tirto.id - Beberapa organisasi sipil menyoalkan pemberian izin pengelolaan tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan. Mereka menilai, pemberian izin tersebut merugikan ormas keagamaan di masa depan mulai dari alat pembenaran untuk melakukan eksploitasi tambang, merusak lingkungan hingga alat untuk merepresi rakyat. Hal ini tidak lepas dari beberapa ormas keagamaan menerima rencana izin kelola tambang seperti Nahdlatul Ulama dan terkini adalah Pengurus Pusat Muhammadiyah.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai obral izin tambang pemerintah lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batu Bara, merugikan ormas keagamaan. Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi, Rere Christianto, menilai obral izin tambang itu sebagai taktik pemerintah menyeret ormas demi ambisi industrI ekstraktif pertambangan.
"Kami melihat ini justru akan merugikan kawan-kawan ormas keagamaan, kemudian mereka dijadikan ambisi ekstraktif pemerintah," kata Rere saat dihubungi Tirto, Selasa (30/7/2024).
Rere mengklaim pemerintah akan menggunakan ormas keagamaan untuk membenarkan upaya penambangan. Ia khawatir, aksi penambangan belum tentu membawa dampak keekonomisan, melainkan konflik dengan masyarakat.
"Kalau kemudian ormas, dia bisa mewarisi konflik laten antara masyarakat dengan industrI pertambangan yang ada," ucap Rere.
Rere juga khawatir beleid itu akan berimbas pada perubahan di industri tambang. Ia menyoroti soal prioritas tambang tidak hanya untuk perusahaan BUMN, melainkan juga anak usaha BUMN. Dengan kata lain, perusahaan patungan antara swasta dengan BUMN bisa mendapat prioritas izin pertambangan.
Walhi, kata Rere, mencatat 5 juta hektar lahan telah berubah menjadi kawasan pertambangan batu bara. 2 juta dari total 5 juta hektar berada di kawasan hutan. Ia pun mengatakan, tren perusakan tidak menurun karena Kementerian ESDM mendorong peningkatan produksi batubara Indonesia dari 609 juta ton di tahun 2021 menjadi 628 juta ton di tahun 2024.
Selain itu, Rere mengklaim penggunaan batu bara sempat menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi terbesar ke-9 di dunia pada tahun 2021. Konsesi pertambangan batu bara juga diklaim sebagai ancaman budidaya agraris di Indonesia. Ia beralasan, 19 persen areal persawahan dan 23 lahan yang tersedia untuk padi baru digunakan untuk kepentingan pertambangan batu bara. Kemudian, 15 persen kawasan budi daya pangan beresiko menjadi wilayah pertambangan batubara.
Selain itu, besaran wilayah pertambangan batu bara berpotensi memicu konflik pertambangan. Walhi mencatat 827 kasus kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi dialami oleh rakyat dalam menghadapi kasus lingkungan hidup di era Presiden Jokowi. Hal itu mayoritas terjadi di wilayah pertambangan.
Oleh karena itu, Rere berharap ormas keagamaan mau melakukan judicial review atas regulasi yang diterbitkan Jokowi itu daripada menggunakan izin tersebut.
"Kami berharap ormas yang melakukan JR," kata Rere.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, memandang aturan legalisasi tambang bagi ormas keagamaan adalah jebakan dan upaya kooptasi maupun pembungkaman yang dilakukan pemerintah dan oligarki. Ia menilai, upaya mengajak ormas keagamaan mengelola tambang dilakukan demi memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak.
"Ini adalah agenda pemecahbelahan masyarakat sipil di tengah semakin otoritariannya pemerintah," kata Isnur saat dihubungi Tirto, Selasa (30/7/2024).
Isnur mengklaim, kebijakan ormas tambang adalah upaya Jokowi berupaya menghidupkan neo-otoritarianisme. Ia mengatakan, PP 25 Tahun 2024 itu modus praktik represif untuk menyusutkan ruang sipil atas kritik pembangunan melalui pendekatan kooptasi dan adu domba warga.
"Ini adalah bentuk politisasi keagamaan, ormas keagamaan akan berhadapan vis a vis dengan masyarakat, dan ormas jadi instrumen negara untuk melakukan represi terhadap rakyat," tegas Isnur.
Berdasarkan catatan LBH-YLBHI, hampir semua wilayah pertambangan berlumuran konflik, perusakan lingkungan, dan perampasan ruang hidup masyarakat. Selama ini, Isnur menyebut, praktik pertambangan tak pernah berpihak pada rakyat dan lingkungan, bahkan kegiatan sektor pertambangan sebagai penyebab konflik SDA karena karakternya yang merusak alam dan merampas sumber-sumber penghidupan warga.
Isnur mencontohkan, yang terjadi dalam pertambangan di Wadas, Jawa Tengah, penambangan batu bara di Pulau Kalimantan; dan penambangan nikel di Pulau Sulawesi dan Maluku, telah menyebabkan pencemaran air laut, air tanah, dan udara yang menimbulkan hak-hak kesehatan dan berkurangnya sumber pangan warga setempat.
Isnur berkata dalam proses perizinan, perusahaan tambang kerap menggunakan cara kotor dan tanpa ada persetujuan masyarakat. Ia memandang bila narasinya ormas keagamaan akan bekerja sama dengan perusahaan permasalahannya adalah selama ini tidak ada perusahaan tambang yang mengedepankan pemenuhan HAM dan prinsip demokrasi.
"Sehingga ormas juga akan menjadi bagian dari pelanggaran HAM," tutur Isnur.
Isnur sebut setidaknya terdapat puluhan ribu titik lubang tambang yang dibiarkan menganga tanpa ada proses rehabilitasi. Lubang-lubang ini juga telah memakan korban dari tahun ke tahun. Dengan adanya obral izin tambang kepada ormas, jelas dia, justru akan memperpanjang kasus tambang serupa dan lagi-lagi korbannya adalah masyarakat terdampak secara langsung.
Ia mengatakan pemberian penawaran khusus kepada ormas keagamaan juga diindikasikan penuh kepentingan dalam kepemimpinan Jokowi. Aksi itu juga diyakini sebagai upaya penundukan terhadap organisasi kemasyarakatan yang seharusnya menjadi kawan kritis kebijakan negara.
"Dengan adanya jalan khusus pemberian WIUPK ini, sudah barang tentu penjaga kedaulatan rakyat dan sebagai perwujudan negara demokrasi kian melemah," tutup Isnur.
Tirto juga sudah berusaha menghubungi anggota Ombudsman, Hery Susanto,
untuk dimintai tanggapan apakah beleid ini diduga maladministrasi. Namun, hingga berita ini dipublikasikan, Hery belum merespons.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher