Menuju konten utama

Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya Rugikan Masyarakat

Warga tidak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah yang diadakan Angkasa Pura I atau pemerintah.

Sistem Konsinyasi Pembebasan Lahan Bandara Yogya Rugikan Masyarakat
Pengendara melintas di samping spanduk penolakan pembangunan bandara, di Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Minggu (12/6). Pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) seluas 637 hektare itu masih terganjal dengan masalah pembebasan lahan. ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah.

tirto.id - PT Angkasa Pura I (AP I) akan melanjutkan pengosongan lahan untuk pembangunan Bandar Udara Baru (New Yogyakarta International/NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. AP I menyatakan tidak akan memberikan toleransi dan tetap merobohkan bangunan rumah milik warga yang masih belum melalukan pengosongan secara mandiri.

“Kami tidak maksa. Tapi warga sendiri yang memaksakan untuk tinggal di lokasi bandara. Jangan dibalik. Warga yang memaksa tinggal di situ,” kata Manajer Pembangunan Bandara Kulon Progo (NYIA) PT Angkasa Pura 1, Sujiastono saat dihubungi Tirto, Senin (4/12/2017).

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Proyek NYIA PT AP I, Didik Tjatur di Kulon Progo, pada Sabtu (2/12/2017). “Kami tetap akan melakukan pengosongan sesuai prosedur yang telah dilaksanakan,” kata Didik.

Didik mengatakan, hingga kini masih ada 42 rumah yang menolak pembangunan NYIA, 31 di antaranya diputus sambungan listriknya. Masih ada 35 bidang tanah yang sedang proses konsinyasi di Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena belum ada peta blok. Khusus untuk bidang-bidang tersebut, apabila diterapkan percepatan, maka akan dilakukan pembayaran langsung.

Menurut Didik, ada ratusan bidang yang akan dikosongkan. Terdiri dari 157 bidang yang sebelumnya mendapat tenggat waktu untuk dikosongkan pada 24 November 2017 dan 39 bidang yang ditenggat waktu pada 30 November 2017. Upaya pengosongan ini, juga berlaku bagi 42 rumah warga yang masih menolak pembangunan bandara.

Didik menegaskan, tanah yang akan dikosongkan secara paksa itu, telah mendapatkan ganti rugi dari pengadilan, sudah mendapat putusan hukum, dan telah diberikan surat peringatan satu hingga tiga kali.

Namun demikian, Sofyan, salah satu perwakilan masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran (PWPP-KP) tetap konsisten menolak pembangunan bandara. Ia juga tidak menyetujui sistem konsinyasi yang ditawarkan pihak pengelola.

Dalam rilis yang diterima Tirto, pada Minggu (3/11/2017), Sofyan mengatakan, selama ini yang sering jadi dasar AP I dan pasukan untuk menekan warga adalah rumah dan tanah mereka sudah diputus nilainya di pengadilan atau sudah dikonsinyasi.

Akan tetapi Sofyan menilai putusan tersebut tidak ada dasarnya. Pertama, warga tidak pernah menyerahkan tanda bukti kepemilikan tanah dan bangunan, seperti SHM dan tanda bukti bayar PBB. Kedua, tanah dan bangunan warga tidak pernah di-appraisal, dan diukur. Ketiga, warga tidak pernah menghadiri acara sosialisasi atau negosiasi penjualan tanah yang diadakan AP atau pemerintah.

“Yang kami tahu tentang konsinyasi dan pengadilan itu hanya informasi dari LBH Yogyakarta setelah ada daftar tak beridentitas beredar di tengah warga,” kata Sofyan dalam keterangan resmi yang diterima Tirto.

Atas dasar tersebut, kata Sofyan, warga yang tergabung dalam PWPP-KP tetap menolak pembangunan bandara dan tidak bersedia meninggalkan rumah dan lahan yang mereka miliki.

Langkah warga yang tergabung dalam PWPP-KP tersebut mendapat dukungan dari Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Yogi Zul Fadhli. Yogi menilai sistem konsinyasi dalam pembebasan tanah warga bersifat merampas dan biasanya dilakukan secara sepihak sehingga merugikan masyarakat.

“Jadi rezim UU Pengadaan Tanah itu sifatnya sepihak, tidak ada ruang partisipatif, semangatnya merampas. Tanah-tanah yang yang sudah didata, di-apraisal kemudian dikonsinyasi, hak atas tanahnya secara normatif menjadi hapus meskipun sertifikat atau atas hak lain masih dipegang warga,” kata Yogi di Yogyakarta, Senin (4/12/2017).

Dalam konteks ini, pemerintah memang menjadikan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai jurus pamungkas dalam pembebasan tanah proyek infrastruktur, termasuk pembangunan bandara NYIA. Salah satunya dengan sistem konsinyasi.

Namun, kata Yogi, konsinyasi dilakukan jika pihak yang berhak menerima ganti kerugian tidak diketahui keberadaannya. Atau bisa saja karena obyek pengadaan tanah yang akan diberikan ganti kerugian sedang menjadi objek perkara di pengadilan, masih dipersengketakan kepemilikannya, diletakkan sita oleh pejabat yang berwenang, dan menjadi jaminan di bank.

“Masalahnya kondisi itu tidak sedang dialami warga yang saat ini menolak bandara. Sehingga tidak tepat jika dilakukan konsinyasi," kata Yogi.

Yogi mengatakan, sebenarnya ada beberapa bentuk ganti kerugian berdasarkan UU Pengadaan Tanah yang bisa dilakukan. Di antaranya: uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Baca juga artikel terkait BANDARA KULON PROGO atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Dipna Videlia Putsanra & Addi M Idhom
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz