tirto.id - Keputusan Komisi VII DPR RI dan pemerintah untuk menyelesaikan pembahasan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) menuai kritik.
Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam #BersihkanIndonesia menilai hal itu menjadi bukti kalau pemerintah tengah memanjakan industri tambang dan batu bara di tengah pandemi Corona atau COVID-19. Mereka pun mendesak pengesahan RUU Minerba dibatalkan.
“Alih-alih memprioritaskan penyelamatan rakyat di tengah krisis pandemi COVID-19, DPR-Pemerintah justru menyediakan jaminan (bailout) dan memfasilitasi perlindungan bagi korporasi tambang,” ucap Peneliti Publish What You Pay Indonesia (PWYPI) Aryanto Nugroho dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (11/5/2020).
Adapun sejumlah organisasi yang memprotes pengesahan RUU ini terdiri dari PWYPI, Yayasan Auriga Indonesia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Jaringan Aksi Tambang (Jatam). Pernyataan organisasi ini merespon keputusan DPR-pemerintah pusat pada Senin (11/5/2020) yang memutuskan RUU Minerba dibahas pada tingkat kedua atau semakin dekat menjadi UU seutuhnya.
Koalisi menyatakan salah satu buktinya terlihat dari kekosongan ruang aspirasi dan partisipasi publik akibat krisis COVID-19 yang memang dimanfaatkan pemerintah dan DPR. Di sisi lain, proses pembahasan dan pengesahan RUU Minerba dinilai cacat prosedur dan hukum karena melanggar tata cara penyusunan UU sampai mengabaikan hak konstitusi warga negara.
Dalam isinya, koalisi menyebutkan pemerintah tengah menyediakan beragam kemudahan demi menyalamatkan perusahaan tambang. Salah satunya wacana usulan pemotongan tarif royalti yang harus dibayar kepada negara dan sejumlah insentif lainnya bagi perusahaan. Bagi pengusaha batu bara pemerintah menyediakan insentif fiskal dan non fiskal dengan syarat tertentu seperti hilirisasi.
Koalisi juga mencatat masih ada sederet fasilitas yang disediakan RUU Minerba. Antara lain perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah plus lelang, perluasan definisi wilayah pertambangan sampai lautan plus pulau kecil, peluang tak menjalankan reklamasi pasca tambang, sampai pemindah-tanganan IUP dan IUPK.
Selain itu, masih ada juga ketentuan aneh yang menghapuskan pasal 165 tentang sanksi pidana bagi pelanggaran penerbitan izin. Berbagai izin kini juga dipusatkan kembali ke pemerintah pusat tannpa mempertimbangkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengawasi dan membina. Dalam revisi itu, menurut Aryanto sangat minim perhatian bagi dampak industri pertambangan itu sendiri.
“Sebanyak 90 persen isi dan komposisi RUU ini hanya mengakomodasi kepentingan pelaku industri batu bara,” ucapnya.
Selasa (12/5/2020) siang ini, DPR mengagendakan rapat paripurna untuk mengesahkan RUU Minerba setelah disepakati bersama pemerintah pada Senin (11/5/2020). Pembasahan RUU Minerba diselesaikan DPR dan Pemerintah hanya dalam kurun waktu tiga bulan yang dimulai sejak Februari 2020.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan