Menuju konten utama

YLBHI Minta Penggusuran Paksa Warga Kulon Progo Dihentikan

Rencana pengosongan lahan Bandara Kulon Progo yang sudah berlangsung sejak Senin (27/11/2017) ini mendapatkan penolakan dari warga petani terdampak dan YLBHI serta 15 LBH se-Indonesia.

Warga pesisir Kulonprogo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DIY, Senin (18/4). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Hari ini, Senin (4/12/2017) rencananya PT Angkasa Pura (AP) I akan mengosongkan lahan dan rumah milik warga petani terdampak pembangunan Bandar Udara Baru (New Yogyakarta International Airport/NYIA) atau biasa disebut Bandara Kulon Progo.

Rencana pengosongan lahan Bandara Kulon Progo yang sudah berlangsung sejak Senin (27/11/2017) ini mendapatkan penolakan dari warga petani terdampak dan YLBHI serta 15 LBH se-Indonesia.

“Kami tak habis pikir dengan langkah yang diambil oleh PT AP I tersebut. Entah disadari atau tidak, sesungguhnya terdapat hal-hal mendasar yang diabaikan begitu saja,” ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI Siti Rakhma Mary.

Menurut Siti, beberapa alasan penolakan penggusuran paksa ini salah satunya terkait izin lingkungan yang sudah terbit per 17 Oktober 2017 lalu, namun studi amdal yang melandasi terbitnya izin tersebut tidak sahih secara hukum.

“Deskripsi rona lingkungan hidup awal (environmental setting) yang pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi), makin tidak layaklah Bandara Kulon Progo dibangun,” tegasnya.

Sementara secara prosedural, dikatakan Siti, proses studi amdal itu tidak dilakukan pada tahapan yang semestinya, ada tahapan yang dilompati oleh AP I.

“Bukannya amdal disusun terlebih dulu sebagai pra-syarat untuk menerbitkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY (IPL), yang terjadi malah melompat jauh ke tahapan groundbreaking dan bahkan sudah masuk ke tahapan konstruksi (mobilisasi alat),” jelasnya.

Bahkan tim peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menemukan deposit tsunami di dekat bakal lokasi bandar udara baru di Yogyakarta. Deposit tsunami itu diperkirakan berusia 300 tahun, seumuran jejak pantai selatan Banten dan Jawa Barat. Potensi gempa di kawasan ini, berdasarkan sebaran deposit tsunaminya, bisa di atas M9, ditambahkan Direktur LBH Yogyakarta Hamzal Wahyudin mengutip pernyataan Kepala Geoteknologi LIPI Eko Yulianto.

“Jika suatu saat terjadi lagi tsunami seperti di Pantai Pangandaran dengan (kekuatan kegempaan) magnitude lebih tinggi sedikit saja, bandara baru itu akan kena mulai bagian apron, terminal sampai runway-nya,” ujar Hamzal.

“Khalayak umum terutama masyarakat calon pengguna jasa transportasi udara seakan-akan sedang dijerumuskan ke kawasan beresiko bahaya ekstra, yaitu kawasan rawan bencana tsunami,” tambahnya.

Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, Hamzal menandaskan pihaknya mengecam keras terhadap langkah yang diambil oleh AP I untuk melakukan upaya pengosongan paksa.

“Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan upaya paksa melalui mobilisasi aparat negara, menggunakan alat berat, dan disertai pemutusan akses aliran listrik tersebut adalah tindakan represif yang jelas-jelas bertentangan dengan HAM,” ujarnya.

Oleh karena itu, YLBHI mendesak dan menuntut kepada Presiden Jokowi, Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan Angkasa Pura I untuk:

1. Menghentikan seluruh aktivitas pengosongan paksa terhadap lahan dan rumah-rumah warga;

2. Menghentikan seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport Kulon Progo;

3. Mengembalikan hak-hak warga pada kondisi semula.

Baca juga artikel terkait BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri
-->