tirto.id - “Saya bangun dari nol kamar demi kamar bersama suami saya. Saya enggak bisa komentar banyak, apa pun yang terjadi akan tetap saya pertahankan,” kata Ponirah, warga Desa Glagah di Kulon Progo, menantang penggusuran dari pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta (NYIA) meski daerah sekitarnya sudah rata tanah.
Ponirah, 35 tahun, berkata PT Angkasa Pura I, BUMN pengelola transportasi udara, tak pernah menawari apa pun termasuk soal nilai jual rumahnya. Ia bilang ia belum menerima surat peringatan dari perusahaan pelat merah tersebut.
“Kalau rumah ini dibeli, karena saya enggak jual, ya saya enggak tawar-menawar; mereka enggak pernah sebutin angka. AP enggak pernah janjikan apa-apa, saya juga enggak pernah terima apa-apa,” ujar Ponirah.
Pada Senin ini, Angkasa Pura I kembali mengosongkan lahan petani dan rumah warga secara paksa sejak jam 8 pagi dengan mengerahkan empat alat berat.
Pihak Angksa menyatakan hari ini adalah terakhir warga pindah "secara mandiri" karena tanah di desa sudah dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Wates.
Meski rumah di sekitar kediaman Ponirah sudah rata tanah, tetapi alat-alat berat tak menghancurkan rumah Ponirah saat Senin pagi. Ponirah bertahan di rumah dan orang-orang, tua-muda, ibu-anak, mengelilingi rumah tersebut sebagai aksi solidaritas di bawah payung Aliansi Penolak Bandara Kulon Progo.
Seorang penggiat aksi solidaritas mengatakan pagar manusia menolak alat berat menghancurkan ibu bumi petani dimulai pada 27 November saat PLN memutus paksa aliran listrik warga Desa Palihan dan Desa Glagah.
“Aliansi ini dari mahasiswa, ada juga dari warga Kulon Progo. Intinya, kami bersama mempertahankan rumah karena warga tidak sepakat dengan AP I," katanya kepada Tirto.
Masih ada beberapa rumah di Desa Glagah. Di tembok-tembok rumah tertempel kertas dengan tulisan: "Rumah Ini Milik Warga", dan "Saya Tidak Mau Terima Uang dari Bandara, Apapun Alasannya dan Sampai Kapanpun".
Sofyan dari Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo mengatakan ada 38 rumah warga yang menolak digusur.
Jumlah warga yang menolak bandara Kulon Progo makin hari makin terkikis, dengan tawaran jual-beli, atau bujukan, dan belakangan paksaan.
Menurut Didik Tjatur dari PT Angkasa Pura I yang membawahi proyek bandara baru internasional tersebut, saat Sabtu lalu masih ada 42 rumah yang menolak, 31 di antaranya diputus aliran listriknya. Selain itu, ia mengklaim, masih "ada 35 bidang tanah dalam proses konsinyasi" di Badan Pertanahan Nasional karena belum ada peta blok.
Warga Desa Glagah yang rumahnya digusur paksa saat ini tinggal di "daerah relokasi", sekitar satu kilometer dari lokasi penggusuran. Salah satunya adalah Nanang, yang sudah tinggal sekitar sebulan di sana.
Nanang berkata bahwa rumahnya seluas sekitar seribu meter dibeli oleh Angkasa Pura dengan harga sekitar Rp600 ribu-Rp700ribu per meter. Saat ini ia tinggal di rumah seluas 200 meter persegi dengan harga tanah Rp847 ribu/meter.
"Saya mau dipindah manut saja, saya belum pernah dapat surat peringatan, karena begitu ada pemberitahuan, saya langsung sepakat saja. Waktu itu ngobrol-ngobrol dulu dengan AP, kami minta tidak ada pajak (pajak jual beli tanah), mereka kabulkan," kata Nanang, petani buah dan tambak yang punya empat kaveling di "lahan relokasi" yang berbagi dengan adik-adiknya.
Di depan rumahnya, kata Nanang, akan dibangun SDN 3 Glagah yang terkena gusur. Juga lahan kosong yang disiapkan untuk memindah makam.
"Saat ini sudah ada sekitar 99 KK yang tinggal di daerah sini," ujar Nanang.
Manajer pembangunan bandara Sujiastono mengatakan "akan tetap melakukan langkah persuasif", meski sebetulnya ada langkah pemaksaan dengan mencabut arus listrik rumah warga yang bertahan di antara deru alat berat.
“Kalau mereka tinggal di situ, kan, merugikan diri mereka sendiri," klaim Sujiastono. "Karena nanti ada alat berat. Karena debu. Nanti mereka tidak nyaman tinggal di situ."
Sujiastono berkata PT Angkasa Pura I “tidak memaksa" saat ditanya mengapa ada langkah-langkah menggusur paksa warga penolak bandara.
"Warga sendiri yang memaksakan untuk tinggal di lokasi bandara. Jangan dibalik. Warga yang memaksa tinggal di situ,” ia mengklaim.
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Abdul Aziz