tirto.id - Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengungkap utang operator bandara PT Angkasa Pura I (Persero) tembus Rp38 triliun. Tumpukan utang ini berasal dari beberapa proyek yang mengalami kesulitan operasional, salah satunya bandara baru yang merupakan proyek ambisius pemerintah belum bisa beroperasi optimal serta rendahnya lalu lintas di seluruh bandara yang dikelola AP I selama pandemi COVID-19.
“Memang AP I sekarang tekanannya berat sekali, kondisi keuangan mereka sekarang [utang] mencapai Rp35 triliun dan kalau kita rate loss bulanan mereka Rp200 miliar dan setelah pandemi utang bisa mencapai Rp38 triliun,” kata pria yang akrab disapa Tiko dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (2/12/2021).
Arus kas perseroan turut diberatkan oleh banyaknya bandara baru yang selepas peresmian disambut pandemi COVID-19. Misalnya Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo yang dibangun dengan biaya Rp12 triliun, tapi sepi penumpang.
Kondisi ini diakui Direktur Utama PT Angkasa Pura I Faik Fahmi. Ia menjelaskan, pihaknya tengah mengalami tekanan kinerja operasional dan finansial akibat pandemi COVID-19 yang masih berlangsung hingga kini.
Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, kata dia, perseroan melakukan program restrukturisasi operasional dan finansial perusahaan yang diharapkan rampung pada Januari 2022, sehingga perusahaan kemudian dapat bangkit dalam beberapa waktu ke depan.
Pandemi COVID-19 yang mulai terjadi di Indonesia sejak Maret 2020 berdampak terhadap penurunan drastis trafik penumpang di 15 bandara AP I. Sebagai gambaran, pada 2019, trafik penumpang di bandara AP I mencapai 81,5 juta penumpang. Namun ketika pandemi melanda awal 2020, trafik penumpang turun menjadi 32,7 juta penumpang dan pada 2021 ini diprediksi hanya mencapai 25 juta penumpang.
Pandemi COVID-19 melanda saat Angkasa Pura I tengah dan telah melakukan pengembangan berbagai bandaranya yang berada dalam kondisi lack of capacity, seperti Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Kulon Progo yang menghabiskan biaya pembangunan hampir Rp12 triliun.
Kemudian Terminal Baru Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin yang menghabiskan biaya pembangunan sebesar Rp2,3 triliun, Terminal Baru Bandara Jenderal Ahmad Yani Semarang sebesar Rp2,03 triliun, dan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar sebesar Rp2,6 triliun.
Selain itu, beberapa pengembangan bandara lain seperti Bandara Sam Ratulangi Manado, Bandara Lombok Praya, Terminal 1 Bandara Juanda Surabaya, Bandara Pattimura Ambon, Bandara El Tari Kupang di mana kesemuanya dibiayai melalui skema penggunaan dana internal dan berbagai sumber lain seperti kredit sindikasi perbankan serta obligasi.
Hal tersebut juga dimaksudkan untuk menjaga konektivitas udara tanah air tetap terbuka serta mempercantik gerbang udara daerah lebih menarik.
Adanya pandemi COVID-19 membuat kondisi keuangan dan operasional perusahaan mengalami tekanan cukup besar. Pendapatan 2019 yang mencapai Rp8,6 triliun anjlok di 2020, perusahaan hanya meraih pendapatan Rp3,9 triliun dan diprediksi pada 2021 ini pendapatan juga akan mengalami sedikit penurunan akibat anjloknya jumlah penumpang yang hanya mencapai 25 juta orang.
Dengan situasi trafik yang menurun dan adanya tekanan keuangan, Angkasa Pura I harus dihadapkan dengan kewajiban membayar pinjaman sebelumnya yang digunakan untuk investasi pengembangan bandara.
“Seperti diketahui, sektor aviasi dan pariwisata merupakan sektor yang sangat terdampak pandemi COVID-19 di mana pandemi ini masih belum dapat diprediksi kapan akan berakhir. Situasi pandemi yang berkepanjangan membawa tekanan kepada kinerja operasional dan keuangan Angkasa Pura I. Namun di tengah situasi sulit ini, manajemen telah menyiapkan sejumlah inisiatif strategis untuk meminimalisir dampak pandemi terhadap kinerja Angkasa Pura I, yaitu dengan melakukan restrukturisasi operasional dan finansial,” kata Faik menjawab konfirmasi Tirto melalui keterangan tertulis, Selasa (7/12/2021).
Deretan BUMN yang Terbebani Proyek Ambisius Pemerintah
Kasus proyek penugasan dari pemerintah yang malah membuat keuangan perseroan rugi sudah beberapa kali terjadi. Misal PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang meminta pemerintah menyuntikkan dana Rp4,3 triliun untuk proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Hal itu dilakukan lewat penyertaan modal negara (PMN) kepada KAI selaku pimpinan konsorsium.
“Rencana PMN sebesar Rp4,3 triliun untuk pemenuhan base equity capital,” kata Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo pada 18 Oktober 2021.
Didiek mengatakan base equity capital yang mesti dibayar oleh konsorsium BUMN yakni KAI senilai Rp440 miliar, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk senilai Rp240 miliar, PT Jasa Marga (Persero) Tbk senilai Rp540 miliar dan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII) senilai Rp3,1 triliun. PTPN VIII awalnya akan menyetorkan modal dalam bentuk tanah di daerah Walini, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Akan tetapi, hal itu tidak disetujui oleh konsorsium.
Selain itu, ada deretan BUMN Karya lain yang akhirnya diberikan PMN oleh pemerintah usai mendapat proyek penugasan. Dalam catatan Tirto, biaya PMN dalam dua tahun terakhir mengalami pembengkakan, hal ini terjadi karena seluruh sektor usaha terimbas COVID-19.
Menurut data Kementerian Keuangan, pemerintah telah melakukan realisasi investasi pemerintah kepada BUMN sebesar Rp75,94 triliun di 2020 dengan rincian sebesar Rp56,288 triliun merupakan dukungan dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) dan Rp19,65 triliun dalam bentuk pinjaman investasi
Kemudian pemerintah telah merealisasikan PMN kepada BUMN dan Badan Layanan Umum (BLU) sebesar Rp75,15 triliun sampai dengan 23 Oktober 2021. Angka tersebut setara dengan 55,6 persen dari total alokasi PMN kepada BUMN/BLU tahun anggaran 2021. Sehingga sisa suntikan modal negara itu masih tersisa Rp60,05 triliun untuk dapat diberikan hingga akhir tahun ini.
Lalu, pada 2022 pemerintah tengah mengajukan usulan anggaran PMN sebesar Rp58,88 triliun yang akan dikucurkan kepada BUMN pada tahun depan.
Selama ini, AP I tidak pernah mengeluhkan masalah keuangan, tapi usai menggarap proyek penugasan malah mengalami tekanan cashflow. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menjelaskan, penugasan untuk BUMN memang perlu, tapi harus melihat seberapa besar sekenario masing-masing BUMN untuk keluar dari penugasan yang memberatkan.
“Jadi memang kalau penugasan harus dilakukan pada BUMN yang sehat atau ketika terbebani dia masih ada fleksibilitas. Kan salah satu syarat untuk studi kelayakan itu memang dia harus ada financing risk ya. Financing risk adalah kondisi terburuk ketika ada masalah di pembiayaan misalnya ada target okupansi penumpang, ada target pendapatan yang targetnya non main revenue. Ke depan BUMN daripada menjadi beban harus berani ambil keputusan untuk menolak,” kata Tauhid kepada reporter Tirto, Selasa (7/12/2021).
Tauhid mengatakan, keuangan AP I yang saat ini tertekan merupakan imbas dari pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo dan imbas sepinya penumpang di masa pandemi. Maka dari itu, skema penugasannya harus dikurangi, agar BUMN mengalami pemulihan keuangan.
“Kalau memnag dianggap membebani dalam jangka menengah panjang harus ditolak, tentu harus secara halus harus dibicarakan. Karena, kan, ini banyak enggak masuk akal, satu saat itu akan membebani pemerintah, akan disubsidi terus. Itu enggak bagus untuk performa badan usaha dan nantinya ke pelayanan masyarakat,” kata Tauhid.
Hal senada diungkapkan pengamat BUMN Toto Pranoto. Ia mengatakan memang perlu ada startegi untuk mengcover proyek pembangunan tanpa harus membuat BUMN sehat menjadi sakit. Salah satunya adalah dengan membuka kerja sama dengan pihak swasta.
Selain itu, kata Toto, pemerintah juga harus memahami kondisi BUMN yang diajak kerja sama, pasalnya BUMN tidak dalam kapasitas untuk menolak proyek titipan pemerintah.
“Bisa kan dengan cara lain misalnya dengan swasta. Saya kira memang udah saatnya kan BUMN melakukan penundaan-penundaan investasi. Kalau case-nya AP I ini kan dibuat jauh sebelum pandeminya datang ya, memang gak bisa kita duga,” kata dia kepada Tirto, Rabu (8/12/2021).
Berbagai penundaan yang disarankan tidak sebaiknya dilakukan pada proyek yang berbasis infrastruktur untuk pelayanan sosial. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah mengatakan, jika fokus pembangunan hanya pada kapan modal akan kembali, maka fungsi negara untuk membangun dan melayani masyarakat tidak berjalan.
Piter mencontohkan pemerintah memberikan bantuan kepada warga miskin. Dalam kasus ini, pemerintah memang tidak perlu berhitung untung rugi dan tidak bisa ditangguhkan, termasuk proyek infrastruktur yang berkaitan dengan kepentingan publik.
“Infrastruktur misalnya satu daerah dari masyarakat kita yang sangat membutuhkan pengairan irigasi teknis. Kalau tidak ada irigasi teknis, sawahnya enggak bisa operasi. Sawahnya enggak bisa diolah, apakah ini pemerintah enggak bisa bantu karena tidak menguntungkan pemerintah?” kata Piter.
Piter mengatakan, pembangunan infrastruktur itu bukan hanya sekadar bangun infrastruktur. Namun ada nilai sosial yang harus dibangun, baik itu infrastruktur bendungan, bandara, pelabuhan, jalan, seluruhnya dibutuhkan masyarakat.
“Itu adalah memang hal-hal yang dibutuhkan masyarakat kita. Makanya hitungannya enggak untung rugi,” kata Piter.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz