tirto.id - Rabu, 15 Februari, jelang siang, di sebuah tempat pemungutan suara di dusun Klayu, Kecamatan Gabus, suasana tampak sepi. Di luar anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dan petugas keamanan, terlihat rombongan dua atau tiga warga bergantian datang mencoblos di sana.
Belasan kursi besi di TPS tersebut, dengan jumlah pemilih 645 orang, itu kosong melompong. TPS ini hanya sempat ramai sesaat ketika rombongan Kapolres dan Dandim Pati datang mengecek pengamanan di sana.
Setelah itu suasana kembali tenang. Para saksi juga terlihat santai karena pasangan calon di Pilkada Pati kali ini cuma satu, Haryanto-Saiful Arifin. Semua yang ada di TPS ini bekerja dengan anteng sambil menikmati alunan musik dangdut dari pengeras suara di sudut ruang pencoblosan.
“Pemilih yang datang baru 309. Ini musim tanam, banyak warga ke sawah, tanam padi, terutama ibu-ibu," ujar Jumari, anggota KPPS menjelang pukul 11.00.
TPS di radius 22,4 kilometer dari alun-alun kota Pati itu berada di pinggiran jalan raya Gabus-Tlogoayu. Jalan sepanjang belasan kilometer itu diapit ratusan hektare sawah. Seluas mata memandang, terlihat ujung daun padi saling menyembul mengais cahaya siang, terendam limpasan sungai Silugonggo setinggi dengkul.
Sepelemparan batu dari TPS 03 itu Sukaryo sibuk menerima telepon di sebuah warung berdinding bambu. Mantan lurah Tlogoayu itu terdengar berkali-kali meminta koleganya memastikan semua warga dari sejumlah desa di Kecamatan Gabus menerima undangan untuk datang ke TPS.
Ia mengatakan sedang memastikan semua jaringannya bergerak mengajak warga beramai-ramai ke TPS. Harapannya, warga bersedia memilih kotak kosong.
“Lawan kami kuat. Situasi di Pati harus di-share ke warga. Kalau mereka tahu, minimal daya tolak timbul, uang tak ada artinya,” ujar Sukaryo.
Ia melanjutkan, “Harapannya, warga tahu, lalu Pilkada dipertanyakan, 'Kenapa cuma satu calon saja, kader partai ke mana? Apalagi petahana juga terlalu over, segala cara ditempuh.”
Sukaryo adalah kader PDIP. Istrinya, Umi Warsum, pernah jadi anggota DPRD Pati periode 2009-2014 dari Fraksi PDIP. Tapi pasangan ini membuat berang petinggi PDIP Pati pada awal Desember 2016. Dinding depan rumah mereka, berlambang partai kepala banteng, memajang baliho besar posko pemenangan kotak kosong Pilkada Pati 2017.
Pemasangan baliho itu memastikan keberpihakan Sukaryo dan Umi ke Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada Pati yang dideklarasikan pada awal November 2016 atau selang setengah bulan setelah pengumuman Pilkada Pati diikuti paslon tunggal. Organisasi ini bertekad memenangkan suara pemilih kotak kosong.
“Kami pemberontak. Alasannya, tidak suka lagi kebijakan Haryanto. Pati mau jadi apa? Misalnya minimarket masuk desa-desa, lalu indikasi suap kepegawaian. Kalau paslon lebih dari satu, tidak begini,” ujar Sukaryo.
Aliansi berseberangan dengan PDIP dan tujuh partai lain: Demokrat, Gerindra, Golkar, Hanura, PKB, PKS, dan PPP. Kedelapan parpol ini membentuk koalisi gemuk mengusung Haryanto-Saiful Arifin. Koalisi pengusung paslon bermodal 46 kursi di DPRD Pati ini meninggalkan Partai Nasdem, yang cuma punya empat kursi di parlemen daerah. Tak selang lama dari deklarasi Aliansi, Partai Nasdem ikut merapat ke pendukung kotak kosong.
Itqonul Hakim, sekretaris Aliansi, mengatakan tujuan Aliansi bukan sekadar memenangkan kotak kosong. Menurut mantan Wakil Ketua GP Ansor Pati ini, Aliansi terbentuk dari keresahan sejumlah orang karena Pilkada Pati hanya diikuti oleh satu kandidat.
“Kami berasal dari berbagai kalangan, ketemu di satu keresahan yang sama. Kami tidak mewakili kepentingan orang per orang,” ujarnya.
Sebagai petahana, katanya, Haryanto diangap oleh para penggiat Aliansi tak memiliki kinerja memuaskan. Mereka kecewa mayoritas partai di Pati malah mencalonkan Haryanto.
“Kami hanya memproklamirkan diri sebagai pendukung kotak kosong. Kami tidak menggalang. Kawan-kawan relawan datang sendiri.”
Sebagai buktinya, kata Itqonul, Aliansi berhasil menggalang relawan di semua desa di Pati yang berjumlah 406 desa dan kelurahan. Ia mengklaim, “Jumlah relawan kami 10 ribuan orang lebih sedikit.”
Urusan pendanaan juga patungan. Itqonul mengatakan Aliansi juga menerima sumbangan dana dari sejumlah tokoh partai pengusung Haryanto-Saiful Arifin yang tak sepakat dengan pilihan partainya.
“Tokoh-tokoh itu ikut nyumbang, ada anggota dewan juga, kami juga saweran, buat kaos sendiri, biaya operasional sendiri, ini murni partisipasi,” katanya.
Namun, tantangan untuk Aliansi juga tak kalah besar.
Itqonul mengatakan intimidasi preman berkali-kali menguntit relawan organisasinya. Bahkan ada perang fatwa. Seorang tokoh agama di Pati menilai pemilih kotak kosong adalah "sesat dan zalim." Pendapat itu, kata Itqonul, kemudian dibantah oleh Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama Jawa Tengah Ahmad Nadhif Abdul Mujib tiga hari sebelum Pilkada. Mayoritas warga Pati dari kalangan nahdliyin.
Isu negatif juga menyudutkan Aliansi yang dianggap mewakili kepentingan Wakil Bupati Pati, M. Budiono, yang menjadi pelaksana tugas bupati menjelang Pilkada ini. Isunya, apabila kotak kosong menang, Budiono berpeluang maju ke Pilkada 2018. Tanggapan Itqonul, kalaupun ada sikap dukungan seperti itu adalah hak pribadi masing-masing orang, termasuk Budiono.
“Yang jelas kami bukan mewakili kepentingan satu orang saja. Banyak tokoh partai pendukung Haryanto mendukung kami juga,” katanya.
Dukungan untuk Aliansi menanjak sejak awal Januari 2017. Itqonul mengatakan dukungan mengalir setelah ia menggugat Panwaslu Pati di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum RI pada akhir tahun lalu.
Gugatan itu menuduh Panwaslu Pati tidak menindak pelanggaran Haryanto yang diduga menguntungkan dirinya sebagai petahana. Sebabnya, di hari penetapan sebagai calon Bupati oleh KPUD Pati pada 25 Oktober 2016, ia menerbitkan surat perintah ke wakilnya, Budiono, untuk melaksanakan tugas sebagai bupati dan mengosultasikan setiap kebijakan pemerintahan kepada dia.
Gugatan ini akhirnya ditolak oleh DKPP RI dan merehabilitasi kredibilitas ketua dan dua anggota Panwaslu Pati.
“Tapi, sejak itu banyak orang mulai tahu, secara politik terudekasi, 'Oh, ternyata bisa mempertanyakan Pilkada ini,'” ujar Itqonul.
Sedangkan juru bicara tim pemenangan Haryanto-Saiful Arifin menuding mereka yang menjadi motor Aliansi dan gerakan pemilih kotak kosong adalah barisan sakit hati. Ia mensinyalir kalangan ini kecewa karena tak berkesempatan maju ke Pilkada karena tak mendapat jatah dukungan partai di parlemen daerah.
“Sebenarnya, kami tak masalah dengan kotak kosong, tapi mereka kebablasan saat menjelek-jelekkan kami, kelihatan betul kalau sakit hati,” kata Joni.
Joni juga membantah delapan partai pengusung Haryanto-Saiful Arifin mengusung kandidat tunggal dengan iming-iming uang mahar. Alasan utamanya ialah hitungan politik di tingkat lokal Pati.
“Di Pati itu politik biaya tinggi. Selain itu, tak mungkin kalahkan Haryanto, surveinya di atas 60 persen, modal punya, jaringan luas juga ada,” kata Joni. Selain itu, “Haryanto gemar menjaga komunikasi dengan semua partai, juga terbuka ke masukan kami.”
Joni mengatakan, sekalipun Pati ialah kabupaten kecil, penduduknya padat dengan lebih dari satu juta jiwa pemilih. Sementara demografi wilayahnya ialah dataran rendah dan pegunungan. Alhasil, biaya operasional tim sukses Pilkada di kawasan ini pun besar. Banyak partai, klaimnya, juga ketakutan dengan aksi para penjudi yang biasa ikut-ikutan berusaha membalik perolehan suara dengan politik uang ketika ada persaingan Pilkada yang ketat.
“Istri saya maju ke Pilkada Pati 2011 lawan Haryanto, habis Rp20 milyar, tetap kalah. Artinya saat itu, modal Rp20 milyar saja tak cukup,” ujarnya
Joni juga menampik anggapan pendukung kotak kosong bahwa kubunya mendalangi aneka jenis pelanggaran demi meraih kemenangan. Padahal banyak kerumitan terjadi karena belum ada peraturan KPU yang mengatur secara menyeluruh terkait pendukung kotak kosong. Misalnya, aktivitas kampanye, alat peraga kampanye, hingga saksi.
“Kalau mau sewenang-wenang kami bisa, karena didukung 46 anggota dewan, tapi tidak kami lakukan,” katanya.
Panasnya Pilkada Pati dengan calon tunggal menarik perhatian Kemendagri. Ketua KPUD Pati Muhamad Nasikh mengaku mendengar langsung Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan Pilkada Pati 2017 merupakan kasus khusus yang mesti menjadi perhatian soal pembentukan regulasi baru di Pemilu. Sebabnya, baru di Pati ada gerakan memilih kotak kosong yang berjalan masif.
Nasikh berkata pelbagai produk regulasi baru perlu dibentuk untuk memperjelas aneka ketentuan yang mengatur kewenangan kelompok pendukung kotak kosong di Pilkada. Ia berpendapat kekosongan aturan seperti itulah yang menaikkan tensi politik di Pati dalam lima bulan belakangan menjelang Pilkada.
Suara Kotak Kosong Signifikan
Sebagaimana diberitakan Tirto sebelumnya, hingga Kamis sore (16/2) pasangan Haryanto-Saiful Arifin memenangi pemilihan. Pasangan ini meraup 74,52 persen suara sah, atau 519.688 pemilih. Sementara jumlah pemilih kotak kosong mencapai 25,48 persen atau 177.682 suara.
Suara sah sebanyak 696.310. Ada 15.195 suara tak sah. Artinya, dari jumlah 1.035.663 DPT, hanya 711.402 orang menggunakan hak pilihnya. Mereka yang tak mencoblos ada 324.261 pemilih. Tingkat partisipasi di Pilkada paslon tunggal ini sebesar 68,7 persen. Sebanyak 31,3 persen pemilih tak mencoblos.
Di atas kertas, pasangan Haryanto-Saiful Arifin menang telak. Namun apabila jumlah suara kolom kosong dan pemilih yang tak mencoblos digabung, ketemu 501.943 suara, hampir separuh jumlah DPT di Pati. Artinya, Haryanto-Saiful Arifin cuma menang tipis di Pilkada ini.
Betapapun Haryanto-Saiful Arifin mendominasi perolehan suara di 21 kecamatan di Pati, tetapi mereka suara kotak kosong juga mengimbangi di sejumlah kecamatan.
Paling mencolok di Kecamatan Margoyoso, suara kotak kosong sebesar 41,9 persen dan pemilih paslon tunggal, 58,1 persen. Di Kecamatan Pati, suara kotak kosong tercatat 40,4 persen dan perolehan paslon tunggal, 59,6 persen suara.
Suara kotak kosong di Kecamatan Tambakromo juga lumayan, 39,8 persen, di Kecamatan Trangkil 36,2 persen, dan di Kecamatan Wedarijaksa 33,8 persen. Adapun di Kecamatan Kayen, suara kotak kosong 32,1 persen, dan di Margorejo 30 persen. Sementara di Kecamatan Gabus, pemilih kolom kosong 27 persen dan di Kecamatan Tayu 29,2 persen. Di 11 kecamatan sisanya, pemilih kolom kosong mencapai jumlah beragam, dari 5,7 persen hingga 25,2 persen.
Sekretaris Aliansi Kawal Demokrasi Pilkada Pati Itqonul Hakim menuding separuh suara untuk Haryanto-Saiful Arifin diperoleh berkat politik uang. Organisasinya sudah melaporkan 12 kasus politik uang ke Panwaslu Pati. Sebagian besar kasus di laporan itu terjadi selama tujuh hari menjelang pemilihan.
Ia juga menyangsikan keakuratan hasil hitung cepat KPUD Pati. Hasil hitungan relawan Aliansi sampai Jumat (17/2), pemilih kotak kosong mencapai 35 persen suara sah. Itu pun para relawan Aliansi masih mengoreksi ulang ketepatan penghitungan suara kotak kosong di sebagian kecamatan, yang indikasi suaranya bisa lebih besar.
“Kalau pun kalah tipis dan terhormat karena tak pakai politik uang,” kata Itqonul pada Jumat kemarin saat dihubungi reporter Tirto.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Fahri Salam