Menuju konten utama

"Aku Ingin Kembali ke Rumah yang Berubah Jadi Bandara NYIA"

Meski rumah dan lahan telah rata dengan tanah, korban penggusuran New Yogyakarta International Airport (NYIA) ternyata masih berupaya merebut hak mereka. Mereka akan menempuh jalur hukum.

Polisi mengawasi proses pembongkaran rumah pada pengosongan lahan untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulonprogo, DI Yogyakarta, Senin (4/11). PT Angkasa Pura (AP) I akan terus melakukan pengosongan lahan dan tidak memberi toleransi kepada warga yang masih belum melakukan pengosongan secara mandiri menyusul tanah yang akan dikosongkan tersebut telah mendapatkan ganti rugi, serta telah mendapat putusan hukum. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/Spt/17.

tirto.id - “Pak, Aku pengen mulih ke rumah sing dirobokke.”

Demikian kata Sufyan (33), meniru ucapan yang setiap hari diulang anak bungsunya. Arti kalimat tersebut ialah anaknya, yang baru berumur lima tahun, ingin kembali ke rumah lama mereka. Rumah itu telah dirobohkan aparat pada akhir 2017.

“Anak saya sampai sekarang masih kebayang kejadian itu,” katanya kepada saya ketika ngobrol di LBH Jakarta, Rabu (27/3/2019) lalu.

Yang dia sebut “kejadian itu” adalah penggusuran. Sementara rumah lama yang ia maksud ada di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saya sedang bicara dengan orang yang kehilangan rumah karena proyek ambisius bernama New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau Bandar Udara Internasional Yogyakarta atau juga Bandar Udara Kulon Progo.

Sufyan masih ingat betul bagaimana aparat datang saat ia tengah bersantai bersama istri dan anak-anak.

“Mereka datang komplet. Polri, TNI, Satpol PP. Komplet. Mereka datang dengan personel sekitar 700-an. Setiap rumah dikepung alat berat, terus dikepung aparat kayak gitu, diperintahkan supaya rumah dikosongkan.”

Sejumlah warga, termasuk Sufyan, enggan menuruti perintah. Ada 37 keluarga yang menolak menjual tanahnya ke PT Angkasa Pura I--penanggung jawab proyek. Tapi aparat juga enggan melanggar perintah. Maka terjadilah apa yang kerap terjadi pada tiap-tiap kasus penggusuran paksa: kericuhan.

“Yang tidak mau keluar, didobrak pintunya. Diangkat keluar [orangnya].”

Sufyan tahu dia kalah jumlah. Dia pun buru-buru menggendong erat-erat anak bungsunya. Maka terjadilah penggusuran itu.

“Nangis semua, saya cuma bisa nangis.”

“Tragis,” tambahnya, sembari melepas napas panjang dan terdiam sesaat.

Selama akhir November dan awal Desember 2017, aksi semacam itu digencarkan di bawah pengawasan PT Pembangunan Perumahan, BUMN rekanan PT Angkasa Pura 1, yang menggarap proyek Bandara Kulon Progo.

Aksi sepihak yang dimaksud termasuk mencabut meteran listrik rumah warga dan Masjid Al-Hidayah, masjid pertama di dusun itu yang didirikan pada 1984.

PT Angkasa Pura 1 sebelumnya mengklaim lahan sengketa sudah jadi hak mereka. Alasannya, duit ganti rugi sudah dititipkan ke pengadilan dan telah diputuskan bisa dibayar dengan mekanisme konsinyasi.

Konsinyasi adalah pemberian ganti rugi untuk pemilik tanah yang dititipkan melalui pengadilan dalam proses pengadaan lahan di proyek pembangunan yang disokong pemerintah. Ketentuannya diatur pasal 42 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

“Karena sudah diputus konsinyasi, lahannya jadi milik negara. Kalau mereka punya sertifikat atau girik, sudah tidak berlaku lagi,” kata manajer pembangunan Bandara Kulon Progo PT Angkasa Pura 1, Sujiastono.

Sufyan tak hanya kehilangan rumah, tapi juga lahan bertani. Mayoritas masyarakat di Kulon Progo menolak pembangunan bandara karena mereka tak cuma tercerabut dari tempat tinggal, tapi juga mata pencarian.

Kini ia dan tetangga yang lain masih tetap mempertahankan profesi tersebut. Tapi rumahnya yang sekarang dengan lahan pertanian cukup jauh. Sufyan mengaku sekarang mesti berjalan sekitar empat sampai lima kilometer untuk sampai ke lahan.

“Tadinya, bangun tidur, lahannya sudah kelihatan di depan [rumah].”

Tetap Menuntut Keadilan

Meski semua telah berubah, Sufyan, bersama sejumlah warga Kulon Progo lain yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo, ternyata masih berharap mendapat tanahnya kembali.

Para warga menganggap alasan 'legal' penggusuran, yaitu konsinyasi, hanya "akal-akalan."

Salah satu langkah yang akan diambil adalah mengajukan uji materi atas Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 Pasal 30 1a dan turunannya pasal (2) yang mencantumkan pembangunan NYIA.

Kuasa hukum warga, Yogi Zul Fadhli, menjelaskan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (PDF) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (PDF).

Kata Yogi, Kulon Progo merupakan wilayah rawan bencana tingkat tinggi. Jadi tidak sepatutnya ada pembangunan besar di 'zona merah' tersebut.

“Kami akan ajukan ke Mahkamah Agung,” kata Yogi, juga di LBH Jakarta.

Sufyan optimis memperjuangkan apa yang menurutnya benar. Bukan hanya untuk para warga terdampak, tapi juga orang lain.

“Kami tetap melakukan hal-hal yang bisa kami lakukan, dengan niatan ingin menyampaikan ke masyarakat bahwa apa yang dilakukan pemerintah untuk pembangunan ini tidak baik,” pungkas Sofyan.

Baca juga artikel terkait BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Fadiyah Alaidrus

tirto.id - Hukum
Reporter: Fadiyah Alaidrus
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino