tirto.id - Dewan Pers mengingatkan bahwa tahun politik pada 2018 dan 2019 menjadi tantangan bagi pers di Indonesia untuk mempraktikkan jurnalisme yang profesional dan independen.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyampaikan hal itu dalam sambutannya di acara Konvensi Media dalam rangkaian Hari Pers Nasional (HPN) 2018, di Padang, Sumatera Barat, pada Kamis (8/2/2018).
“Pada menjelang dan pasca-Pilpres 2014 tayangan media televisi, termasuk pemberitaannya, sepertinya terbelah menjadi 2 kekuatan, yaitu mendukung pemerintah tanpa reserve (syarat) dan lainnya menjadi oposisi yang super kritis,” kata Yosep sebagaimana sambutan tertulisnya yang diterima oleh Tirto.
Menurut Yosep, keberpihakan media akibat polarisasi politik berpeluang berlanjut pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019.
“Saat Pilkada 2018, pers Indonesia akan diuji apakah bisa menjalan fungsinya secara benar atau berselingkuh dengan kepentingan politik,” kata Yosep.
Dia menambahkan, selama 2,5 tahun terakhir, jurnalisme di Indonesia juga terganggu oleh membanjirnya berita-berita hoaks atau kabar bohong. Bahkan, fakta kebenaran yang diungkap oleh media arus utama kerap tertutup oleh berbagai berita hoaks.
Yosep menilai berita-berita hoaks itu belakangan semakin mengkhawatirkan karena telah bercampur dengan ujaran kebencian, prasangka suku-agama-ras-antargolongan (SARA), paham radikalisme dan ajakan melakukan aksi kekerasan.
“Berita hoaks ini bukan semata memuat kobohongan, tapi juga menebar kebencian, prasangka SARA, fitnah, dan juga ketidakpercayaan kepada badan-badan publik. Pada saat menjelang Pilkada serentak 2017 fenomena ini kian menguat,” ujar dia.
Yosep juga menyoroti banyaknya berita hoaks yang diproduksi oleh situs-situs yang mengaku sebagai media siber dan penyebarannya terbantu oleh media sosial (medsos). Akibatnya, masyarakat sulit untuk membedakan berita yang benar dan informasi hoaks.
Dalam konteks ini, semestinya pers di Indonesia berupaya keras menghadirkan informasi akurat untuk melawan berita-berita hoaks.
Akan tetapi, Yosep mengkhawatirkan maraknya praktik wartawan menggunakan sumber di medsos untuk mendapatkan ide dan mengembangkan berita. Sementara itu, media sosial lalu menjadi sarana penyebaran berita-berita media yang sebelumnya juga bersumber dari info di medsos.
“Dengan demikian muncul efek viral yang luas dan menimbulkan pro-kontra sebuah masalah yang sebetulnya bersumber dari berita hoaks yang tak jelas ujung-pangkalnya,” kata dia.
Dia menegaskan kenyataan ini tak bisa dibiarkan terus terjadi karena merugikan hak publik atas informasi yang benar. “Otoritas kebenaran faktual harus dikembalikan kepada media arus utama yang terverifikasi di Dewan Pers,” kata Yosep.
Dia menilai pesatnya pertumbuhan perusahaan pers di Indonesia belum dibarengi dengan kehadiran media-media berkualitas yang memuat berita-berita hasil kerja jurnalistik yang profesional dan mematuhi kode etik jurnalis.
Berdasar catatan Dewan Pers, menurut Yosep, di Indonesia saat ini ada sekitar 2.000 media cetak. Namun, hanya 567 media cetak yang memenuhi syarat kualifikasi Dewan Pers sebagai media profesional pada 2014. Pada 2015, angkanya menyusut menjadi 321 media cetak.
Sedangkan jumlah media siber diperkirakan mencapai 43.300. Tapi, Yosep mencatat media siber profesional dan lolos syarat pendataan Dewan Pers pada 2014 hanya 211 media siber. Angka ini menyusut lagi menjadi hanya 168 media siber pada 2015.
Dewan Pers juga mencatat, sampai akhir 2014, tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Pada 2015 media radio mengalami penyusutan menjadi 674. Sedangkan televisi bertambah menjadi 523.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom