tirto.id - Bekas narapidana Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta mengadukan dugaan tindak kekerasan, tidak manusiawi, dan pelanggaran HAM oleh petugas lapas kepada Ombudsman Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satunya soal penyiksaan terhadap warga binaan.
“Banyak pelanggaran HAM di lapas, berupa penyiksaan. Jadi begitu kami masuk tanpa kesalahan apa pun, kami langsung dipukuli pakai selang, diinjak, (dihajar pakai) kabel juga, dipukul pakai penis sapi (yang dikeringkan)” kata eks narapidana, Vincentius Titih Gita Arupadhatu, Senin (1/11/2021).
Dugaan kekerasan di dalam lapas hampir setiap hari dilakukan sejak siang hingga hampir subuh, seperti pemukulan, berguling-guling hingga muntah, minum air kencing hingga kekerasan seksual yakni diminta masturbasi dengan timun.
Kepala Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta Cahyo Dewanto memastikan hal tersebut tidak benar dan seluruh kegiatan pembinaan kepada narapidana maupun tahanan dilakukan sesuai standar operasional prosedur.
“Semua kegiatan pembinaan dilakukan sesuai SOP secara proporsional dan terukur untuk peningkatan mental, fisik, dan disiplin. Hal ini tentunya agar terjadi perubahan sikap dan perilaku narapidana ke arah yang lebih baik,” tutur dia dalam keterangan tertulis, Senin kemarin.
Cahyo mengklaim kesaksian yang diberikan Vincentius ialah tidak benar lantaran semua penerimaan narapidana maupun tahanan dilakukan secara terukur dan sesuai SOP dan protokol kesehatan COVID-19. Perihal penyiksaan hingga waktu subuh, Cahyo menjelaskan hal tersebut tidak sesuai fakta karena pada pukul 17.00 WIB kunci kamar hunian telah dimasukkan ke dalam kotak kunci.
Setiap harinya kotak kunci tersebut akan diserahkan oleh regu pengamanan kepada Kalapas untuk disimpan dan diambil kembali keesokan harinya pada pukul 05.00 WIB. Cahyo membeberkan bahwa dalam proses penempatan narapidana atau tahanan di lapas tersebut berdasar hasil asesmen masing-masing.
“Kami pisahkan antara narapidana risiko tinggi, risiko menengah, dan risiko minimum,” jelas dia.
Cahyo juga menerangkan kronologis eks narapidana yang melaporkan hal ini. Vincentius dipindahkan ke Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta dari Rutan Kelas IIA Yogyakarta pada 12 April 2021 dan langsung diisolasi mandiri selama 14 hari dengan masa pengenalan lingkungan (mapenaling) selama satu bulan.
Pihak lapas meniadakan kegiatan pemindahan kamar pada periode Juni-Agustus 2021 lantaran penyebaran COVID-19. Sementara, Vincentius kala itu dipindahkan ke Paviliun Cempaka dengan dasar adanya komorbid atau penyakit bawaan, namun yang bersangkutan melakukan pelanggaran dan dipindahkan ke kamar risiko tinggi untuk mapenaling ulang.
“Vincentius telah bebas dari Lapas Narkotika Kelas IIA Yogyakarta melalui Cuti Bersyarat. Sejak 19 Oktober 2021 dan masih dalam proses pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan. Jadi, sekali lagi saya tegaskan, tidak benar pernyataan yang bersangkutan bahwa tidak bisa mengurus CB,” imbuh Cahyo.
Ia meyakini seluruh pelaksanaan kegiatan pembinaan narapidana/tahanan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hasil akhir dari kegiatan pembinaan yakni adanya perubahan sikap, perilaku, mental, dan fisik bagi narapidana/tahanan, yang selaras dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan.
Menuai Kecaman
Institute for Criminal Justice Reform mengecam tindakan tersebut lantaran hal itu merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat berdasarkan Pasal 16 The United Nations Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.
Dengan adanya kejadian ini, maka Pemerintah Indonesia telah melanggar komitmennya selaku negara peserta UNCAT untuk wajib memaksimalkan pencegahan terjadinya perlakuan tindak manusiawi sebagai bentuk penghukuman dalam wilayah hukumnya. Kementerian Hukum dan HAM segera turun tangan dalam perkara ini.
“Hal ini harus direspons oleh Dirjen PAS untuk melakukan evaluasi mendalam terkait dengan kode etik dan penyelenggaraan tugas dari petugas pemasyarakatan, bahwa setiap petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan, pengamanan, dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan terikat peraturan perundang-undangan dan kode etik yang ketat berdasarkan perlindungan pada hak asasi manusia,” kata peneliti ICJR Maidina Rahmawati, Selasa (2/11/2021).
Sesuai dengan Kode Etik pegawai pemasyarakatan berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.Hh-16.Kp.05.02 Tahun 2011 bahwa terhadap petugas yang melanggar kode etik, baik sanksi moral maupun sanksi administrasi termasuk sanksi untuk diproses secara pidana terhadap perbuatannya merupakan suatu tindak pidana.
“ICJR mendorong pihak Menkumham dan Dirjen PAS untuk melakukan evaluasi secara mendalam atas tindakan ini, termasuk mengusut secara pidana tindakan kekerasan yang dilakukan,” imbuh Maidina.
Karena berhubungan dengan penyiksaan di bawah pengawasan aparatur negara, maka perlu juga kembali mendorong Indonesia untuk segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan tempat-tempat penahanan.
Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerja sama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat dengan segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian.
ICJR mencermati kejadian ini juga merupakan imbas dari sikap represif petugas pemasyarakatan. Nilai-nilai pemasyarakatan berupa pengayoman, penghargaan terhadap martabat manusia termasuk juga nilai untuk menjunjung tujuan pemasyarakatan, yaitu untuk membantu narapidana kembali ke masyarakat belum sepenuhnya diterapkan dalam lapas.
Lapas tempat kejadian adalah Lapas Narkotika. Dipenuhi oleh pengguna narkotika, yang ICJR tekankan bahwa mereka sedari awal tidak layak untuk dipenjara. “Kami telah berulang kali menyerukan agar pemerintah dan DPR melakukan reformasi kebijakan narkotika di Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan negara yang masih represif dalam menyelenggarakan kebijakan narkotikanya dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009,” terang Maidina.
UU ini belum memberikan jaminan rehabilitasi pecandu narkotika dan dekriminalisasi kepada pengguna narkotika. Akibatnya, angka pecandu dan pengguna narkotika di dalam lapas dari tahun ke tahun terus meningkat, tanpa intervensi kesehatan mengakibatkan hak atas keamanan dan kesehatan mereka terlanggar.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz