tirto.id - Rohadi dengan cekatan naik ke puncak batang pinang di acara 17-an yang dibikin Angkasa Pura I di Desa Palihan, Kulon Progo. Begitu bisa duduk di puncak, ia langsung mencabut bendera Merah Putih yang tertancap di sana. Sebentar ia mengibarkan bendera Indonesia, lalu turun dan istirahat. Ia berhasil mendapatkan hadiah seekor sapi.
Hadiah itu ludes tak sampai satu jam sejak pertandingan panjat pinang dimainkan. Rohadi lalu didatangi dua petugas dokumenter acara 17-an tersebut.
Napasnya masih terengah-engah ketika petugas itu mewawancarainya. Bendera merah putih dikalungkan di belakang punggungnya. Si pewawancara mendikte Rohadi untuk mengucapkan harapannya terkait acara 17-an dan terima kasih kepada Angkasa Pura I sembari menatap kamera.
“Terima kasih Angkasa Pura!” kata Rohadi.
Si pewawancara meminta Rohadi mengulanginya lebih kencang dan pandangannya tetap menatap kamera.
“Terima kasih Angkasa Pura!” teriak Rohadi lebih kencang. Setelah itu petugas dokumenter berlalu.
Rohadi adalah warga Dusun Jangkaran, sekitar 4 kilometer dari lokasi proyek New Yogyakarta International Airport. Dusunnya bukan bagian dari daerah terdampak langsung pembangunan bandara. Ia sendiri memilih netral meski tahu ada pro dan kontra terhadap proyek bandara di Kulon Progo tersebut.
Keterlibatannya dalam lomba itu sama sekali tidak ada kaitan dengan dukungan terhadap pembangunan bandara, tapi semata-mata "pengin dapat hadiah,” katanya kepada Tirto.
Rohadi, pria 35 tahun dan sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar, bahkan tak berpikir untuk mendapatkan pekerjaan di proyek bandara.
“Saya cuma lulusan SD,” katanya.
Peluang Kerja di Bandara
Saat Rohadi dan teman-temannya dari Jangkaran terlibat dalam kemeriahan perayaan HUT RI yang dibikin Angkasa Pura I, Wiharto memilih tidur siang di rumah. Wiharto adalah warga gusuran yang kini tinggal di perumahan relokasi di Palihan.
Tidur siang adalah kebiasaan baru Wiharto sejak hampir satu tahun terakhir. Pada Desember 2017, saat saya berkunjung ke rumah Wiharto, ia bilang tidur siang adalah salah satu cara untuk mengisi waktu luangnya. Sebab sekarang ia tak lagi punya pekerjaan di sawah. Sawahnya sudah diambil Angkasa Pura I untuk bandara.
“Ya begini, dari Desember kemarin, sampai sekarang belum ada kerjaan baru,” katanya.
Selama ini Wiharto mengandalkan uang hasil penjualan tanah untuk hidup. Ia sebenarnya sudah berencana alih profesi sebagai tukang mebel. Ia bahkan sudah mendaftar ke pelatihan tukang mebel yang dibikin Angkasa Pura I, bekerjasama dengan Dinas Ketenagakerjaan Kulon Progo.
“Sudah daftar, tapi sampai sekarang belum dapat giliran untuk pelatihan,” ujarnya.
Ikut pelatihan mebel adalah langkah yang paling mungkin bisa dilakukan oleh Wiharto. Sebab, dalam usia 50-an tahun, ia sudah tidak berharap lagi bisa bekerja di Bandara NYIA. Sejak awal ia tidak pernah membayangkan bakal bekerja di ruang ber-AC di bandara.
Wiharto memilih realistis. Sebab, untuk bekerja di bandara, perlu sejumlah syarat, misalnya usia dan pendidikan. Untuk kerja kantoran di bandara minimal harus lulus sarjana; sementara untuk pekerjaan seperti office boy dan satpam membutuhkan ijazah SMA dan pelatihan kerja. Ini pun memakai jasa outsourcing.
Menurut Wiharto, sebagian besar warga terdampak pembangunan bandara hanya lulusan SMA. Bahkan beberapa ada yang lulusan SD. Sementara segelintir generasi muda yang kini masih kuliah S1.
Pelatihan Tanpa Jaminan Kerja
Kondisi itu membuat peluang penerimaan kerja di bandara menjadi kecil. Hal itu diakui oleh pihak Angkasa Pura I dan Dinas Ketenagakerjaan Kulon Progo. Karena itu mereka bekerjasama dengan memberikan bekal keterampilan bagi warga terdampak agar bisa bersaing dalam dunia kerja.
Beberapa pelatihan itu di antaranya wirausaha, bahasa Inggris, instalasi dan servis AC, pengelasan, keamanan, tukang batu dan semen, dan pekerja aviasi.
Manajer Umum Angkasa Pura I Yogyakarta Agus Pandu Purnama mengatakan baru-baru ini sudah digelar pelatihan bahasa Inggris yang diikuti 166 warga. Ketrampilan berbahasa Inggris ini berguna nanti untuk menyambut para turis yang datang ke Kulon Progo.
"Pelatihan ini tidak ada batasan usia. Tentu (untuk pelatihan las listrik) bisa bekerja untuk konstruksi, mereka yang ingin bergabung dengan kontraktor, Angkasa Pura sudah bekali. Nanti Angkasa Pura memberikan rekomendasi,” katanya.
Pandu mengklaim sudah banyak warga yang bekerja di proyek pembangunan bandara.
Meski demikian, Pandu menegaskan tidak ada jaminan warga akan bekerja di bandara NYIA. Peluang warga terdampak pembangunan bandara sama seperti para pencari kerja lain, artinya tergantung pada kemampuan dan keterampilan warga.
“(Bergantung) seberapa mereka menyiapkan diri … ini pertarungan terbuka,” ujar pandu.
Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kulon Progo Eko Wisnu Wardhana mengatakan tak semua warga bisa bekerja di bandara. Karena kebutuhan di bandara terkadang mensyaratkan "kriteria tertentu."
Misalnya, profil yang dibutuhkan untuk sekuriti harus punya postur minimal 170 sentimeter untuk laki-laki dan 165 sentimeter untuk perempuan. Selain itu jenjang pendidikan, yang sebagian untuk kerja kantoran di bandara membutuhkan lulusan sarjana.
Menurut Eko, ada 300-an warga yang sudah mengikuti pelatihan.
"Kalau sesuai kapasitas tentu menjadi prioritas, tetapi prioritas itu harus melihat lima hal: karakter, keterampilan, sertifikat, lisensi, dan pengalaman kerja. Paling tidak keterampilan harus dipunyai, bukan soal prioritas atau tidak prioritas,” kata Eko.
Fakta di Lapangan
Berbeda dari klaim Angkasa Pura I, fakta di lapangan tidak semanis dari yang dijanjikan.
Agus Suyanto, misalnya, sampai saat ini memilih berdiam diri dan belum mencari pekerjaan baru. Agus adalah warga gusuran yang kini tinggal di relokasi Janten. Agus diam bukan lantaran emoh berusaha, tapi ia kecewa atas janji Angkasa Pura I yang akan melibatkan warga dalam proses pembangunan bandara.
Untuk buruh yang kini mengerjakan alat-alat berat, sebagian diambil dari Jawa Tengah, termasuk truk-truk muatan bahan bangunan yang keluar-masuk dari wilayah proyek, yang semuanya berpelat dari Jawa Tengah.
"Kalau ada banyak warga kerja di proyek sekarang, itu bohong. Saya ini lho enggak bisa kerja di sana, karena itu semua tenaga borongan dari luar Kulon Progo,” kata Agus.
Sejak itu ia tidak berharap bisa bekerja di proyek pembangunan bandara. “Jadi buruh kasar saja, kalau ada yang nawarin, pasti banyak yang mau warga di sini, tapi ya nyatanya enggak ada,” ujarnya.
Hal serupa dikeluhkan oleh Waluyo, tetangga Agus. Sudah setahun Waluyo menganggur. Setahun lalu, ia sudah mengumpulkan formulir ke desa yang memuat informasi rencana pelatihan yang diinginkannya. Namun, sampai saat ini, tak juga ada realisasi.
Justru sebaliknya, Narti, istrinya yang belum lama mendaftar pelatihan, sebulan lalu mengikuti pelatihan kewirausahaan. Mereka berencana membuat bisnis kos-kosan dari uang hasil jual tanah. Selepas dari pelatihan itu Narti mengaku mendapatkan sedikit pencerahan terkait bisnis properti. Namun, pelatihan itu sama sekali tidak terkait dengan peluang kerja di bandara NYIA.
"Coba tanya warga lain, sama saja. Kalau begini, siapa yang menikmati pembangunan bandara? Kami saja tidak bisa kerja di bandara," kata Waluyo.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam