Menuju konten utama

UU Minerba Dibahas Kilat, DPR Manjakan Oligarki Tambang & Istana

RUU Minerba yang resmi disahkan menjadi UU setelah dibahas kilat di DPR, menuai banyak protes dan dinilai menguntungkan korporasi tambang serta tidak mengakomodir aspirasi rakyat.

UU Minerba Dibahas Kilat, DPR Manjakan Oligarki Tambang & Istana
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif (kanan) menerima draft pandangan mini fraksi yang diserahkan oleh anggota Komisi VII DPR Fraksi PAN, Eddy Soeparno dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/5/2020). ANTARA FOTO/Didik Setiawan.

tirto.id - “Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu memborbadir WhatsApp ke anggota Panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror."

Kalimat itu diucapkan oleh Ketua Panja RUU Minerba, Bambang "Pacul" Wuryanto, saat rapat kerja virtual Komisi VII DPR RI bersama pemerintah, Senin (11/5/2020) kemarin. Rapat itu menjadi rapat terakhir pembahasan RUU Minerba di tingkat satu, yang kemudian akan dibawa ke tingkat dua (rapat paripurna) untuk disahkan menjadi undang-undang.

Politikus PDIP itu terlihat kesal karena banyaknya pesan-pesan penolakan atas pembahasan RUU Minerba yang membombardir WhatsApp-nya.

Gerakan penolakan tersebut diinisiasi beberapa organisasi yang memang fokus pada isu lingkungan, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), WALHI Nasional, dan Auriga Nusantara--yang tergabung dalam Koalisi #BersihkanIndonesia.

Pesan dengan kalimat "HENTIKAN RUU MINERBA SEKARANG JUGA! FOKUS LINDUNGI RAKYAT, BUKAN KORPORAT!" tak hanya masuk ke WhatsApp Bambang Pacul, tapi juga ke seluruh pimpinan dan anggota Komisi VII, serta Menteri ESDM Arifin Tasrif.

RUU Minerba ini memang menuai banyak protes sejak tahun lalu. RUU ini menjadi salah satu pemicu demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan masyarakat sipil pada September 2019 lantaran banyak RUU bermasalah yang akan disahkan. RUU Minerba dianggap bakal melanggengkan energi kotor dan memberi karpet merah bagi perusahaan tambang.

Koalisi menyebutkan pemerintah tengah menyediakan beragam kemudahan demi menyelamatkan perusahaan tambang. Salah satunya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan.

Bagi pengusaha batu bara, pemerintah juga menyediakan insentif fiskal dan non fiskal dengan syarat tertentu seperti hilirisasi.

Koalisi juga mencatat masih ada sederet fasilitas yang disediakan RUU Minerba. Antara lain perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah plus lelang, perluasan definisi wilayah pertambangan sampai lautan plus pulau kecil, peluang tak menjalankan reklamasi pasca tambang, sampai pemindahtanganan IUP dan IUPK.

Selain itu, masih ada juga ketentuan aneh yang menghapuskan pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin. Berbagai izin kini juga dipusatkan kembali ke pemerintah pusat tanpa mempertimbangkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengawasi dan membina. Dalam revisi itu, RUU dinilai sangat minim perhatian bagi dampak industri pertambangan itu sendiri.

Cepat Kilat Bahas Tambang

Tahun berganti, RUU Minerba ini masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2020 yang juga diusulkan DPR RI. RUU ini masuk dalam status carry over dari DPR periode sebelumnya.

Pembahasan RUU ini kembali dimulai Komisi VII DPR RI bersama Menteri ESDM pada 13 Februari 2020 lalu. Terdapat 938 daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan pemerintah, dengan rincian 235 DIM disetujui dan 703 DIM perlu dibahas lewat Panja. Hari itu juga Panja RUU Minerba dibentuk, dengan Bambang Pacul sebagai ketuanya.

Selanjutnya pembahasan intensif RUU Minerba dilakukan oleh Panja dan tim pemerintah sejak 17 Februari hingga berakhir 6 Mei 2020 lalu. Artinya, pembahasan 703 DIM dalam RUU Minerba dibahas kurang dari tiga bulan.

Ditambah, rapat pembahasan sinkronisasi RUU Minerba pada 6 Mei tersebut dilakukan tertutup, selama 4,5 jam, dan hanya 17 anggota DPR yang hadir.

Pembahasan yang dikebut dan tertutup ini masalah lainnya yang diprotes oleh Koalisi #BersihkanIndonesia. Mereka pun mendesak pengesahan RUU Minerba dibatalkan.

“Alih-alih memprioritaskan penyelamatan rakyat di tengah krisis pandemi COVID-19, DPR-Pemerintah justru menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi korporasi tambang,” ucap peneliti Publish What You Pay Indonesia (PWYPI) Aryanto Nugroho, yang juga tergabung dalam koalisi.

UU Minerba Bukan untuk Rakyat

Akhirnya RUU Minerba resmi disahkan menjadi UU lewat rapat paripurna DPR RI, Selasa (12/5/2020) sore.

Sebelum diketuk palu pengesahan, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, yang juga merupakan Wakil Ketua Panja RUU Minerba, melaporkan hasil kerja komisi dan panja dalam membahas RUU tersebut selama kurang lebih tiga bulan.

"Proses pembahasan DIM RUU Minerba dilaksanakan secara intensif sepanjang 17 Februari sampai 6 Mei 2020," kata Sugeng dalam pidatonya.

Ia juga mengklaim bahwa di sela-sela pembahasan, Panja RUU Minerba DPR RI menerima masukan dan pandangan dari Tim Peneliti Fakultas Hukum UI yang dipimpin oleh Prof Hikmahanto Juwana pada 7 April 2020 dan melaksanakan rapat dengan Komite II DPD RI pada 27 April 2020.

Kata Sugeng, secara umum RUU Minerba yang telah dibahas terdapat penambahan bab baru, yaitu Bab IV A tentang Rencana Pengelolaan Mineral dan Batubara dan Bab XI A tentang Surat Izin Penambangan Batuan.

Ia menambahkan, secara keseluruhan rancangan konsep RUU Minerba telah diharmonisasikan dengan RUU Cipta Kerja menghasilkan perubahan bab dan pasal: jumlah dua bab baru yang akhirnya menjadi total 28 bab, jumlah 83 pasal yang berubah, jumlah 52 pasal tambahan/baru, dan jumlah 18 pasal dihapus.

"Sehingga total jumlah pasal 209," katanya.

Sugeng juga menyadari bahwa RUU itu banyak mendapat penolakan dari beberapa pihak, dan ia mengaku RUU itu belum bisa menyenangkan semua pihak.

"Kami menyadari bahwa RUU Minerba ini belum lah "menyenangkan" semua pihak, namun kami yakin RUU ini mampu memberi solusi terhadap permasalahan yang dihadapi terutama berkaitan dengan tata kelola pertambangan di Indonesia," katanya.

Kepala Kampanye JATAM, Melky Nahar, menilai bahwa ucapan Sugeng tersebut seperti mengonfirmasi bahwa memang tak ada organisasi yang fokus di isu lingkungan dan energi, serta masyarakat terdampak, yang diundang dalam pembahasan RUU.

Tak hanya itu, Melky menilai pembahasan RUU itu minim transparan sedari awal karena tak pernah ada draf RUU atau DIM dipublikasikan di laman resmi DPR RI.

"Kalau misal mereka jujur dan terbuka, bahwa RUU mau berpihak ke masyarakat dan lingkungan, kenapa tidak mau transparan untuk mempublikasikan draf, DIM, dan mengundang organisasi dan terutama warga yang terdampak? Mereka akan mengalami dampak paling besar," kata Melky saat dihubungi, Selasa malam.

Itu artinya, lanjut Melky, sedari awal memang RUU ini didesain untuk mengakomodir kepentingan oligarki tambang itu sendiri, yang sebagian besar ada di lingkaran Istana Negara dan DPR RI Senayan.

"Dengan cepatnya dibahas dan tanpa melibatkan banyak pihak, sulit untuk menyangkal bahwa UU itu memang untuk kepentingan oligarki tambang," katanya.

Melky juga mengkritik pidato Sugeng yang menyebut "RUU Minerba belum bisa menyenangkan semua pihak" sebagai pernyataan yang tak masuk akal dan konyol. Sebab, menurut Melky, pernyataan seperti itu sama saja mengangkangi substansi dasar sebuah UU atau regulasi yang seharusnya berada untuk kepentingan publik.

"Pernyataan Sugeng itu tidak masuk akal dan konyol. Padahal kan suatu UU bisa dibuat untuk kepentingan publik. Jadi kalau ada statemen seperti itu, RUU ini memang untuk menyenangkan korporasi tambang dan elite-elite politik Senayan dan Istana," katanya.

Melky juga menyoroti bagaimana di dalam UU Minerba tak ada satu pun klausul atau pasal yang menempatkan warga sebagai subjek yang berdaulat menentukan tanah mereka sendiri.

"Tak ada pasal yang memungkinkan rakyat memiliki hak veto menolak tambang di tanahnya sendiri. Malah ada pasal kriminalisasi," katanya.

"Saya malah curiga, kalau statemen "tak bisa menyenangkan semua pihak" itu untuk perusahaan-perusahaan tambang kecil yang tak terakomodir, bukan untuk warga. Karena ada pasal perpanjangan otomatis untuk izin tambang. Saya membacanya ke situ. Malah tidak rasional jika pernyataan itu buat warga," lanjutnya.

Sejak Selasa siang, wartawan Tirto telah mencoba menghubungi Sugeng lewat telepon dan pesan singkat WhatsApp untuk meminta penjelasan bagaimana keterlibatan publik dalam pembahasannya. Namun, hingga Selasa malam tak ada respons sama sekali.

Baca juga artikel terkait RUU MINERBA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri