Menuju konten utama

Pembangunan Bandara KP, Potret Hukum Represif

Rencana pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo (KP), merupakan salah satu potret rezim pembangunan infrastruktur yang masif dilaksanakan di Indonesia sekaligus potret hukum yang represif kata Yogi Zul Fadli, staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya.

Pembangunan Bandara KP, Potret Hukum Represif
Warga pesisir Kulonprogo yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) DIY, Senin (18/4). ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko.

tirto.id - Rencana pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo (KP), merupakan salah satu potret rezim pembangunan infrastruktur yang masif dilaksanakan di Indonesia sekaligus potret hukum yang represif. Hal itu disampaikan oleh Yogi Zul Fadli, staf Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogya dalam diskusi bertajuk, “Potret HAM dalam Sengketa Tanah Bandara,” di PUSHAM UII Yogyakarta, Rabu (21/12/2016).

“Pembangunan masif ini fenomena menarik tapi juga memprihatinkan,” ujar Yogi memulai pemaparan diskusi, bersama dengan Martono, ketua Wahana Tri Tunggal dan AB Widyanta, Peneliti dari PSPK (Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan) UGM.

Yogi menerangkan pembangunan infrastruktur yang notabene punya tujuan untuk menyejahterakan rakyat ini memprihatinkan karena menggusur masyarakat yang selama ini mampu menghidupi keluarganya secara mandiri dengan cara bertani.

“Masyarakat petani ini mengalami perlakuan hukum yang represif,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan hukum represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif (menekan, mengekang, menahan, atau pun menindas) dan kepada tata tertib sosial yang represif. Artinya menurut Yogi, hukum bisa dijalankan sesuai kemauan si pemegang kekuasaan.

Dalam konteks pembangunan bandara, Yogi pada saat Angkasa Pura mendesak masyarakat untuk menyetujui proyek pembangunan bandara dengan uang ganti rugi dan segala bentuk janji-janji lainnya merupakan bentuk implementasi hukum represif.

Pernyataan Yogi diperkuat dengan pengalaman Martono, Ketua WTT yang hadir dalam diskusi tersebut. Martono menyampaikan pada awalnya warga terdampak yang berjumlah total kurang lebih 518 KK tersebut tidak sepakat, namun ketidaksepakatan warga ini berangsur-angsur berubah setelah proses sosialisasi berjalan terutama ketika muncul uang pengganti dan lahan relokasi.

Kini tersisa warga dari WTT yang masih menolak pembangunan. Sepengakuan Martono, perjuangannya dengan teman-teman sesama warga WTT tidak akan berhenti.

Tekad kuat Martono ini dinilai berani oleh AB. Widyanta, peneliti dari PSPK UGM. Widyanta mengaku bertemu dengan Martono pertama kali pada tahun 2014. Pada saat itu, ia datang sebagai peneliti yang ingin menganalisa apakah pembangunan Bandara Internasional Kulonprogo berpusat pada pengembangan manusia.

“Pada tahun 2014 saya masuk ke warga dan ketika melakukan penelitian saya melihat ada konflik horizontal,” aku Widyanta.

Konflik horizontal tersebut dijelaskannya secara singkat sebagai sebuah konflik yang terjadi antar warga dan antar anggota keluarga. Konflik antar warga tersebut terjadi di antara warga pro pembangunan dengan warga kontra pembangunan. Sementara di dalam keluarga, ada anggota keluarga yang pro dan juga kontra sehingga menimbulkan perselisihan.

Ia menganalisa, pembangunan bandara di Indonesia merupakan tanda rezim neoliberalisme meluas di Indonesia. Rezim ini menantang individu sebagai subjek, sosial atau kelompok masyarakat, dan soil/land (tanah, tempat hidup) masyarakat dalam kosmologi kehidupan. Tempat hidup tersebut, menurut Widyanta merupakan pembentuk identitas.

“Saat ini masyarakat petani sedang dipaksa kehilangan identitasnya, karena dengan adanya pembangunan bandara dan pembangunan infrastruktur lainnya artinya Indonesia sedang bergerak ke industri jasa,”

Pergerakan ke industri, kata Widyanta, tidak sesuai dengan Indonesia yang jelas-jelas merupakan negara agraris.

Baca juga artikel terkait BANDARA UDARA atau tulisan lainnya dari Mutaya Saroh

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mutaya Saroh
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh