tirto.id - Pergelangan kaki Sukinah membengkak sebelum tiba di kantor gubernur. Ia tak peduli rasa nyeri yang menjalar ke sekujur tubuhnya. Solidaritas para petani, mahasiswa, dan komunitas peduli Pegunungan Kendeng, yang ikut berjalan kaki selama lima hari, membuat langkahnya terasa lebih ringan. Namun, setiba di sana, kakinya gemetaran. Bukan karena lelah, tapi lantaran satu kabar: Gubernur Ganjar Pranowo menerbitkan surat keputusan baru untuk PT Semen Indonesia.
Kabar izin baru itu datang dari Siswo Laksono, Asisten Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah. Siswo memberitahukan izin itu begitu warga tiba di gubernuran.
“Saya itu jengkel pol. Perintahnya mencabut izin, kok malah mengeluarkan izin baru?” ujar Sukinah, memperlihatkan emosinya, usai gelar wicara di Mata Najwa di studio Metro TV, Jakarta, 21 Desember 2016.
Izin baru yang dimaksud Sukinah adalah Surat Keputusan No. 660.1/30 tahun 2016 tentang izin lingkungan kegiatan penambangan bahan baku semen dan pembangunan serta pengoperasian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Izin ini diteken Ganjar Pranowo pada 9 November 2016 sesudah warga memenangkan gugatan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Dalam logika Ganjar, SK tersebut dipakai untuk menggantikan izin sebelumnya (No. 660.1/17 tahun 2012) yang diberikan kepada PT Semen Gresik tentang izin lingkungan kegiatan penambangan dan pembangunan pabrik Semen. Selain perubahan nama, dari Semen Gresik menjadi Semen Indonesia, izin baru itu mengubah luasan lahan tambang (dari 520 hektare berkurang menjadi 293 ha), dan bentuk izin (dari penambangan dan pembangunan pabrik berubah jadi pengoperasian pabrik).
Sukinah menyebut izin baru itu hanya akal-akalan agar pabrik semen tetap beroperasi.
“Lamis,” ujar Sukinah, menyebut Ganjar bermulut manis tapi menghadirkan realitas pahit. “Katanya mau mengikuti putusan, ternyata mengeluarkan izin baru.”
Polemik Izin Baru
Usai acara Mata Najwa, Ganjar Pranowo keluar dari studio Metro TV dengan langkah tergesa. Ia duduk di sofa tak jauh dari pintu studio. Raut mukanya memerah. Ia menghela napas sebelum berbincang dengan Tirto. Dalam gelar wicara itu, Najwa Shihab mengungkit izin baru tersebut.
“Bukan izin baru, itu bahasa Anda,” tegas Ganjar kepada reporter Tirto, Mawa Kresna.
Ganjar berkata, istilah “izin baru” yang disebut warga penolak semen merupakan salah tafsir. Menurutnya, surat itu adalah "adendum" dari izin lama yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pada 2012.
Adendum secara umum ialah ketentuan tambahan dalam suatu perjanjian yang terpisah dari perjanjian sebelumnya, tapi secara hukum melekat pada perjanjian pokok. Dalam izin penambangan, adendum yang dimaksud Ganjar adalah perubahan nama, luasan lahan, dan bentuk izin.
“Begini, loh. Kalau Tirto ganti pemilik, saham berubah, ganti nama Tirto Indonesia, Anda mengubah enggak? Sebenarnya itu saja, sesimpel itu saja. Belum bercerita yang lain,” ujar Ganjar.
Ganjar berkilah, saat meneken “adendum” itu, ia belum menerima salinan putusan peninjauan kembali dari MA. Salinan itu, klaim Ganjar, baru diterimanya pada 17 November 2016. Sedangkan “adendum” diteken pada 9 November 2016.
“Ini salinan sudah kami terima. Kami baru akan menanggapinya nanti, 17 Januari 2017. Orang sekarang jadi bingung, seolah bingung atau dibingung-bingungkan,” tambah Ganjar. “Saya dibilang mengeluarkan SK baru, padahal SK itu saya tandatangani sebelum saya menerima petikan putusan.”
Ganjar menampik “adendum” itu upaya buat meloloskan diri dari pelaksanaan perintah putusan MA. Ia menegaskan, “adendum” itu masih tetap jadi bagian dari izin sebelumnya. Jika MA memutuskan mencabut izin tersebut maka “adendum” itu pun harus dicabut.
“Kalau orang mau berpikir kaku, bisa. Yang digugat dulu itu Semen Indonesia atau Semen Gresik? Sekarang namanya Semen Indonesia. Lha, kira-kira kalau dia sudah mengganti, kira-kira dia bisa lari enggak? Bukan Semen Gresik, kok,” kata Ganjar. Ia menegaskan perubahan dalam surat izin itu dilakukan karena pembangunan pabrik semen di Desa Kadiwono, Rembang, nyaris selesai. (Per 30 Desember 2016 pembangunan pabrik oleh rekanan kontraktor telah selesai)
Berujung Kriminalisasi
Belum tuntas rasa geram warga atas langkah Ganjar Pranowo lewat izin baru itu, pada 26 Desember 2016, Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Jawa Tengah memanggil Murtini dan Sutrisno, dua warga petani dari Timbrangan, Rembang. Mereka dipanggil sebagai saksi karena diduga memalsukan identitas dan tanda tangan dalam dokumen penolakan warga atas pabrik Semen Indonesia.
Kedua warga dari desa di area utama tambang itu dilaporkan pada 16 Desember 2016 oleh Yudi Taqdir Burhan, kuasa hukum PT Semen Indonesia. Jerat yang dipakai adalah tindak pidana pemalsuan dokumen (pasal 263 ayat 1 & 2).
Joko Prianto, koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, mengatakan kedua warga baru menerima surat panggilan tersebut pada 30 Desember, terlambat empat hari dari surat panggilan perdana. Dalam aturan hukum di Indonesia, bila warga mangkir dari tiga kali surat perintah saksi, ia bisa dijemput paksa oleh kepolisan. Celah ini kerap dipakai sebagai kriminalisasi terhadap saksi menjadi tersangka.
Apa yang diduga “tanda tangan palsu” bagi warga penolak pabrik semen, kerap pula dipakai Ganjar dalam menyelia keabsahan gugatan warga. Murtini dan Sutrisno adalah bagian dari 2.501 penandatanganan bukti warga menolak semen. Di dokumen itu, identitas warga dipertanyakan, termasuk yang menulis pekerjaan mereka sebagai “Power Ranger”, “Ultramen”, “Presiden”, dan “Menteri”. Ada pula yang memberi keterangan tinggal di “luar negeri”, juga tulisan plus tanda tangan yang mirip satu sama lain. Ganjar menduga ada kebohongan dalam bukti daftar penolakan warga yang diajukan ke pengadilan.
Menjawab hal itu, Prianto menjelaskan banyak warga dusun di Kendeng berusia sepuh dan tak bisa membaca dan menulis. Karena itu mereka dibantu oleh warga lain saat memberikan pernyataan menolak pembangunan pabrik semen.
“Kalau memang itu yang dipersoalkan, ya, kami sudah jelaskan. Itu tidak masalah,” kata Prianto saat dikontak Tirto, 31 Desember 2016.
Dalam peninjauan kembali di MA, bagaimanapun, keberatan atau kontra-memori yang diajukan Pemda Jateng terkait tanda tangan dan identitas warga penolak pabrik semen tidak dijadikan dasar putusan, 5 Oktober 2016. Salah satu pertimbangan hakim memenangkan gugatan warga Kendeng adalah bukti tiket perjalanan Joko Prianto, yang sebelumnya diklaim turut hadir dalam sosialiasi pendirian pabrik semen di balai desa Tegaldowo, desa di Kecamatan Gunem yang jadi lokasi tambang semen. Padahal, saat sosialisasi itu, Prianto dalam perjalanan dari Pontianak ke Jakarta.
“Karena itu jadi janggal,” kata Prianto. “Ini namanya kriminalisasi.”
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam