tirto.id - Yogyakarta International Airport (YIA) dipastikan resmi beroperasi secara penuh pada 29 Maret 2020. Hal itu ditandai dengan pemindahan seluruh penerbangan Bandara Adisutjipto ke YIA.
Menurut Direktur Utama Angkasa Pura I Faik Fahmi dalam keterangan tertulis pada 23 Maret 2020, YIA merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mengatasi permasalahan kurangnya kapasitas di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta.
Pembangunan YIA sempat menuai pro dan kontra di antara warga Kulon Progo yang terdampak.
Warga harus kehilangan rumah, tanah, lahan pertanian, dan mata pencaharian. Pemerintah pusat memberikan ganti rugi untuk membeli tanah dan rumah di lokasi baru yang telah disediakan. Namun, ganti rugi ini dinilai tak sebanding.
Warga yang pindah ke daerah relokasi bisa memiliki rumah, tetapi sudah tak punya lahan, sehingga sebagian besar dari mereka menganggur dan tak bisa memenuhi kebutuhan hidup. Salah satu daerah relokasi yang saya datangi adalah relokasi Dusun Palihan yang jaraknya sekitar satu kilometer dari YIA.
Terdapat 99 kapling di relokasi Palihan dengan hampir semua perempuan di wilayah itu menganggur. Rumah di relokasi itu semua tampak baru dan bersih. Mobil-mobil terparkir di halaman atau garasi. Rumah pertama yang terlihat dari jalan utama adalah sebuah salon milik Ani Suparsih.
Perempuan berusia 42 tahun ini sudah dua tahun tinggal di relokasi Palihan, sejak akhir 2018. Sebelum direlokasi, suami Ani adalah seorang petani yang punya sawah sendiri. Salah satu perbedaan yang dirasakan Ani semenjak pindah di relokasi adalah mereka menjadi boros secara ekonomi karena sudah tak punya padi.
“Dulu punya sawah enggak seberapa luas, tetapi setidaknya saya bisa tanam padi, sayur-sayuran, palawija, jadi semuanya panen sendiri. Sekarang semua harus beli, jadi pengeluaran lebih banyak,” ujarnya ketika saya temui pada suatu siang, tanggal 23 Februari.
Beruntung, Ani memiliki keahlian memotong rambut, sehingga ia bisa membangun salon di rumah yang dibeli dari uang ganti rugi. Tanah yang dibeli Ani luasnya sekitar 200 meter persegi. Pada 2018, saat pembebasan lahan berlangsung, Ani membeli tanah itu seharga Rp500 ribu per meternya.
Saat ini suami Ani menganggur. Kadang, suami Ani merentalkan mobil yang juga dibelinya dari uang ganti rugi. Namun, menurut Ani, uang rental itu tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pemasukan utama keluarga ini berasal dari salon, yang sebagian besar pelanggannya merupakan orang-orang yang bekerja di proyek bandara.
Pendapatan Ani setiap hari sekitar Rp150-Rp200 ribu, tergantung berapa banyak pelanggan yang datang. Ani khawatir, jika proyek pembangunan bandara sudah benar-benar selesai, ia akan kehilangan banyak pelanggan dan salonnya sepi.
Kata Ani, usahanya merupakan satu-satunya salon di wilayah relokasi itu. Sebagian besar, atau sekitar 90 persen ibu-ibu di wilayah itu menganggur dan menggantungkan pendapatannya dari suami.
“Ibu-ibu di sini semua pada nganggur, paling buka warung kelontong, kalau enggak buka warung ya nganggur.”
Padahal, menurut Ani, bapak-bapak yang ada di relokasi itu juga tak memiliki pekerjaan tetap. Sebagian besar merupakan buruh serabutan yang bekerja hanya jika ada proyek, seperti pembangunan makam desa, pembangunan sekolah, dan lain-lain.
“Kalau yang bapak-bapak di sini kerjanya ya serabutan, sebelumnya mereka semua bertani,” ujar Ani.
Ani mendapatkan uang appraisal sekitar Rp1,8 miliar yang dibagi berlima dengan ibu dan keempat saudaranya. Uang itu cukup untuk membeli tanah, rumah, dan mobil. Namun, untuk modal salon, Ani harus menurunkan utang senilai Rp30 juta.
Semua cicilan, makan, pajak, dan kebutuhan sehari-hari kini bergantung pada hasil salon Ani dan rental mobil suaminya. Ani mengaku kini ia cukup kesulitan mengatur keuangan yang tak seberapa.
“Dulu kami dirayu-rayu biar pada setuju [bandara dibangun], sekarang pas udah setuju, malah dibiarin aja,” ujarnya.
Nasib Ani setali tiga uang dengan Indarwati, yang kini juga tak punya penghasilan tetap. Indarwati, merupakan salah satu penghuni rumah di relokasi Palihan. Ia kehilangan pekerjaannya sebagai buruh tani semenjak pindah ke relokasi. Selain itu, ia juga harus menjual kambingnya karena sudah tak punya tempat untuk merawat.
“Saya dulu buruh tani, bantu-bantu menanam cabai, metik cabai. Sekarang ya mengganggur,” ujar Indarwati.
Penghasilan dari metik cabai memang tidak tetap, tergantung pada mahal atau murahnya cabai. Jika harga cabai mahal, Indarwati bisa mendapat Rp100 ribu per hari. Jika sedang murah, ia mendapat Rp40 ribu. “Setidaknya dulu setiap hari ada penghasilan,” katanya.
Suami Indarwati merupakan buruh serabutan yang saat ini sedang terlibat proyek bandara. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Indarwati hanya mengandalkan hasil dari suami, sekitar Rp80 ribu per hari.
Ia memperoleh yang appraisal sekitar Rp189 juta, yang habis untuk membeli tanah, itu pun harus disubsidi oleh orang tuanya agar cukup untuk membangun rumah. Menurut Indarwati, kebutuhan yang paling memberatkannya saat ini adalah biaya sekolah anak. Putra pertama Indarwati baru saja lulus SMK, sedangkan adiknya masih SMP.
Anak pertama Indarwati sempat melamar lowongan kerja di bandara, tetapi hingga kini belum ada panggilan lanjutan. “Dulu AP I janji akan ngasih pekerjaan, terutama bagi warga yang terdampak, tapi sampai saat ini enggak dikasih tahu bentuk pekerjaannya apa,” kata Indarwati.
Menurutnya, Kepala Dukuh Palihan Wiharto, sudah meminta ke AP I agar warga relokasi diberi pekerjaan, tetapi kata Indarwati, yang dibutuhkan adalah yang berumur 30 tahun, padahal orang-orang yang terdampak di ring 1 usianya rata-rata di atas 35 tahun.
“Apalagi perempuan, jarang banget yang bisa [kerja] di bandara, paling banyak kan laki-laki, itu juga untuk di proyek,” ujarnya.
Perempuan Rentan Jadi Korban Proyek Infrastruktur
Perempuan rentan mengalami kekerasan dan ketidakadilan gender ketika terjadi pembangunan proyek infrastruktur.
Menurut Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia One Muharomah, dampak negatif dan ketidakadilan berbasis gender yang kerap menimpa perempuan saat ada proyek infrastruktur di wilayahnya akibat perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.
Proyek pembangunan, kata dia, juga berpotensi meminggirkan perempuan serta kelompok rentan lainnya karena acap kali menghilangkan mata pencaharian. Contohnya, kasus pembangunan YIA di Kulon Progo yang menghilangkan sumber penghasilan perempuan petani di pesisir lantaran lahan tergusur proyek bandara.
Kondisi tersebut lebih jauh membuka peluang munculnya hal-hal buruk seperti kehilangan pekerjaan, kemiskinan baru, potensi perempuan terjerumus ke dalam prostitusi hingga perdagangan manusia, kata Defirentia One Muharomah dalam workshop Pemberitaan Berbasis Gender pada Perempuan Terdampak Pembangunan Infrastruktur di Auditorium Kampus Univeristas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Rabu (15/1/2020).
Pembangunan infrastruktur, kata dia, tidak menjamin perempuan bisa bekerja seperti semula. “Biasanya hanya sekitar 40 persen lowongan pekerjaan yang bisa diakses perempuan,” kata dia.
Jurnalis The Jakarta Post, Bambang Muryanto, menceritakan pengalamannya meliput warga terdampak pembangunan YIA. Dikatakannya, ketika sebuah tanah diambil untuk dibangun infrastruktur, konsekuensinya terjadi kerusakan lingkungan dan berkurangnya daerah tangkapan air hujan.
“Padahal perempuan dengan sistem reproduksinya adalah pengguna air paling banyak. Perempuan dalam struktur patriarki juga paling rentan, karena mereka yang mengurus anak dan keluarganya,” jelas Bambang.
Menurut penghuni daerah relokasi, Indarwati dan Ani Suparsih, kualitas air dari sumur di rumah mereka tidak begitu bagus. Ani mengatakan, meski air itu tidak berbau dan masih bisa diminum, tetapi jika didiamkan akan muncul endapan berwarna kuning di bawahnya.
Dosen Ilmu Komunikasi UII, Mutia Dewi, mengatakan pembangunan idealnya memberdayakan masyarakat.
Kuncinya, kata dia, pemerintah menguatkan potensi yang ada di masyarakat. Dalam kasus di Kulon Progo, potensi yang ada di masyarakat itu adalah pertanian di wilayah pesisir. Pembangunan seharusnya juga menimbulkan ekonomi berkelanjutan bagi kehidupan warga, bukan melumpuhkannya.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Maya Saputri