tirto.id - Saat pemerintah Belanda membangun pabrik semen pertama di Indarung, Sumatera Barat, lebih dari seabad lalu, mereka belum berpikir mengeruk Pulau Jawa sebagai tambang semen. Baru setelah republik berdiri, pabrik semen pertama di Jawa pun muncul pada 7 Agustus 1957 yang diresmikan langsung oleh Presiden Sukarno.
Jawa memang paling menjanjikan untuk mengais ceruk pasar semen. Penduduk yang besar dan pembangunan infrastruktur yang masif menopang permintaan semen yang porsinya 70 persen untuk perumahan dan 30 persen untuk infrastruktur.
Catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Januari-Agustus 2015 lalu, Jawa memimpin dengan pangsa pasar hingga 57 persen, disusul Sumatera yang hanya 21 persen, selebihnya diisi pulau lainnya. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) memiliki 12 anggota perusahaan dengan produksi 78 juta ton per tahun (2015), di antaranya 8 perusahaan beroperasi di Jawa. PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk., misalnya, dari 14 pabrik yang mereka miliki di Indonesia, sebagian besar pabrik berada di Pulau Jawa, 10 di antaranya berlokasi di Citeureup, Bogor, Jawa Barat.
Menariknya, pemain industri semen yang sebelumnya fokus di luar Jawa, Semen Bosowa, juga tak mau ketinggalan mencicipi gurihnya pasar semen di Jawa. Pada 15 Desember 2016, Bosowa meresmikan pabrik Bosowa Banyuwangi, melengkapi pabrik Semen Bosowa Maros, dan Semen Bosowa Batam. Pabrik semen Bosowa menambah daftar panjang pembangunan pabrik-pabrik baru khususnya di Jawa seperti di Rembang, Gombong, dan lainnya, yang tak luput dari konflik.
Konflik di Karst Jawa
Kawasan karst atau batu kapur di Indonesia punya bentangan luas hingga 154.000 km persegi atau 0,08 persen dari total luas wilayah dari Sabang sampai Merauke. Di Pulau Jawa, luasan kawasan karst mencapai sekitar 11.000 km persegi, membentang di utara dan selatan Jawa. Kawasan kars Jawa tak putus-putusnya jadi incaran industri ekstraktif seperti pabrik semen. Sayangnya, konflik sosial pun tak terhindarkan.
Hingga akhir 2014, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menerima bermacam laporan soal ancaman keberlanjutan kawasan karst dan menangani konflik akibat eksploitasi industri marmer dan semen di Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Jambi, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan.
Di Jawa Tengah saja, ada tujuh sebaran wilayah konflik, di antaranya soal pendirian pabrik semen. Misalnya di Kabupaten Cilacap yang melibatkan PT Holcim di lahan ± 1.000 hektar, di Kabupaten Kebumen dengan PT Semen Gombong mencakup ± 5.000 hektar, Kabupaten Grobogan melibatkan PT Vanda Prima Listri dan PT Semen Grobogan di areal ± 700 hektar, dan Kabupaten Rembang yang melibatkan PT Semen Indonesia seluas ± 520 hektare.
Untuk yang terakhir ini, paling fenomenal dan banyak menyedot perhatian publik. Warga Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah, melakukan perlawanan yang sengit terhadap pembangunan pabrik semen Rembang oleh BUMN PT Semen Indonesia. Gugatan hukum izin lingkungan yang berakhir hingga Mahkamah Agung (MA) dimenangkan warga dan Walhi Oktober lalu. Isu lingkungan sangat kental menyelimuti konflik ini, adanya ancaman ketahanan pangan dan ketersediaan air membayangi keberadaan pabrik semen. Persoalan pelik ini yang menjadi perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Sejak 2013, Komnas HAM menerima pengaduan individu dan berbagai kelompok masyarakat dari sejumlah daerah di antaranya Rembang, Pati, Kebumen, Sukabumi, dan Tuban. Catatan Komnas HAM, tren pengaduan ini semakin meningkat sejalan kebutuhan semen untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur 2015-2019 yang digenjot Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Mulai Juni 2015 hingga 3 Agustus 2016, Komnas HAM juga telah mencari, mengumpulkan, dan menganalisis data, fakta, dan informasi yang berkaitan dengan regulasi, kelembagaan, kebijakan, dan soal ekosistem karst dan perlindungan HAM.
Mereka menyimpulkan, kebijakan tentang karst sangat parsial, bias dan banyak bertentangan dengan kebutuhan masyarakat sekitar kawasan karst, hasilnya memunculkan konflik sosial dan potensi pelanggaran HAM. Dalam salah satu rekomendasinya, Komnas HAM mendorong pemerintah melakukan audit menyeluruh atas perizinan dan dokumen yang sudah atau akan dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan daerah pada industri ekstraktif seperti semen.
Sebelum laporan Komnas HAM, Kementerian Perekonomian pada 2007/2008 sempat melakukan kajian soal daya dukung Pulau Jawa atas maraknya industri ekstraktif seperti pabrik semen. Dalam kajian itu disimpulkan bahwa Pulau Jawa tidak layak lagi sebagai wilayah penambangan. Daya dukung Pulau Jawa sudah sangat terbatas dan padat oleh penduduk.
Data BPS bisa berbicara lebih jelas. Kepadatan penduduk di Pulau Jawa mencapai 1.121 jiwa/km persegi, bandingkan di Pulau Papua yang hanya 10 jiwa/km persegi. Sedangkan rata-rata di Indonesia hanya 134 jiwa/km persegi.
Risiko lingkungan yang tinggi nyatanya berkebalikan dengan proyeksi produksi semen di Indonesia yang melebihi kebutuhan. Berdasarkan proyeksi pemerintah hingga 2020, kapasitas produksi semen lebih dari 100 juta ton, dan kebutuhan 80 juta ton. Saat ini produksi Semen Indonesia mencapai sekitar 90 juta ton per tahun, namun kebutuhan nasional masih sekitar 60 juta ton.
Industri semen memang sangat bergantung dengan lokasi bahan baku agar lebih dekat dengan pasar guna efisiensi distribusi. Namun, selagi pembangunan masih berkutat di Jawa, maka pabrik semen akan tetap mengincar tanah Jawa. Bukankah Presiden Jokowi punya komitmen membangun infrastruktur di luar Pulau Jawa?
"Sekarang sudah banyak dibangun di luar Pulau Jawa, baik yang namanya jalan tol, yang namanya pelabuhan, baik yang namanya airport," kata Jokowi.
Konflik akibat pembangunan pabrik semen bakal terus semakin meningkat di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa bila tak ada ketegasan pemerintah dalam mengelola kepentingan antara lingkungan dan industri yang lebih pragmatis. Dan warga dalam posisi yang rentan karena, dalam banyak kasus, banyak pabrik yang sudah berdiri walaupun kelengkapan perizinan masih bermasalah. Saat warga menggugat ke pengadilan, pembangunan pabrik sudah berjalan sedemikian rupa sampai mendekati hampir selesai pembangunannya.
Jika warga menang di pengadilan, pabrik sudah hampir tuntas berdiri. Dan biasanya, dari situ, muncul dengungan: sia-sialah uang investasi, iklim investasi bisa hancur, pertumbuhan ekonomi bisa melambat, dll.
Inilah yang sedang dihadapi oleh, misalnya, warga di Pegunungan Kendeng.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti