tirto.id - Panitia Kerja Revisi UU Mineral dan Batubara (Panja RUU Minerba) enggan menanggapi protes sejumlah pihak. Ketua Panja RUU Minerba Bambang Wuryanto mengatakan jika ada yang keberatan, maka sebaiknya mereka menggunakan jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kalau enggak cocok, lakukan judical review. Enggak perlu memborbadir Whatsapp ke anggota panja. Mohon maaf. Enggak perlu teror,” ucap Bambang dalam rapat kerja virtual Komisi VII DPR RI bersama pemerintah, Senin (11/5/2020).
Bambang mengatakan banyak pesan masuk ke ponselnya jelang rampungnya pembahasan revisi UU No 4 Tahun 2009 tingkat I. Isi pesan meminta DPR menghentikan pembahasan karena dianggap terlalu cepat dan diam-diam. Peraturan ini pun dianggap berdampak buruk.
Ia mengatakan pembahasan revisi sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2016. Pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo, pembahasan revisi menurutnya sudah masuk ke tahap akhir dan hampir disahkan.
Ia juga mengingatkan kalau DPR sudah membahas peraturan ini bersama pemerintah dan melalui diskusi yang panjang. Dengan kata lain, telah memenuhi syarat.
“Enggak ada DPR yang suka-suka dan enggak ada juga pemerintah yang suka-suka,” ucap Bambang.
Salah satu kelompok masyarakat yang menolak revisi adalah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Dalam rilis, mereka menyebut “semangat RUU Minerba ini sangat eksploitatif, terus bergantung pada sumber energi kotor batubara.”
Pemerintah juga dianggap membuka ruang rente baru dalam bentuk Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB). Perusahaan bahkan boleh menambang di sungai dengan luas maksimal menjadi lebih besar, yakni 100 hektare.
Selain itu, sejumlah keistimewaan pun dianggap diberikan kepada korporasi tambang, yaitu hak penguasaan lahan semakin diperpanjang yang berpotensi memunculkan masalah baru, land banking.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino