tirto.id - Kulon Progo kembali memanas. Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP) mengeluhkan tindakan PT Angkasa Pura I yang melakukan pengosongan lahan secara paksa untuk pembangunan Bandara Kulon Progo pada Senin (27/11/2017). Para petani menilai tindakan tersebut melanggar HAM dan meminta Presiden Joko Widodo, Gubernur DIY, serta Kapolda menghentikan proses pembangunan bandara.
Melalui keterangan pers yang diterima Tirto pada Kamis (30/11/2017) PPLP-KP menyatakan, “Hentikan pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) sekarang juga karena ada indikasi kekerasan dan pelanggaran HAM. Usut tuntas kekerasan aparat kepolisian dan TNI terhadap warga penolak [pembangunan] bandara.”
Manajer Proyek NYIA PT Angkasa Pura, Sujiastono, mengatakan proses pengosongan lahan dan bangunan merupakan bagian pengadaan tanah yang dilakukan AP I serta telah dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Wates.
Menanggapi klaim PT Angkasa Pura I itu, PPLP-KP menegaskan PT Angkasa Pura I telah melakukan upaya penggusuran paksa dengan dalih konsinyasi atau penitipan uang di pengadilan. Padahal, menurut pengakuan PPLP-KP, warga Kulon Progo tidak pernah mengikuti proses konsinyasi. Terlebih, surat dari pengadilan tidak pernah mereka terima.
PPLP-KP menambahkan konsinyasi dari Pengadilan Negeri Wates menjadi dalih agar penggusuran sah untuk dilakukan. Di waktu bersamaan, semenjak tanggal 24 November hingga 4 Desember 2017, PT Angkasa Pura I bersama dengan PT Pembangunan Perumahan (PP) dan PT Surya Karya Setiabudi (SKS) terus melakukan perusakan rumah serta pohon-pohon milik warga yang menolak pembangunan bandara baru.
“Ada sekitar 300 jiwa dan 100 KK [kepala keluarga] terancam kehidupannya di dominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Sejumlah warga yang berusaha mempertahankan tanahnya diperlakukan tidak manusiawi, ibu-ibu diseret sampai ada penangkapan warga dengan memborgol tangan kemudian dibawa ke kantor PT Pembangunan Perumahan untuk diamankan,” pungkas PPLP-KP.
Di Mana Ada Konflik Agraria, di Situ Ada Kekerasan Aparat
Pembangunan bandara baru Yogyakarta memiliki riwayat resistensi yang panjang dari para warga maupun petani. Aksi penolakan petani tak jarang ditanggapi dengan tindakan represif oleh aparat berwenang. Pada 2016, misalnya, para petani mendapat intimidasi dan balasan kekerasan dari polisi kala proses pendataan lahan oleh tim Bandara Kulon Progo.
LBH Yogyakarta mengungkapkan kejadian bermula pada pukul 08.00. Saat itu, kurang lebih dari 1.000 personel keamanan yang terdiri atas polisi, TNI, serta tim bandara “menyerbu” Desa Sidorejo. Tujuan kedatangan mereka ialah melakukan penilaian terhadap tanah pemakaman umum di desa setempat.
Ratusan warga yang menentang proses dan kedatangan mereka lantas berkumpul di dalam makam sembari berjaga-jaga sekaligus membentuk blokade guna menutup pintu masuk makam. Perundingan sempat terjadi dan menghasilkan keputusan: yang diperbolehkan masuk makam hanya tim penilai bandara.
Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Ratusan aparat justru ikut merangsek masuk ke dalam makan. Barikade pengamanan yang dibentangkan para petani di makan malah dibongkar paksa oleh aparat. Alasannya: tidak dianggap berkepentingan. Padahal, tanah makan tersebut berstatus hak milik para petani. Pihak pengelola bandara juga sudah diingatkan petani agar tidak mengusik tanah makam ini.
Ironisnya, pemerintah dan aparat tidak mau tahu. Alih-alih mendengarkan keinginan petani, mereka malah mengintimidasi dan melakukan aksi kekerasan terhadap petani. Di tengah situasi yang ricuh, warga dan petani berlarian, terpojok, terkena pukulan, hingga tendangan dari aparat.
Pada tahun yang sama, kondisi serupa terjadi di Kalimantan. Konflik melibatkan PT Sintang Raya dengan delapan desa di Kecamatan Kubu, Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat. Kala itu, warga dan petani melakukan protes dengan memanen tandan buah sawit di lahan milik mereka yang diklaim menjadi milik PT Sintang Raya. Mereka melakukan hal itu sebagai bentuk protes agar segera didapatkan penyelesaian.
Tapi, aksi warga dibalas dengan kriminalisasi dan kekerasan. PT Sintang Raya bahkan sampai memobilisasi aparat kepolisian guna membalas aksi warga. Setidaknya 11 orang menjadi korban aparat dan 4 lainnya ditangkap. Belum cukup sampai sini, PT Sintang Raya dan kepolisian melakukan teror pasca aksi yang mengakibatkan ratusan orang setempat mengungsi.
Dari Kalimantan, represi aparat terhadap petani pindah ke Sulawesi Selatan. Dua tahun sebelum insiden di Kalimantan dan Kulon Progo, konflik yang melibatkan PT Sinar Merdeka (Sindoka) serta warga adat Pamona terjadi di Desa Teromu, Mangkutana, Luwu Timur.
Awal mula konflik disebabkan pada 2017, HGU (Hak Guna Usaha) lahan PT Sindoka habis dan dibiarkan terlantar. Berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Usaha adalah hak khusus mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan.
Masyarakat yang melihat terlantarnya lahan tersebut lantas mulai menggarapnya sejak 1998. Selepas sekian tahun dikelola warga, PT Sindoka mulai berupaya mengambil alih lahan yang ditelantarkannya dan sudah habis masa HGU itu. Langkah yang dilakukan: menutup akses warga untuk memanen hasil tanam. Warga jelas tidak terima diperlakukan tidak adil oleh PT Sindoka.
Bulan Juni 2014, bentrokan pun terjadi. Polisi yang seharusnya membela warga dan petani justru mengambil sikap berbeda dengan melakukan tindak kekerasan menyasar mereka. Walhasil, sekitar 57 orang ditangkap di samping mengakibatkan korban berjatuhan beserta luka-luka lebam di wajah hingga anggota badan lainnya.
Di Sumatera pun juga setali tiga uang. Pada November 2016, aparat berjumlah 1.500 yang terdiri dari polisi dan TNI memaksa masuk ke Desa Mekarjaya, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Aparat tak datang sendirian. Mereka membawa 24 alat berat guna menghancurkan rumah di lahan milik petani Desa Mekarjaya yang berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II. Petani yang menolak penggusuran tempat mereka, dibalas dengan aksi kekerasan aparat. Tak hanya sampai situ saja, aparat juga menangkap petani yang melakukan perlawanan.
Ketua DPC Serikat Petani Indonesia Langkat, Suriono menjelaskan sudah berulang kali aparat kepolisian berusaha menggusur tempat petani setempat. Akan tetapi, penggusuran tidak terjadi lantaran pihak Serikat Petani Indonesia mampu menjelaskan duduk perkara konflik tanah mereka. Sayangnya, angin surga itu hanya sementara. Pihak kepolisian tetap saja melakukan penggusuran.
Berdasarkan laporan KPA, sedikitnya telah terjadi 450 konflik agrarian sepanjang 2016 dengan luasan wilayah 2.829.254 hektar dan melibatkan 86.745 Kartu Keluarga (KK) di seluruh provinsi di Indonesia. Perkebunan masih tetap menjadi sektor penyebab tertinggi konflik agraria dengan angka 163 konflik (36,22 %), disusul sektor properti dengan jumlah konflik 117 (26,00 %), lalu di sektor infrastruktur dengan jumlah konflik 100 (22,22 %). Kemudian, di sektor kehutanan sebanyak 25 konflik (5,56 %), sektor tambang 21 (4,67 %), sektor pesisir dan kelautan dengan 10 konflik (2,22 %), dan terakhir sektor migas dan pertanian yang sama-sama menyumbangkan sebanyak 7 konflik (1,56 %).
Konflik agraria tersebar di 34 Provinsi, dengan enam besar provinsi sebagai penyumbang konflik tertinggi, antara lain: 1) Riau dengan 44 konflik (9,78 %), 2) Jawa Timur dengan 43 konflik (9.56 %), 3) Jawa Barat sebanyak 38 konflik (8,44 %), 4) Sumatera Utara 36 konflik (8,00 %), 5) Aceh 24 konflik (5,33 %), dan Sumatera Selatan 22 konflik (4,89 %).
Undang-Undang yang Tak Melindungi Petani
Keberadaan petani di Indonesia sebetulnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Dalam Pasal 1 dijelaskan, yang dimaksud dengan perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu petani untuk menghadapi permasalahan seperti kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim.
Sedangkan pemberdayaan petani merupakan upaya meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani.
Tujuan perlindungan dan pemberdayaan petani (diatur pada Pasal 3) yakni untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik, menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani, memberikan kepastian usaha tani, melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen.
Selain itu tujuan lainnya yaitu meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern dan berkelanjutan, hingga menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usaha tani.
Dari penjelasan pasal-pasal di atas memperlihatkan pemerintah berkewajiban memastikan keberlangsungan kegiatan tani dan nasib petani. Meski demikian, apa yang tertulis pada undang-undang tak jarang hanya sebatas formalitas. Urusan terlaksana atau tidak itu hal belakangan.
Tiga tahun yang lalu, elemen organisasi masyarakat sipil seperti Konsorsium Pembaruan Agraria, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Serikat Petani Indonesia (SPI), Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Aliansi Petani Indonesia (API), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengajukan sidang uji materil terhadap beberapa pasal di Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Menurut para pemohon, konteks dan substansi Undang-Undang ini ternyata tak sebagus namanya, bahkan di dalamnya terselip agenda model pembangunan kekuatan modal besar yang akan meminggirkan petani kecil. Bagi elemen organisasi masyarakat Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tidak menjawab empat pokok persoalan agraria yaitu ketimpangan yang menyebabkan kemiskinan, konflik dengan kekerasan, kerusakan lingkungan membuahkan bencana, serta disharmoni peraturan perundang-undangan.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf