppres yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 13 September 2011 itu menguatkan penetapan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih sebagai sumber air lintas kabupaten.
Selain Keppres, CAT Watuputih sejatinya sudah masuk dalam kawasan lindung geologi yang harus dilindungi sesuai Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 – 2030. Hal itu dikuatkan oleh Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang RT/RW Kabupaten Tahun 2011–2031, yang menyatakan CAT Watuputih termasuk juga ke dalam kawasan imbuhan air.
Dalam Keppres, CAT Watuputih terletak di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Selain itu, CAT Watuputih merupakan salah satu dari 19 cekungan air tanah di Jawa Tengah yang letaknya di lintas kabupaten atau kota. Letaknya segaris lurus dengan Cekungan Air Tanah (CAT) Pati yang kini sudah ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) oleh Kementrian ESDM pada 2014.
Mantan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Surono menegaskan Keppres harusnya menjadi acuan untuk melestarikan kawasan CAT Watuputih. Sepengetahuan Mbah Rono, panggilan masyhur untuk Surono, dari data yang dia miliki, kawasan yang kini menjadi area sengketa antara warga dan PT Semen Indonesia memang daerah imbuhan air. Kawasan imbuhan air itu terbentuk secara alami dan merupakan bentang karst.
“Secara harfiah banyak data-data yang menyebutkan, terutama kawasan imbuhannya adalah karst,” ujar Surono melalui sambungan telepon, Selasa, 27 Desember lalu.
Penelitian Dinas Provinsi Tingkat I Jawa Tengah pada 1998 menyebutkan jika CAT Watuputih atau pegunungan Watuputih di Kendeng Utara secara geomorfologis merupakan tipe bentang alam karst. Bentang alam karst itu diperkuat dengan penemuan gua-gua alam dan sungai bawah tanah yang menjadikan kawasan itu daerah tangkapan air.
Sayang, meski banyak kajian menyatakan CAT Watuputih dalam kawasan karst, cekungan air tanah lintas kabupaten itu belum ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst yang keberadaannya harus dilindungi.
“Bahwa itu secara ilmiah memang kawasan karst dan itu memenuhi unsur itu,” ujar Mbah Rono. “Kalau sudah ditetapkan, itu tidak boleh ada aktivitas penambangan.”
Berkah Air CAT Watuputih
Ketakutan tak hanya dirasakan Nyono. Warga yang menolak kehadiran penambangan dan pabrik PT Semen Indonesia memang punya suara seragam. Mereka cemas sumber air yang menghidupi dan mengaliri persawahan mereka akan susut.
Tirto melakukan wawancara kepada warga di sekitar area ring satu di Desa Tegaldowo. Sebanyak tiga belas warga penolak tambang mengungkapkan alasan mereka sampai saat ini bersuara lantang: cemas sumber air hilang. Kebanyakan memang bekerja sebagai petani. Mereka menanam padi juga jagung untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sejauh ini, mereka berkata cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertani.
“Ya, alhamdulilah, semuanya cukup untuk kebutuhan hidup dan anak sekolah,” ujar Tini, warga Desa Tegaldowo saat berbincang dengan Tirto, Jumat, 23 Desember. Dia kemudian menyodorkan lepet, makanan terbuat dari ketan dibungkus daun kelapa diolah dari hasil panen sawah. “Ini dapat dari nanam sendiri, Mas, ketannya tidak beli,” katanya menyuguhkan.
Takut kehilangan sumber air juga tercermin dari beberapa kajian. Kajian potensi kawasan karst Kendeng Utara yang dilakukan oleh Acintyacunyata Speleological Club, Semarang Caver Association, Indonesia Caves Society dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, menyebutkan dari 109 mata air, mereka melakukan penghitungan volume air dengan menghitung debit terkecil dan debit terbesar. Hasilnya, dalam satu hari, mata air Belik Watu menghasilkan air 1.728 liter/ hari. Sedangkan dari mata air Sumber Seribu, mata air terbesar di wilayah itu, saban hari menghasilkan 51.840.000 liter/ hari. Kajian itu menjabarkan potensi air di CAT Watuputih memberi banyak manfaat bagi kehidupan warga.
Berdasar pengukuran lapangan dari data Amdal PT Semen Indonesia, dari 109 mata air yang tersebar di CAT Watuputih, debit terbesar terdapat pada mata air Sumber Seribu di Desa Tahunan, Kecamatan Sale, Rembang. Debitnya mencapat 600 liter/ detik. Sedangkan sumber mata air terkecil di mata air Belik Watu, Desa Timbrangan, Gunem, dengan debit air 0,02 liter/ detik. Lokasi mata air itu di bagian barat daerah cekungan dan masuk ke dalam area ring satu.
Jika dihitung dengan jumlah kebutuhan per orang yang rata-rata menggunakan air 15-20 liter/ hari, maka jumlah air jelas sangat cukup bagi kebutuhan warga. Mata air yang keluar dari CAT Watuputih juga digunakan mengairi persawahan di sekeliling pegunungan.
Keberadaan CAT Watuputih sebagai daerah tangkapan air juga dikuatkan hasil pendataan berkala oleh Semarang Caver Association (SCA) dengan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Mereka menemukan 49 gua tersebar di sekitar CAT Watuputih, empat di antaranya gua yang memiliki sungai aktif.
Joko Prianto, Koordinator JMPPK, mengatakan temuan itu makin menguatkan ada ekosistem air di bawah area tambang. Apalagi aliran sungai bawah tanah di CAT Watuputih bukan hanya lintas kecamatan, tapi menghidupi tiga kabupaten: Rembang, Blora, dan Tuban. Dia menyesalkan banyak orang yang lantas mengelabui daerah tangkapan air itu hanya sebagai gunung mati yang, jika ditambang, tidak memiliki dampak lingkungan.
“Aliran sungai pegunungan kendeng itu sampai sana. Memang kawasan gunung, dilihat tidak ada air, tetapi di dalamnya ada air. Ada sungai bawah tanah,” ujar Prianto kepada Tirto, 21 Desember.
Perkataan Joko Prianto dapat ditemukan dalam salinan putusan gugatan Peninjuan Kembali yang dikeluarkan Mahkamah Agung dengan Nomor 99/PK/TUN/2016. Dalam putusan itu, Majelis Hakim menjelaskan sejatinya CAT Watuputih merupakan wilayah cekungan air yang harus dilindungi. Wilayah lokasi tambang sesuai izin yang diberikan kepada PT Semen Indonesia tumpang tindih dengan CAT Watuputih.
Dokumen AMDAL dalam salinan putusan juga menyebut luasan rencana penggunaan lokasi penambangan Batu Gamping di Desa Tegaldowo dan Kajar. Area tambang itu dijelaskan menyalahi Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 tentang luasan lahan yang digunakan sebagai lokasi tambang. Perda itu menyebut, luasan tambang yang boleh dieksplotasi seluas 205 hektar, sementara dalam dokumen AMDAL luasan yang akan ditambang di dua desa seluas 520 hektar.
“Angka ini jauh lebih besar dari luas peruntukan yang diatur dalam Pasal 27,” tulis putusan MA.
Kajian itu juga membahas dampak tambang. Selain menghitung kehilangan cadangan air kawasan lindung geologi, wilayah daerah aliran sungai dengan muara cekungan air itu juga akan mengalami banjir. DAS itu adalah Kali Bengawan Solo, Kali Lusi, dan Kali Tuyuhan.
Surono berharap, pemerintah melihat lebih jauh persoalan ini dengan jernih. “Marilah kita melihat itu, melihat lebih jauh lah. Saya tidak anti-pabrik semen karena dibutuhkan untuk pembangunan di Indonesia. Tapi apakah harus dipaksakan di mana daerah itu harus di konservasi. Itu saja,” tutur Mbah Rono.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam