Sejak 2006, Gunretno dan komunitas Sedulur Sikep menolak rencana pembangunan pabrik semen di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Areal yang akan ditambang mencapai 2.000 hektar. Padahal, di areal itu terdapat sekitar 1.400 hektar lahan pertanian produktif yang menjadi tulang punggung ekonomi warga.
Sedulur Sikep sendiri adalah penganut ajaran Samin Surosentiko alias Raden Kohar, seorang tokoh asal Blora yang tercatat pernah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890. Samin menolak pajak tanah yang dianggap terlalu membebani petani.
Sejak itu, istilah ‘Samin’ identik dengan pembangkangan atau karakter keras kepala. Mereka menolak disebut Kejawen, dan bila diizinkan pemerintah, lebih memilih menulis kolom agama di KTP: Adam.
Gunretno dan adik perempuannya, Gunarti, adalah keluarga petani yang memelopori penolakan terhadap rencana ekspansi PT Semen Indonesia di Kabupaten Pati antara 2006 sampai 2009, ketika memenangi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung.
Kemenangan 200-an kepala keluarga Sedulur Sikep di Sukolilo, digenapi dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. Namun setelah mundur dari Pati, pada tahun 2012, PT Semen Indonesia justru mendapatkan izin di Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Tempat di mana Joko Prianto alias Prin menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Sejak itu, Prin kerap mondar-mandir dari Rembang ke Pati untuk mempelajari gerakan sosial dari komunitas Sedulur Sikep. Mereka lalu melakukan studi banding ke Gresik atau Tuban untuk melihat bagaimana kehidupan para petani setalah beberapa dekade penambangan.
“Sedulur Sikep itu tidak boleh berdagang. Jadi kami hanya hidup dari hasil pertanian. Kalau satu-satunya sumber penghidupan kami berubah menjadi pabrik semen, lalu bagaimana kami hidup?” ujar Gunarti dalam Jawa ‘kasar’ (ngoko).
Sejarah Samin adalah sejarah perlawanan. Bahkan hingga ke bahasa. Mereka menolak menggunakan bahasa Jawa halus (krama) yang mencerminkan stratifikasi sosial.
Selain melarang berdagang atau jual beli, ajaran Samin juga menolak sistem pendidikan sekolah formal. Tiga anak Gunarti, tak ada yang bersekolah. Sebagai gantinya, ia mengajarkan baca tulis di rumah.
“Sekolah anak-anak kami itu ya di sawah. Belajar pertanian,” pungkasnya.
Tak hanya membantu warga Rembang, Gunretno dan Gunarti juga membantu warga kecamatan tetangga yang sedang berhadapan dengan pabrik semen yang lain: PT Sahabat Mulia Sakti (SMS). Anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa itu sedang menjajaki penambangan di Kecamatan Tambakromo dan Kayen.
Di perkampungan, warga memasang bambu runcing dan aneka poster yang menolak kehadiran pabrik semen. Tulisan “Tolak Semen” juga ditempel di setiap pintu rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu dan berwujud Joglo (rumah tradisional Jawa).
Pengaruh gerakan Sedulur Sikep telah merasuk ke warga Tambakromo dan Kayen. Pada suatu siang, di pertengahan Januari 2015, Gunretno hanya membutuhkan setidaknya dua jam untuk mengumpulkan seribuan massa.
Mereka yang sedang bekerja ladang atau memasak di rumah, langsung menghentikan aktivitasnya begitu pengeras suara di masjid, mengimbau warga berkumpul di tengah sawah.
Di sana, Gunretno dan kawan-kawannya telah menyiapkan spanduk hitam sepanjang 20 meter yang ditempeli kertas bekas membentuk sebuah kalimat. Dari ketinggian 30 meter, barulah tulisan itu lebih mudah terbaca: “Tolak Pabrik Semen di Jawa”.
“Silakan membangun pabrik semen di tempat lain yang harga semennya mahal. Agar lebih dekat ke konsumen dan harganya murah. Jawa ini lumbung pangan. Kalau negara krisis semen, bukan masalah. Kalau krisis pangan?” tanya Gunretno diplomatis.
Sedulur Sikep sendiri adalah penganut ajaran Samin Surosentiko alias Raden Kohar, seorang tokoh asal Blora yang tercatat pernah melakukan pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890. Samin menolak pajak tanah yang dianggap terlalu membebani petani.
Sejak itu, istilah ‘Samin’ identik dengan pembangkangan atau karakter keras kepala. Mereka menolak disebut Kejawen, dan bila diizinkan pemerintah, lebih memilih menulis kolom agama di KTP: Adam.
Gunretno dan adik perempuannya, Gunarti, adalah keluarga petani yang memelopori penolakan terhadap rencana ekspansi PT Semen Indonesia di Kabupaten Pati antara 2006 sampai 2009, ketika memenangi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Mahkamah Agung.
Kemenangan 200-an kepala keluarga Sedulur Sikep di Sukolilo, digenapi dengan ditetapkannya kawasan karst pegunungan Kendeng di Sukolilo sebagai kawasan lindung oleh pemerintah. Namun setelah mundur dari Pati, pada tahun 2012, PT Semen Indonesia justru mendapatkan izin di Tegaldowo, Kabupaten Rembang. Tempat di mana Joko Prianto alias Prin menggantungkan hidupnya dari pertanian.
Sejak itu, Prin kerap mondar-mandir dari Rembang ke Pati untuk mempelajari gerakan sosial dari komunitas Sedulur Sikep. Mereka lalu melakukan studi banding ke Gresik atau Tuban untuk melihat bagaimana kehidupan para petani setalah beberapa dekade penambangan.
“Sedulur Sikep itu tidak boleh berdagang. Jadi kami hanya hidup dari hasil pertanian. Kalau satu-satunya sumber penghidupan kami berubah menjadi pabrik semen, lalu bagaimana kami hidup?” ujar Gunarti dalam Jawa ‘kasar’ (ngoko).
Sejarah Samin adalah sejarah perlawanan. Bahkan hingga ke bahasa. Mereka menolak menggunakan bahasa Jawa halus (krama) yang mencerminkan stratifikasi sosial.
Selain melarang berdagang atau jual beli, ajaran Samin juga menolak sistem pendidikan sekolah formal. Tiga anak Gunarti, tak ada yang bersekolah. Sebagai gantinya, ia mengajarkan baca tulis di rumah.
“Sekolah anak-anak kami itu ya di sawah. Belajar pertanian,” pungkasnya.
Tak hanya membantu warga Rembang, Gunretno dan Gunarti juga membantu warga kecamatan tetangga yang sedang berhadapan dengan pabrik semen yang lain: PT Sahabat Mulia Sakti (SMS). Anak perusahaan PT Indocement Tunggal Prakarsa itu sedang menjajaki penambangan di Kecamatan Tambakromo dan Kayen.
Di perkampungan, warga memasang bambu runcing dan aneka poster yang menolak kehadiran pabrik semen. Tulisan “Tolak Semen” juga ditempel di setiap pintu rumah yang sebagian besar terbuat dari kayu dan berwujud Joglo (rumah tradisional Jawa).
Pengaruh gerakan Sedulur Sikep telah merasuk ke warga Tambakromo dan Kayen. Pada suatu siang, di pertengahan Januari 2015, Gunretno hanya membutuhkan setidaknya dua jam untuk mengumpulkan seribuan massa.
Mereka yang sedang bekerja ladang atau memasak di rumah, langsung menghentikan aktivitasnya begitu pengeras suara di masjid, mengimbau warga berkumpul di tengah sawah.
Di sana, Gunretno dan kawan-kawannya telah menyiapkan spanduk hitam sepanjang 20 meter yang ditempeli kertas bekas membentuk sebuah kalimat. Dari ketinggian 30 meter, barulah tulisan itu lebih mudah terbaca: “Tolak Pabrik Semen di Jawa”.
“Silakan membangun pabrik semen di tempat lain yang harga semennya mahal. Agar lebih dekat ke konsumen dan harganya murah. Jawa ini lumbung pangan. Kalau negara krisis semen, bukan masalah. Kalau krisis pangan?” tanya Gunretno diplomatis.